INTEGRITAS
Surat Pertama untuk Gunawan Tidore
Marcus Aurelius mengatakan, “jika tidak benar, jangan katakan; jika tidak benar, jangan lakukan.” Ini merupakan potret pemikiran tentang integritas, tanggung jawab pribadi, kepercayaan diri, dan tindakan yang benar terhadap masalah kehidupan. Pernyataan Aurelius tersebut kemudian dirangkum oleh Albert Camus: “integritas tidak memerlukan aturan.” Artinya, integritas selalu memihak pada moral, kejujuran, kebenaran, keadilan, dan di luar itu tidak diperlukan—karena hanya menyisakan kebohongan.
Saya tidak yakin dengan sistem politik dan hukum sejak dipraktekkannya konsep tersebut, sebab seringkali tidak mengikutsertakan integritas. Dan integritas kini telah menjadi sesuatu yang paling penting dalam pengalaman manusia. Hari-hari kita dikelilingi oleh aturan politik, hukum, serta peraturan lainnya, dan kebanyakan orang menerima apa yang diperintahkan—meskipun sebenarnya berbenturan dengan integritasnya. Bahkan tidak ada gagasan-gagasan kritis untuk menentang kebohongan, ketidakmasukakalan.
Bagi saya, secara praktis, tidak ada istilah pembangunan berkemajuan jika tidak diikutsertakan dengan politik berintegritas. Artinya, perubahan besar tidak mungkin terjadi meskipun terdapat perubahan politik, tanpa diikuti dengan label akal sehat, moral, kejujuran, dan keadilan, maka sulit mewujudkan suatu kemajuan signifikan. Kenyataan inilah yang saat ini terjadi, sebab praktik perpolitikan kita adalah politik konvensional, politik uang, patron klien, pragmatisme, politik tanpa akal sehat, gagasan, dan anti kritik. Pada titik inilah integritas para “intelektual” akan teruji di tengah sistem politik dan demokrasi serba carut-marut sekarang ini.
Integritas itu terletak pada kemampuan seseorang untuk tunduk pada kejujuran dan lebih dulu menguasai diri sendiri. Apakah integritasnya diperjuangkan dengan keras dan mengambil tanggung jawab pada kehidupan yang benar? Tidak terbuai oleh kekuasaan dungu, kata Rocky Gerung. Apakah mereka yang memiliki integritas dapat memisahkan diri dari peraturan dan kemacetan kekuasaan yang pada dasarnya gagal menciptakan pemajuan berkeadilan? Laswell (1936) mengatakan bahwa politik berkaitan dengan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Yang dimaksud Laswell dengan kata "mendapat apa" tentu adalah kekuasaan—bagi-bagi kekuasaan. Ini merupakan salah satu penyebab hambatan pembangunan berkemajuan.
Memang, tak bisa dipungkiri bahwa di tengah kompleksitas dan carut-marutnya kompas kehidupan yang terkadang membuat banyak orang frustrasi—termasuk mereka para pemilik integritas. Seperti sebuah pendapat yang mengatakan, kebosanan terjadi karena manusia kehilangan makna dalam hidup atau rutinitasnya. Ketidakadaan makna ini awalnya dari rasa hampa, teralienasi, dan ujungnya akan sampai pada depresi. Jiwa-jiwa yang kosong, bak barisan zombi, hidup lama tapi tak ada arti.
Pada konteks inilah pemilik integritas diperhadapkan pada dua pilihan: pertama, menyerah pada kepalsuan, tipu muslihat, penyimpangan, ketidakadilan, dan pada penguasa (pejabat) yang nyata-nyata gagal secara fungsional. Kedua, menguasai diri paling utama, melawan godaan untuk tidak terjatuh. Oleh karena, di dalam diri ada sesuatu yang jauh lebih menggoda, yaitu tidak menyerah pada kehampaan, kekuasaan, dan teguh pada akal sehat. Ini adalah pegangan hidup yang teramat sangat bernilai, meskipun lama-kelamaan melelahkan dan merasa malu (status ekonomi) dikarenakan terlalu menuruti akal sehat (sebagai bentuk integritas diri).
