Pertambangan

Ternyata, Ratusan Hektar Aset Daerah Telah ‘Diklaim’ PT WBN

Masyarakat adat aksi memblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat, 2013 silam || Foto: AMAN Maluku Utara

Weda, Hpost – Sengketa lahan ratusan hektare menyeret PT Weda Bay Nikel. Perusahaan nikel yang beroperasi di Weda Halmahera Tengah itu terindikasi telah menyaplok 147 hektare lahan aset daerah melalui jual beli dengan oknum tanpa sepengetahuan pemerintah daerah.

Hal itu dibahas dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)  Halmahera Tengah (Halteng), bersama Badan Pertanahan Nasional, terkait dengan lahan milik Pemerintah Daerah (Pemda) Halteng yang dikuasai telah oleh PT Weda Bay Nickel (WBN), Senin 15 Juni 2020.

"Kami juga mengundang kepala Badan Pertanahan untuk mempertanyakan status kepemilikan, khususnya yang menjadi fokus panja adalah wilayah Weda Tengah dan Weda Utara, dan salah satu yang disoroti adalah status lahan Nuspera I dan II,” ungkap, Ketua Panja DPRD Halteng, Nuryadin Ahmad usai rapat.

Menurut Nuryadin, sebagaimana yang diketahui,  status Nuspera itu berdasarkan surat dari menteri keuangan RI merupakan aset negara yang dikembalikan kepada daerah yang saat itu masih berstatus Provinsi Maluku.

Berdasarkan dokumen itu, Negara telah menyerahkan dua lokasi yakni Tilope I dan II kecamatan Weda Selatan,  dan Nuspera I dan II di kecamatan Weda Tengah, kepada Pemda Halteng.

Nuryadin menjelaskan, yang menjadi masalah itu lahan Nuspera I dan II,  yang saat ini sudah di kuasai oleh Perusahaan Weda Bay Nikel (WBN).

Rapat Panja DPRD Halmahera Tengah bersama Badan Pertanahan Nasional, Senin 14 Juni 2020, kamerin || Foto: Ino/Hpost

PT WBN adalah salah satu perusahaan tambang Nikel terbesar di Indonesia. Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, luasan konsesi perusahaan ini 54.874 hektar. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan lindung.

"Setelah panja telusuri,  ternyata dari Lahan Nuspera I dan II yang luasnya 190 hektare ini,  43 Hektare telah diganti rugi oleh PT WBN pada tahun 2006, yang pemerintahannya masih Hasan Doa dengan nilai ganti ruginya Rp800 Juta lebih yang dibayar langsung ke rekening Daerah," jelasnya.

Sementara, untuk sisa lahan seluas 147 Hektar , kata Nuryadin,  sedang diusut hak kepemilikannya karena telah PT WBN.

"Tapi dalam ketentuan undang-undang Agraria,  yang namanya aset Daerah tidak bisa dijual belikan hanya bisa di lakukan kontrak kerja sama melalui Hak Guna Bangunan (HGB) antara Pemda dan pihak perusahaan," cetusnya.

Nuryadin menjelaskan, selama ini belum ada kesepakatan Pemda dan Perusahaan atas lahan 147 Hektar itu. Namun, di sisi lain oknum-oknum tertentu telah mengklaim lokasi itu adalah milik mereka dan kemudian dijual ke WBN.

Sejauh ini, Nuryadin bilang, pihaknya belum mengetahui siapa oknum dibalik jual beli aset daerah itu. Dengan demikian, pihaknya akan secara resmi meminta data otentik kepada PT WBN.

"Kalau itu sudah bersertifikat diperlihatkan,  dan yang menjual itu siapa akan kita minta dokumen itu,  selanjutnya akan kita telusuri," tandasnya.

Nuryadin menegaskan, Panja akan mendorong pemda untuk mengambil alih 147 Hektar lahan itu sebagai aset daerah.

“Kalaupun itu akan digunakan oleh pihak perusahaan maka sistemnya HGB,  bukan menjadi milik WBN,” katanya, sembari menguraikan, dengan sistem itu Pemda bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari hasil kekayaan itu.

Verivikasi Kepemilikan Lahan

Sementara itu, pembebasan lahan II tidak berdasarkan kepemilikan sertifikat, tetapi dibebaskan hanya dengan bukti Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dari kepala Desa.

“Untuk itu Panja juga akan turun ke lokasi untuk meninjau,  selain Nuspera I dan II tapi juga lahan usaha II sehingga kita bisa pastikan,” katanya.

Oleh karena, itu pihaknya akan mengverifikasi hak kepemilikan yang valid,  kemudian akan direkomendasikan kepada Pemda untuk mengambil sikap secara politik maupun secara administrasi, dengan pihak perusahaan.

Sementara untuk lokasi tanah garapan di wilayah Kaurahe, Sakauleng,  dan Akejira,  berdasarkan informasi dari BPN tiga wilayah itu masuk dalam kawasan hutan.

“Maka berdasarkan ketentuan perundang-undangan,  itu tidak bisa diperjualbelikan,” katanya.

Tetapi kalau masyarakat setempat mempunyai bukti kepemilikan seperti kebun misalnya,  maka pihak yang akan berinvestasi di situ hanya bisa membayar ganti rugi.

"Ganti rugi tapi hanya tanaman,  bukan ganti rugi lahan," tutupnya.

Penulis: Ino
Editor: Red

Baca Juga