Opini
Menyoal Groundbreaking Pabrik Baterai EV di Halmahera Timur
Penulis: M. Rizki A. Karim
Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Teknik Elektro (IKATEK) Unkhair
Groundbreaking proyek pabrik baterai kendaraan listrik (EV) di Halmahera Timur yang diresmikan tampak menjanjikan dari luar. Pemerintah menyebutnya sebagai langkah menuju kemandirian energi dan transisi hijau. Namun, apakah benar demikian? Di balik peresmian ini, terdapat persoalan mendalam yang harus dikritisi secara ilmiah, sosial, dan ekologis.
Transisi energi bukan hanya soal mengganti bahan bakar fosil dengan baterai, tetapi tentang keadilan energi, penguasaan teknologi, serta dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat. Proyek-proyek seperti ini jangan sampai menjadi justifikasi eksploitasi baru yang dikemas dalam narasi hijau, padahal esensinya sama: ekstraktivisme yang merusak.
Dominasi Asing dalam Hilirisasi Nikel
Indonesia memang tengah gencar mendorong hilirisasi nikel untuk mendukung industri baterai. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan dominasi asing, terutama dari Tiongkok. Laporan Reuters (2025) menyebutkan bahwa lebih dari 75% fasilitas pemurnian nikel di Indonesia dikuasai oleh perusahaan Tiongkok seperti Tsingshan Holding dan Huayou Cobalt. Mereka tidak hanya berinvestasi, tetapi juga memonopoli teknologi, operasional, dan ekspor.
Akibatnya, Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah maksimal. Alih-alih menjadi pelaku utama, Indonesia justru terjebak sebagai penyedia bahan mentah dan tenaga kerja murah. Dalam banyak perjanjian investasi, tidak ada klausul wajib transfer teknologi atau keterlibatan riset nasional secara signifikan.
Proyek ini dipromosikan sebagai bagian dari solusi krisis iklim. Namun faktanya, sebagian besar pabrik pengolahan nikel di Halmahera Timur masih mengandalkan PLTU captive berbahan batu bara. Ini adalah bentuk paradoks dalam kebijakan energi nasional: membangun ekosistem kendaraan listrik dengan bahan bakar kotor.
Laporan WALHI (2024) mengungkap bahwa PLTU captive di kawasan industri Obi dan Weda memberikan kontribusi signifikan terhadap polusi udara dan pemanasan global. Taksonomi Hijau OJK 2024 bahkan mengkategorikan PLTU captive sebagai proyek transisi, yang secara etis dipertanyakan. Transisi energi seharusnya menuju energi terbarukan, bukan mempertahankan batu bara dalam kemasan baru.
Minimnya Penguasaan Teknologi Strategis
Penguasaan teknologi baterai adalah kunci dari kedaulatan energi masa depan. Sayangnya, teknologi seperti Battery Management System (BMS), thermal regulation, dan desain sel baterai masih dimonopoli oleh investor asing. Di sisi lain, institusi pendidikan tinggi dalam negeri belum dilibatkan secara aktif dalam proses inovasi ini.
Dalam pengalaman negara lain, seperti Korea Selatan dan Tiongkok, pengembangan industri selalu dibarengi dengan peningkatan kapasitas riset dan pendidikan tinggi. Indonesia seharusnya mewajibkan setiap proyek investasi baterai untuk melibatkan universitas dalam riset bersama dan pengembangan teknologi. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi operator, bukan inovator.
Ekosistem kendaraan listrik tidak cukup hanya dengan membangun pabrik baterai. Infrastruktur seperti stasiun pengisian (SPKLU), sistem logistik, serta kesiapan SDM menjadi faktor pendukung yang belum terpenuhi. Hingga 2023, Indonesia baru memiliki sekitar 400 SPKLU aktif secara nasional, menurut data Kementerian ESDM. Sementara itu, institusi pendidikan di daerah, termasuk Universitas Khairun, belum memiliki akses terhadap fasilitas dan kurikulum khusus teknologi kendaraan listrik.
Pemerintah seharusnya memberi afirmasi dalam bentuk dana riset, kerja sama internasional, dan penguatan politeknik serta fakultas teknik di wilayah penghasil nikel.
Kerusakan Sosial dan Ekologis di Halmahera Timur
Di balik pembangunan industrialisasi, terdapat luka ekologis yang mendalam. JATAM (2024) mencatat setidaknya 15 konflik sosial yang muncul akibat perluasan tambang nikel di Halmahera Timur, termasuk pencemaran sungai dan penggusuran masyarakat adat. Banyak dari mereka tidak mendapatkan kompensasi layak dan kehilangan sumber penghidupan tradisional.
Pemerintah daerah dan pusat harus bertanggung jawab dalam memastikan bahwa proyek industri tidak merampas hak masyarakat lokal. Keterlibatan publik, transparansi AMDAL, dan pemulihan lingkungan harus menjadi prasyarat mutlak, bukan sekadar formalitas administratif.
Olehya itu ada beberapa rekomendasi langkah strategis untuk diimplementasi yaitu: (1) Pemerintah harus mewajibkan transfer teknologi dalam setiap investasi baterai dan nikel. (2) PLTU captive dihapus secara bertahap dan digantikan dengan pembangkit energi terbarukan. (3) Pendidikan tinggi dan riset lokal perlu didukung dengan anggaran dan kerja sama konkret. (4) Perlu audit lingkungan menyeluruh terhadap dampak tambang dan smelter. (5) Libatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, implementasi, dan pengawasan proyek.
Industri baterai EV seharusnya menjadi simbol masa depan yang berkelanjutan. Namun itu hanya mungkin jika kita berani membongkar narasi palsu dan menuntut keadilan teknologi, lingkungan, dan sosial. Jika tidak, maka proyek ini hanya akan jadi wajah baru dari kolonialisme sumber daya yang membungkus diri dalam balutan hijau.
Referensi
- Reuters. (2025). Chinese firms control around 75% of Indonesian nickel capacity. https://www.reuters.com/markets/commodities/chinese-firms-control-around-75-indonesian-nickel-capacity-report-finds-2025-02-05/
- JATAM Nasional. (2024). Laporan Investigasi Tambang Nikel dan Dampak Sosial Ekologis di Maluku Utara.
- WALHI (2024). Laporan Dampak PLTU Captive dan Ekspansi Industri Nikel di Halmahera Timur.
- ASEAN Briefing. (2024). Southeast Asia’s First EV Battery Plant Begins Operations in Indonesia.
- OJK. (2024). Taksonomi Hijau Nasional Edisi Revisi. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
- Kementerian ESDM. (2023). Statistik Infrastruktur Kendaraan Listrik Nasional.