Di sini saya melihat saudara saya, Gunawan Tidore, memilih poin pertama: menyerah pada situasi, mengorbankan integritas dirinya pada Rezim pongah dan kerap kali menggunakan daya tipu muslihat (kebohongan) demi melanggengkan kekuasaannya.
Saya masih ingat betul, pada suatu kesempatan, saudara saya, yang pada saat itu masih bekerja di sebuah media lokal ternama, menyampaikan penyesalan begitu mendalam, bahwa ia pernah dijanjikan sesuatu (dibohongi) oleh calon Bupati.
Saya mengutip perkataannya yang kurang lebih begini bunyinya: “Adik tenang saja, jika saya menjadi Bupati, Adik pun akan aman” (entah apa, tidak disebutkan), kata calon Bupati itu kepada saudara saya. Akan tetapi, ketika telah menjadi Bupati, pesan WhatsApp-nya saja tidak pernah dibalas, dan teleponnya pun tidak diangkat oleh Bupati hingga sekarang, kata saudara saya kepada saya saat itu. Pambafoya (pembohong) sekali, sambungnya. Bahkan selama Rezim FAM-SAH menjabat, tidak ada pembangunan berkemajuan signifikan.
Bisa kita melacak fakta pembangunan di beberapa sektor, misalnya, sektor pertanian, perikanan, dan kelautan, tidak ditemukan adanya suatu pemajuan berarti. Sektor pariwisata, misalnya, yang hampir setiap tahun digelar Festival Tanjung Waka, terbatas pada hajatan seremoni dan menghabiskan anggaran begitu besar, akan tetapi, tidak mempunyai dampak ekonomi berkelanjutan. Sedangkan infrastruktur jalan teramat sangat memiriskan—khususnya Kecamatan Sula Besi Barat.
Namun, ketika berada pada ujung kekuasaan dan hendak melanggengkan kekuasaannya, politik pencitraan, politik tebar pesona menggema dan merayu pundi-pundi kehidupan masyarakat. Sehingga menurut Marx, kekuasaan merupakan sejenis benda (modal) yang harus dikuasai (Agger, 2007:282). Rayuan paling menggoda untuk melanggengkan kekuasaannya adalah mereka mencoba memperbaiki infrastruktur jalan dan sebuah jembatan yang menghubungkan Desa Kabau Laut dan Kabau Darat, Kecamatan Sula Besi Barat.
Yang cukup menyayat hati adalah, proses pembangunan jembatan itu dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat di kedua desa itu tanpa diupah. Padahal pembangunan jembatan tersebut menggunakan anggaran negara. Maka, dapat dikatakan bahwa kehadiran negara (penguasa) dalam mengimplementasikan program pembangunan, tetapi di saat bersamaan ada kebohongan-kebohongan yang tidak disadari masyarakat—yakni mengeksploitasi tenaga kerja masyarakat. Di sini, kita dapat melihat bahwa demi melanggengkan kekuasaan, Rezim ini menggunakan segala cara, termasuk tipu daya dan kebohongan.
Yang lebih menyayat hati lagi adalah mereka yang tergolong pengagum akal sehat pun menyerah pada tipu muslihat penguasa pongah. Termasuk saudara saya, yang bahkan pernah dibohongi, tetapi saat ini, menyatakan sikap mendukung dan menebar pujian demi pujian pada Rezim pongah itu. Roskin (2016:7-8) menulis, kekuasaan merupakan koneksi antar orang, kemampuan seseorang untuk membuat orang lain mau melakukan keinginannya.
Mereka yang berupaya meyakinkan orang lain agar mengikuti keinginannya, keinginan untuk melanggengkan kekuasaan, tentu memiliki koneksi dengan kekuasaan dan di sana ada kesepakatan-kesepakatan tertentu, misalnya bagi-bagi kuasa, jabatan, atau hal lainnya bila memenangkan kompetisi politik. Orang-orang seperti ini menurut Rocky Gerung, “tidak ada kemuliaan pada mereka yang munafik, berapi-api teriak perubahan, tapi menjual dirinya ketika ditawari kekuasaan.”
