Pemilu 2024
Provinsi Maluku Utara Terpapar Risiko Tinggi Kampanye SARA, Hoax, dan Ujaran Kebencian
Ternate - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mengumumkan hasil Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang difokuskan pada isu kampanye berbau SARA, penyebaran hoax, dan ujaran kebencian melalui media sosial.
Penelitian kuantitatif ini memanfaatkan data pemantauan pilkada sebelumnya serta Pemilu 2019 untuk mengevaluasi tingkat kerawanan. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah DKI Jakarta, Provinsi Maluku Utara menjadi salah satu daerah yang paling rawan terhadap kampanye berisi elemen SARA, hoax, dan ujaran kebencian di media sosial.
Ketua Bawaslu Provinsi Maluku Utara, Masita Nawawi Gani, menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) terkait kampanye dengan unsur SARA, penyebaran hoax, dan ujaran kebencian di media sosial, Maluku Utara berada dalam kategori rawan tinggi dengan skor 36,11, hanya setelah DKI Jakarta yang mencapai skor 75,00. Disusul oleh provinsi lain seperti Kepulauan Bangka Belitung (34,03), Jawa Barat (11,11), Kalimantan Selatan (0,69), dan Gorontalo (0,69) yang juga menunjukkan tingkat kerawanan yang signifikan.
Pada tingkat kabupaten/kota, beberapa wilayah seperti Kabupaten Fakfak, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Malaka, Kota Jakarta Timur, dan Kabupaten Purworejo juga masuk dalam kategori tingkat kerawanan tinggi berdasarkan sejumlah indikator kerawanan media sosial, termasuk kampanye berbau SARA, penyebaran hoax, dan ujaran kebencian.
Melalui analisis yang mencakup berbagai indikator kerawanan media sosial, termasuk penyebaran kampanye SARA, penyebaran berita palsu (hoax), dan penyebaran ujaran kebencian, Kabupaten Halmahera Tengah menduduki peringkat ke-10 dalam daftar tingkat kerawanan media sosial untuk kabupaten dan kota di Indonesia. Dengan skor 4,45 yang diperolehnya, tingkat kerawanan yang signifikan terkait isu-isu media sosial dapat diidentifikasi. Dalam konteks ini, dibutuhkan langkah-langkah serius untuk mengatasi masalah ini di wilayah tersebut.
Masita juga menyoroti berbagai isu kerawanan yang mencakup politik uang, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), politisasi isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), serta kerawanan dalam kampanye berhubungan dengan SARA, penyebaran hoax, dan ujaran kebencian.
Baca juga:
Lihat Profil Pemain Rekrutan Kedua Malut United FC
Bawaslu Morotai Koordinasi Penertiban Alat Peraga Kampanye
Bawaslu Morotai dan KIP Malut Gelar Pertemuan untuk Membahas Keterbukaan Informasi
Dalam rangka mengatasi masalah ini, ia menekankan perlunya kerjasama multipihak yang melibatkan Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), peserta pemilu, platform media sosial, dan organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam tindakan pencegahan terhadap penyebaran kampanye berisi unsur SARA, hoax, dan ujaran kebencian selama Pemilu dan Pemilihan 2024.
Media sosial diidentifikasi sebagai tantangan signifikan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023 menunjukkan penetrasi internet mencapai 78,19 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dengan mayoritas pengguna aktif pada platform media sosial seperti YouTube, Facebook, Instagram, dan TikTok. Selain itu, hampir seluruh pengguna internet di Indonesia juga aktif menggunakan media percakapan seperti WhatsApp, Facebook Messenger, Telegram, dan direct message di Instagram.
Data ini disusun melalui pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan serentak 2024, serta kolaborasi multipihak untuk menghadapi kampanye berisi unsur SARA, hoax, dan ujaran kebencian di media sosial. Rilis tersebut juga menjelaskan beberapa pola penyebaran kampanye SARA, hoax, dan ujaran kebencian yang terjadi selama Pemilu 2019. Pola ini mencakup serangan terhadap kandidat, partai politik, atau kelompok pendukung yang mengandung unsur SARA, hoax, atau ujaran kebencian, serta penyebaran hoax yang menyasar pemerintah dan penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
Masita menegaskan bahwa potensi polarisasi masyarakat sangat tinggi karena kampanye SARA, hoax, dan ujaran kebencian yang disebarluaskan melalui media sosial. Para pelaku yang menyebarkan kampanye ini sulit diproses hukum karena sulit untuk membuktikan afiliasi mereka dengan partai politik atau kandidat tertentu.
"Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang paling efektif dalam menghadapi kampanye SARA, hoax, dan ujaran kebencian adalah dengan upaya countering," kata Masita.