Pembangunan Daerah
Khawatir Hanya Perkaya Elit Lokal, Akademisi Soroti Konsep Tuntutan Otsus Malut
Ternate, Hpost-Setelah vakum beberapa saat, tuntutan Otonomi Khusus Maluku Utara kembali didengungkan oleh sejumlah aktivis pemekaran Provinsi Maluku Utara, 1999. Langkah mereka mendapat respon beragam dari publik Maluku Utara, di antaranya sejumlah akademisi yang menyoroti kekhususan serta konsep otonomi khusus dalam mengusung tuntutan tersebut. Mereka khawatir Otsus hanya akan memperkaya elit lokal.
Sebelumnya, Sabtu 5 Oktober 2019, Dewan Otonomi Khusus (Otsus) Maluku Utara (malut) dibentuk oleh sejumlah aktivis perjuangan Provinsi Maluku Utara. Pembentukan tersebut berdasarkan diskusi evaluasi 20 tahun perjalanan pembangunan Provinsi Maluku Utara. Hadir dalam pembentukan dewan otsus, Sofyan Daud, Rusli Djalil, Abdurahman Lahabato, hamid Usman, Asgar Saleh, Hasby Yusuf dan sejumlah wartawan senior yang ikut mengawal perjuangan provinsi Maluku Utara.
Pembentukan tersebut sekaligus menetapkan, Sabtu 12 Oktober 2019, besok sebagai hari mendeklarasikan Otonomi Khusus Maluku Utara.
Secara umum, Dewan Otsus mengklaim tuntutan mereka didasarkan pada ketimpangan pembangunan yang terjadi selama 20 tahun terakhir. Tak kalah penting, secara historis sumbangsi Provinsi Maluku Utara dipandang memiliki andil dan berkontribusi besar terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga otsus dinilai menjadi tuntutan yang wajar bagi dewan otsus.
Namun tuntutan otsus direspon berbeda oleh sejumlah akademisi, salah satunya dari penulis Buku Otonomi Khusus Maluku dan Maluku Utara - Project Kawasan Khusus Kelautan, Hendra Kasim. Berikut hasil wawancara Redaktur Halmaherapost.com, Kholis bersama Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara tersebut.
Mungkinkah Malut dapat diberi Otsus ?
Menjawab pertanyaan ini, saya perlu mengurai dua alasan mendasar dalam perspektif teori daerah di Indonesia yang mendapatkan pemberlakuan otsus. Pertama, landasan hak asal-usul. Ini bisa dilihat dari berbagai perspektif, misalnya sejarah masuknya suatu daerah ke pangkuan NKRI, atau perjuangan suatu daerah dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan/atau mempertahankan kemerdekaan.
Pada konteks ini, apakah Malut memenuhi unsur atau tidak ?
Saya pikir biar ahli sejarah yang mengurai
Alasan kedua?
Landasan kebutuhan. Ini bisa dilihat dari perspektif budaya atau demografi, misalnya. Di Indonesia, pengelolaan maksimal batas laut provinsi adalah 12 mill dari pantai pulau terluar. Padahal, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah 200 mil.
Sebab itu, provinsi kepulauan seperti Maluku Utara yang luas lautnya dua kali lebih luas dari luas daratan menyebabkan kewenangan pengelolaan daerah oleh pemerintah provinsi sangat terbatas.
Berbeda dengan provinsi lain seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang luas daratan lebih luas dari luas laut. Berdasarkan dua perspektif ini, pertanyaan apakah Malut mungkin diberikan otsus, saya pikir sangat mungkin.
Apa kekhususan Malut jika dibandingan Papua, Aceh dan Yogyakarta ?
Sebelum menjawab kekhususan dari Malut, perlu kita lihat kekhususan dari Papua, Aceh dan Yogya.
Kekhususan Papua adalah soal adat sehingga di Papua itu ada Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi tokoh adat. Kekhususan Aceh adalah syariat Islam. Sementara kekhususan Yogya, salah satunya ada pada model pengisian jabatan kepala daerah, dimana Sultan Yogya adalah otomatis Gubernur DIY.
Menurut saya, yang dapat menjadi kekhususan di Malut itu ada dua, yaitu demografi laut yang begitu luas dan kekhususan adat namun tidak seperti di Yogya. Penjelasan mengenai kekhususan adat yang tidak seperti Yoyga itu saya pikir perlu penjelasan tersendiri.
Efektifkah jika Otsus Malut didorong dengan latar Historis ?
Menurut saya justru titik tolak mendorong otsus Malut harus berangkat dari landasan hak asal-usul yang salah satunya adalah perspektif historis. Meskipun begitu, kita harus jujur pemberian otsus di tiga daerah yaitu Aceh, Papua dan Yogya, yang selalu dilatar belakangi oleh gerakan yang mengganggu integrasi bangsa.
