Opini
Nilai-Nilai Keluhuran Sejarah dan Adat Istiadat sebagai Pemandu Peradaban
Penulis: Arnel Loloh, Guru
===============================
Kabupaten Halmahera Selatan merupakan gugusan kepulauan yang indah, dihiasi pepohonan kelapa, cengkeh, dan pala, serta kaya akan sumber daya alam seperti emas, nikel, dan lainnya. Secara geografis, Halmahera Selatan memiliki populasi terbesar dan wilayah terluas di Provinsi Maluku Utara. Keberagaman suku bangsa yang mendiami wilayah ini telah membentuk suatu peradaban sosial yang unik, sarat akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal.
Keanekaragaman budaya ini menciptakan karakteristik yang berbeda-beda antar komunitas. Keberadaan berbagai suku menjadikan Halmahera Selatan sebagai wilayah yang kaya secara antropologis dan sosiologis. Dalam konteks inilah nilai-nilai adat istiadat menjadi penting untuk dilestarikan karena telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu.
Dorongan dari nurani masyarakat, terutama pemerintah daerah, tokoh adat, pemuka agama, dan tokoh masyarakat lainnya, melahirkan satu kesepakatan penting: nilai-nilai adat harus dijaga dan diwariskan. Dari pemikiran itu, lahirlah gagasan mengenai Sibua Lamo.
Istilah Sibua Lamo berasal dari dua kata: Sibua atau Hibua yang berarti "tenda", dan Lamo yang berarti "besar". Secara harfiah dapat dimaknai sebagai "Tenda Besar" atau "Rumah Besar". Pemerintah daerah bersama para tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat sepakat menjadikannya simbol pemersatu yang mengandung filosofi kehidupan bersama. Sibua Lamo bukan sekadar bangunan, tetapi simbol nilai-nilai luhur yang mengajarkan gotong royong, musyawarah, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Pertanyaan yang sering muncul adalah: sejak kapan Sibua Lamo ada? Di mana asal-usulnya? Apa filosofinya? Tidak sedikit yang berasumsi bahwa Sibua Lamo hanya sekadar simbol politis. Namun, sesungguhnya, Sibua Lamo telah ada sejak zaman peradaban awal dari sepuluh suku asli di Halmahera Utara, khususnya di Ta Aga Lina (Kao Barat). Bangunan ini dijadikan sebagai tempat musyawarah untuk membahas berbagai persoalan sosial, mulai dari panen raya, perayaan adat, hingga penyelesaian sengketa.
Uniknya, Sibua Lamo memiliki empat pintu utama yang melambangkan empat penjuru mata angin. Filosofi ini mencerminkan keterbukaan dan penghormatan terhadap keberagaman. Empat pintu ini juga menggambarkan bahwa masyarakat Halmahera Selatan hidup dalam kemajemukan namun tetap satu dalam nilai dan tujuan. Sebelum konstitusi Indonesia lahir, nilai-nilai luhur seperti ini telah lebih dahulu hidup dalam struktur masyarakat adat, termasuk nilai-nilai Sibua Lamo.
Sibua Lamo bukan hanya simbol, tetapi juga pedoman dalam membangun masyarakat. Ia mengajarkan prinsip saling mengasihi (O Dora Madodagi), saling melayani (O Leleani Madatoro), serta hidup dalam kebenaran dan keadilan (O Diai Madataro). Nilai-nilai ini menjadikan masyarakat lebih kuat dalam menjalin persaudaraan, menghindari konflik, dan menjaga harmoni dalam kehidupan sosial.
Sebagai anak cucu dari Tobelo-Galela (TOGALE), kita mewarisi pesan luhur:
“Nako to ona – to ona. Nako tongone – tongone.”
Kalimat ini, meski singkat dan sederhana, menyimpan makna mendalam: jangan saling menyakiti, jangan saling menjatuhkan, mari saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Warisan nilai seperti ini adalah amanat dari Sang Ilahi kepada masyarakat TOGALE, baik dalam ranah pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari.
O Pine Molulu: Kearifan Lokal yang Hidup
Dalam perjalanan sejarah, mitologi sering kali menjadi cikal bakal lahirnya nilai-nilai luhur. Mitologi bukan sekadar cerita, melainkan pemicu munculnya pemikiran kritis dan metode ilmiah untuk memahami kehidupan. Di Maluku Utara, nilai lokal seperti O Pine Molulu di Desa Wangongira adalah contoh nyata. Desa ini sebelumnya berada di bawah wilayah administrasi Kao Barat, kemudian berpindah ke Tobelo Timur.
Masyarakat secara turun-temurun mempercayai kisah tentang O Pine iwango o Akere ma hahuroka—padi yang tumbuh di tengah sungai yang mengalir deras. Dalam logika ilmiah, hal ini tentu mustahil. Namun, dalam sudut pandang adat, ini dianggap sebagai anugerah sakral dari Sang Pencipta. Antropologi Halmahera Utara menempatkan padi ini sebagai lambang kesucian, rezeki, dan berkah.
Kisah ini bermula saat sepasang suami istri bersama anak-anak mereka pulang dari kebun. Sang nenek membawa padi dalam saloi dan saat menyeberangi sungai, ia terjatuh akibat derasnya arus. Padi pun tumpah dan terbawa arus. Sebelum menghilang, sang nenek sempat berpesan:
“Ahi ngoha-ngohaka de ahi dano-danongo nanga pine nanga ipuraraha, ho ika ika nima dadi tero ka nanga Pine la o kawaha ingodumu idadi ya ayomo. De ahi behehongo nia tuda nia wowango tero ka o pine malihunu.”
Artinya: Padi kita telah tumpah dan hanyut di sungai ini. Biarlah semua orang menikmati padi kita sebagai berkat. Semoga kalian hidup seperti padi: semakin berisi, semakin merunduk.
Dari filosofi Hibua Lamo dan O Pine Molulu, kita belajar pentingnya hidup saling menopang dan menghormati, tanpa membedakan latar belakang suku, agama, atau status sosial. Ketika berada di puncak kehidupan, hendaknya kita tetap rendah hati agar sejajar dengan akar rumput yang menopang.
Nilai-nilai ini bukan sekadar kisah dari masa lalu, tetapi pedoman hidup masa kini dan masa depan. Filosofi padi bukan hanya milik budaya agraris di tanah Jawa, tetapi juga warisan agung masyarakat TOGALE. Sebab kita semua adalah bagian dari tongone nanga roehe madutu — satu dalam keberagaman, utuh dalam kebersamaan.