Saudara saya, Gunawan Tidore, saat menanggapi catatan singkat saya di beranda Facebook tentang integritas, mengatakan, “integritas yang dilayangkan pada saya itu tidak bisa ditakar dalam konteks politik saat ini.” Meskipun di awal tulisan di atas sudah dijelaskan soal integritas dengan mengutip Aurelius dan Camus, namun sekali lagi saya mengafirmasi akar dari makna integritas dan dikaitkan dengan politik kekinian yang dimaksudnya.
Secara terminologi, integritas diartikan sebagai sesuatu hal yang mengacu pada *self unity* yang menampilkan karakter atau moral, kejujuran seseorang, serta dapat menghormati individu dan semua bentuk kehidupan yang benar (Saifullah Bonto, 2024). Sementara politik menurut Y.B. Mangun Wijaya dalam bukunya “Kata-Kata Terakhir Romo Mangun,” politik dibagi menjadi dua. Pertama, politik dalam artian kekuasaan, yaitu bagi mereka yang berkuasa, berupaya untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan.
Kenyataan inilah yang selama ini masyarakat umum memahaminya, sehingga muncul istilah politik itu kotor. Hal ini berdasarkan atas fakta proses perpolitikan yang melibatkan politik uang, patron klien, pragmatisme, pencitraan, dan akhirnya berimplikasi terhadap kemacetan pembangunan. Adalah politik yang tidak melibatkan integritas diri dan integritas politik oleh pemimpin seperti sudah disinggung di atas terkait kemandekan pembangunan di Kabupaten Kepulauan Sula di masa Rezim FAM-SAH.
Kedua, politik moral, yaitu niat demi kepentingan orang banyak. Inilah sebenarnya arti politik sesungguhnya. Romo Mangun juga mengatakan kalau sampai akademisi, intelektual, dan pengamat politik berpendapat bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi, maka hal itu menyedihkan sekali.** Baginya, mereka hanya ikut-ikutan dengan paradigma politik kekuasaan. Hal ini juga yang dilakukan oleh Gunawan Tidore, yang akhir-akhir ini cenderung menebar pujian pada Rezim FAM-SAH, dan akhirnya, melumpuhkan integritas diri sendiri.
Dari segi politik moral, teman abadi cuma ada tiga, yaitu prinsip memperjuangkan apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang indah. Ini adalah teman-teman yang abadi-sejati, dan jelas tidak bisa berubah. Pernyataan Romo Mangun relatif sejalan dengan Marcus Aurelius: jika tidak benar, jangan katakan; jika tidak benar, jangan lakukan. Fakta ini juga dapat disimak dalam pernyataan saudara saya, Gunawan Tidore, yang di beranda Facebook-nya mengatakan, kran demokrasi sangatlah terbuka di masa kepemimpinan FAM-SAH.
Pernyataan Gunawan Tidore, jika dilacak secara faktual, adalah suatu hal yang sangat kontradiktif. Asumsi mendasarnya adalah bahwa kran demokrasi akan terbuka lebar, jujur, adil, dan bermartabat hanya jika melibatkan integritas diri serta politik moral. Di sini, konsekuensi praktisnya akan melibatkan etika perpolitikan (sebagai proses politik) dan dampaknya terhadap kebijakan pembangunan berkeadilan. Fakta tersebut tidak ditemukan pada periode Rezim FAM-SAH yang saat ini berkeinginan kuat melanggengkan kekuasaannya.
Dengan demikian, integritas adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan dalam politik maupun kehidupan sehari-hari. Tanpa integritas, politik hanya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan yang penuh dengan tipu daya dan manipulasi, seperti yang telah kita saksikan pada Rezim FAM-SAH. Namun, bagi mereka yang masih memegang teguh integritas, mereka akan selalu berjuang untuk apa yang benar, baik, dan indah—meski tantangan dan godaan untuk menyerah selalu ada.
Ini adalah panggilan moral bagi kita semua, untuk tidak tunduk pada kekuasaan yang tanpa integritas, dan untuk selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Semoga saudara saya, Gunawan Tidore, dan semua yang membaca ini, dapat merenungkan pentingnya integritas dan memilih untuk tidak menyerah pada kepalsuan dan tipu muslihat dalam segala bentuknya.