Di Aceh ada manufer GAM misalnya. Di Papua ada gerakan makar OPM misalnya. Sedangkan di Yogya, pada massa Pemerintahan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), kita ingat gonjang-ganjing otsus Yogya, sehingga Ratu Yogya yang juga merupakan anggota DPD RI pada waktu itu, menyerukan Yogya tetap istimewa atau referendum.
Sebab itu, menurut saya, selain otsus DKI Jakarta, otsus di tiga daerah lain adalah kebijakan kompromistis negara untuk meredam gejolak yang mengancam integrasi bangsa.
Apa yang paling urgen untuk dibenahi di Malut ?
Saya salah satu orang yang setuju mendorong otsus di Malut, karena sejak tahun 2014 saya telah menulis dan menerbitkan buku dengan judul Otonomi Khusus Maluku dan Maluku Utara - Project Kawasan Khusus Kelautan.
Meskipun begitu, menurut saya saat ini masih banyak hal yang lebih urgen dilakukan di Malut dari sekadar mendorong otsus. Salah satunya adalah soal status Kota Sofifi yang tidak kunjung arah lintangnya. Provinsi yang begini kaya, ibu kotanya berstatus kecamatan. Inikan lucu. Atau misalnya soal lingkungan yang rusak karena operasi pertambangan.
Apakah tuntutan Otsus Malut lebih dari sekadar budget ?
Menjawab pertanyaan ini, saya bersikap tegas, jika otsus hanya sekadar urusan budget, lebih baik tidak usah otsus. Banyak riset membuktikan otsus di Aceh dan Papua yang mendapatkan dana otsus fantastis, namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan di daerah. Hanya memperkaya elite lokal saja.
Otsus dalam Bayang-bayang Elit Lokal
Senada dengan itu, Akademisi Universitas Khairun Ternate, Mukhtar Adam, mengatakan kekhususan ada pada nilai atas sebuah pengakuan dari keaslian wilayahnya. Oleh karena itu, Aceh diberikan kekhususan dengan semangat keagamaannya, dengan sebutan Serambi Mekah. “Kalau DKI Jakarta berangkat dari undang-undang yang mengamanatkan itu sebagai ibukota negara," jelasnya.
Daerah Istimewah Yogyakarta, kata dia, ada kesultanan yang nilai-nilainya masih dijaga. Sebab Sultannya juga pernah menjadi menteri. "Papua untuk mendorong percepatan pembangunan dan sumber daya manusiannya, tapi toh faktanya masih terjadi ketimpangan," paparnya.
Persoalan otsus Papua, kata Mohtar, selain keaslian kultur, terdapat keterlambatan pembangunan serta indeks pembangunan manusia (IPM). Namun dana otsus yang digelontorkan pemerintah tak menetes ke bawah. "Makanya Papua sekarang lagi mengarah pada berakhirnya status otsus," katanya.
Sebab menurut dia, fakta menunjukkan adanya kelambatan pembangunan, IPM, serta kucuran dana yang tidak mengalir sampai ke bawah. "Aliran dana menumpuk pada elite. Padahal budgetnya untuk menyeimbangkan dengan daerah lain di Indonesia," katanya.
Mukhtar mengakui, pertumbuhan perekonomian Malut cukup tinggi. Namun itu bertumpu pada sektor pertambangan. Sedangkan sampai hari ini, masalah kopra tak kunjung tuntas. "Karena kita tidak menyentuh pada aspek yang paling substansial. Jadi kenapa kita tidak ribut soal harga kopra, tambang, yang rohnya ada pada rakyat, " katanya.
Mukhar mengapresiasi langkah para aktivis Malut dalam mendorong otsus tersebut, namun ia menyarankan agar sebaiknya selesaikan dulu persoalan Sofifi yang sampai hari ini belum dimekarkan. "Jadi kalau jadi anggota dewan, bisa tidak berkomitmen untuk pemekaran Sofifi," ucapnya.
Sementara itu, Pengamat Hukum, Sosial, dan Politik Malut, Sumarlin Maate, menegaskan tidak ada alasan yang kuat untuk mengotsuskan Malut. "Sebab Malut bukan daerah terluar," katanya.
Menurut dia, jika menggunakan pendekatan geografis, bakal berbenturan dengan isu kemaritiman. Otsus, jika kata kuncinya adalah kepulauan, itu bisa diterima. Sebab Malut adalah daerah yang hampir 90 persen seluruh aktivitas kebijakan publik dan pemerintahan, dilakukan melalui sektor kepulauan. "Itu alasan yang tepat," tandasnya.
Menurut dia, jika kita mewacanakan otsus, maka harus berbicara tentang kekhususuan Malut yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Yakni, luas lautan yang lebih luas dari daratan. Karena Malut adalah daerah kepulauan. "Kalau itu yang kita dorong dalam otsus, bisa diterima," tandasnya.
Komentar