Perspektif Sepakbola
Sepakbola Gajah Mengintai Malut United di Big Four Liga 1, Bisa Kalah dari PSIS?
Pekan ke-33 Liga 1, yang mempertemukan Malut United FC vs PSIS Semarang, pada Jumat 16 Mei 2025, menghadirkan ketegangan di papan atas klasemen. Malut United, tim promosi yang tampil mengejutkan musim ini, kini berada di posisi empat besar—zona krusial yang menjadi tiket menuju Liga Champions Asia.
Laskar Kie Raha saat ini menempati posisi keempat klasemen dengan 53 poin. Di bawahnya mengintai Borneo FC dengan 52 poin, disusul Persija Jakarta yang mengoleksi 50 poin.
Namun, aroma tak sedap mulai merebak. PSIS Semarang, yang berada di dasar klasemen dan sudah dipastikan degradasi disinyalir akan menang di Gelora Kie Raha, kandang Malut United. Kemenangan itu, secara matematis, tak lagi berarti bagi PSIS. Tapi bagi Persija, kemenangan tersebut sangat krusial: membuka peluang besar menuju zona Asia, terutama karena laga pamungkas mempertemukan mereka dengan Malut United di Jakarta International Stadium pada 23 Mei.
Publik sepakbola perlu menyoroti potensi praktik sepakbola gajah. Malut United dianggap mungkin realistis, dengan "merelakan" dua laga terakhir demi fokus membangun tim musim depan. Apalagi, manajemen klub tengah berfokus pada penguatan fasilitas seperti training center yang akan menunjang kesiapan mereka secara jangka panjang, dengan targer realistis juara musim depan.
Lebih kompleks lagi, andai Malut United lolos ke Liga Champion Asia, mereka tak bisa menjamu lawan di kandang sendiri karena Stadion Gelora Kie Raha tidak memenuhi standar AFC. Artinya, seluruh laga kandang akan berlangsung di luar Ternate, yang tentu saja menghilangkan dukungan psikologis dari fanbase. Hal ini patut menjadi pertimbangan manajemen untuk tidak memaksakan ambisi Asia.
Di tengah atmosfer ini, publik olahraga perlu menaruh curiga. Sepakbola gajah bukan hal baru. Dalam sejarah dunia sepakbola, publik pernah menyaksikan laga “Disgrace of Gijón” di Piala Dunia 1982, saat Jerman Barat dan Austria diduga saling mengatur hasil. Momentum dalam sepakbola bisa diciptakan secara sangat halus oleh para "pemain", dan diiyakan oleh "hakim garis". Secara eksplisit, penonton awam tidak akan menyadari bahwa pertandingan sudah diarahkan.
Di Indonesia, tragedi sepakbola gajah antara PSS Sleman dan PSIS Semarang pada 2014 juga menjadi contoh nyata, saat kedua tim justru berusaha kalah agar tidak bertemu Pusamania Borneo FC di babak berikutnya. Aksi-aksi itu membuat publik marah dan mempermalukan wajah sepakbola nasional.
Momentum seperti itulah yang menjadi kekhawatiran hari ini. Publik khawatir bahwa pertandingan yang tampak “fair” di permukaan, sejatinya telah diskenariokan demi kepentingan klub lain. Dalam konteks ini, "kemenangan PSIS" atas Malut United tidak hanya jadi catatan klasemen, tapi juga memperkuat pintu spekulasi.
Manajemen Malut United kini punya pekerjaan rumah besar. Mereka harus menjaga kepercayaan publik atas tren positif dan performa konsisten yang sudah dibangun sepanjang leg kedua. Hasil negatif di kandang nanti akan menjadi pukulan telak, karena di mata publik Maluku Utara, tunduk di Gelora Kie Raha adalah sesuatu yang nyaris mustahil dan tak termaafkan.