Perspektif
PENGAMPUNAN
Oleh: HENDRA KASIM
Advokat & Legal Consultant/Managing Partner Kantor Hukum HK&P
Mengejutkan, Pemerintah (30/7) meminta pertimbangan DPR untuk memberikan Abolisi kepada Thom Lembong terdakwa kasus import gula yang sedang menempuh upaya hukum banding setelah mendapatkan putusan kontroversial pada pengadilan tingkat pertama dan Pemerintah juga memberikan Amnesty kepada beberapa narapidana salah satunya Hasto Kristianto yang terjerat kasus Harun Masiku. DPR (31/7) memberikan pertimbangan dan persetujuan atas surat pemerintah tersebut. Dengan demikian, Thom Lembong mendapatkan pemberian Abolisi dan Hasto Kristianto mendapatkan Amnesty.
Constitutional Authority
Memberikan abolisi dan amnesty merupakan sebuah peristiwa konstitusional. Karena Presiden sebagai hade of state berwenang memberikan abolisi dan amnesty kepada seseorang dengan pertimbangan DPR. Mekanisme pengampunan seperti ini dalam konstitusi Indonesia dikenal ada 4 (empat) jenis, yakni grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi.
Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”; ayat (2) menyebutkan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pertanyaan hukumnya adalah apa yang dimaksud grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi? Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (untuk selanjutnya disebut UU No. 22/2002) menyebutkan “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Dengan demikian, pemberian Grasi merupakan suatu pengampunan oleh Presiden setelah seorang terpidana mendapatkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pemberian Grasi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kedua kepada terpidana dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan atau dengan mempertimbangkan keadaan sosial tertentu yang mengharuskan pemberian grasi demi mewujudkan rasa keadilan.
Rehabilitasi secara normatif tidak memiliki peraturan turunan selevel UU yang khusus mengatur mengenai rehabiltiasi seperti halnya UU No. 22/2002. Namun, definsi tentang rehabilitasi dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 23 KUHAP yang menyebutkan “rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP”. Karenanya, pemberian rehabilitasi dimaksudkan untuk memulihkan hak-hak seseorang akibat dari penegakan hukum yang keliru baik karena subjek hukum yang keliru maupun norma hukum yang keliru diterapkan.
Tidak seperti rehabiltasi yang tidak ada pengaturan norma selevel undang-undang, amnesti dan abolisi memiliki pengaturan selevel undang-undang seperti halnya UU No. 22/2002 yang mengatur mengenai grasi, yaitu Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (untuk selanjunya disebut UU Drt. No. 11/1954). Sayangnya, UU Drt. No. 11/1954 tidak memberikan Batasan baku mengenai Amnesti dan Abolisi.
Merujuk pada Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Sedangkan abolisi adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapus tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Karenanya, dengan diberikannya amnesti, semua akibat hukum pidana dihapuskan. Sedangkan abolisi meniadakan penuntutan terhadap seseorang atau dengan kata lain penghentian terhadap suatu kasus hukum yang sedang berjalan akibat dari penilaian terhadap suatu proses hukum yang dianggap tidak relevan, tidak adil atau adanya kesalahan penerapan hukum.
System Critisism
Sebagai peristiwa konstitusional, pemberian grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi merupakan keputusan politik pemerintah. Karenanya, konstitusi meberikan pembatasan kewenangan Presiden dalam menggunakan hak prerogatif tersebut. Grasi dan rehabilitasi memerlukan pertimbangan MA, sedangkan abolisi dan amnesti memerlukan pertimbangan DPR.
Pemberian grasi dan rehabilitasi yang terlebih dahulu memerlukan pertimbangan MA merupakan proses saringan hukum atas keputusan politik pemerintah. Sementara itu, menjadi persoalan dalam pemberian abolisi dan amnesti, dimana keputusan politik pemerintah melalui saringan politik di DPR. Padahal, baik abolisi maupun amnesti, merupakan bentuk intervensi politik terhadap hukum. Sehingga, saringan hukum diperlukan dalam pengambilan keputusan politik.
Tindakan subjektif pemerintah perlu diobjektifkan. Seperti tindakan subjektif pemerintah memberikan grasi dan rehabiltiasi diobjektifkan melalui pertimbangan hukum MA. Selayaknya, perlu dipertimbangkan agar abolisi dan amnesti juga melalui proses objektifikasi dilembaga hukum seperti grasi dan rehabilitasi. Ius constituendum, amandemen UUD 1945 diperlukan untuk reduplikasi proses objektifikasi dari tindakan subejktif pemerintah dalam pemberian abolisi dan amnesti.
Closing Statement
Disamping kritik atas system yang perlu dipikirkan untuk ditata ulang, pemberian abolisi kepada Thom Lembong merupakan keputusan politik bijaksana yang dilakukan Presiden Prabowo. Penggunaan kewenangan yang menunjukkan sense of crisis atas pesimisnya wajah penegakan hukum, pula menunjukkan respon positif atas reaksi publik terhadap penegakan hukum yang tampak kuat nuansa kriminalisasi. Sebagai Kepala Negara, Presiden sudah sepantasnya memastikan tegaknya marwah penegakan hukum, bukan mengatur hasilnya. Ketika kekuasaan menggunakan hukum sebagai alat pengekang, wajah rechstaat diganti topeng machstaat. Disinilah peran Kepala Negara memastikan tegaknya negara hukum dengan menjaga penegakan hukum berada pada rellnya.
Sebagaimana seorang Filsuf dari Inggris bernama William Blackstone yang dalam hukum pidana dikenal dengan rasio Blackstone, dalam bukunya Commentaries on the Laws of England (1765-1769) memberikan gagasan “Better that ten people escape than one innocent person suffer”. Karena, menghukum orang yang tidak bersalah tidak hanya merugikan subjek hukum yang dihukum, pula mencederai integritas penegakan hukum. Akhirnya, hormat Mr. Presiden.[]