1. Beranda
  2. Headline
  3. Kabar

Infrastruktur

Polda Selidiki Dugaan Pelanggaran Izin Galian C Proyak Talud di Morotai

Oleh ,

Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara dikabarkan tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran izin galian C yang digunakan dalam sejumlah proyek pembangunan penahan tebing atau talud di Kabupaten Pulau Morotai.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, beberapa kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut diduga melakukan aktivitas penggalian material tanpa dokumen izin yang lengkap. Kondisi ini membuat pelaksanaan proyek dinilai cacat hukum karena tidak memenuhi ketentuan administrasi pertambangan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Berdasarkan data yang diperoleh, proyek talud yang diduga bermasalah dengan izin galian C meliputi pembangunan di Desa Sangowo, Desa Cio, Desa Mandiri, dan Desa Joubela.

"Berdasarkan informasi, Polda sudah menangani masalah izin galian C untuk sejumlah proyek tebing yang saat ini dikerjakan di Morotai. Bahkan sudah ada pihak yang diperiksa di Polda," ungkap salah satu sumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya, Selasa 14 Oktober 2025.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek penahan tebing, Darmawan, membenarkan bahwa dirinya telah dimintai keterangan oleh Polda Maluku Utara terkait izin galian C dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB).

"Sudah, kemarin saya sudah diperiksa di Polda dan sudah selesai. Pihak Polda juga sudah sampaikan bahwa pekerjaan di Sangowo dan Cio sudah bisa dilanjutkan," ujarnya.

Meski demikian, Darmawan mengaku masih menghadapi kendala terkait aktivitas galian di Desa Joubela. Menurutnya, masalah muncul karena kontraktor mengambil material batu di lokasi berbeda dari titik galian yang memiliki izin resmi.

"Yang jadi persoalan tinggal di Joubela. Sebenarnya tidak terlalu bermasalah, tapi misalnya lokasi yang punya izin ada di belakang sekolah, sementara material diambil di dekat pantai. Nah, itu sebabnya lokasi di pantai dipasangi garis polisi," jelasnya.

Terkait dengan dokumen Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), Darmawan enggan berkomentar lebih jauh. Ia menyarankan agar hal tersebut dikonfirmasi langsung kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Morotai.

"SPPL itu bukan masalah, tapi soal detailnya lebih baik ditanyakan langsung ke Kepala DLH, karena beliau yang lebih tahu," katanya.

Darmawan menegaskan bahwa pemeriksaan oleh Polda hanya berfokus pada dua aspek utama, yaitu izin galian C dan SIPB. Dari empat titik pekerjaan, dua lokasi yakni Sangowo dan Cio telah dinyatakan selesai, sementara dua lainnya yakni Mandiri dan Joubela masih dalam proses penyelesaian administrasi.

hal serupa sebelumnya pernah di soroti oleh Muhammad Fahmi, akademisi Teknik Lingkungan dari Universitas Pasifik (Unipas) Morotai, yang dimuat oleh Halmaherapost.com, edisi Jumat 01 Agustus 2025, dimana Fahmi menilai pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Firdaus Samad terkait SPPL Ir keliru dan dapat menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

Saat itu, Muhammad Fahmi mengkritik pernyataan Firdaus yang menyebut bahwa kegiatan rekonstruksi pasca-bencana tidak memerlukan izin resmi, dan cukup dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (SPPL).

"Saya sangat menyayangkan pernyataan Kadis DLH. Beliau mengatakan bahwa cukup dengan SPPL, tidak perlu izin resmi. Pertanyaannya, bukankah SPPL sendiri merupakan salah satu bentuk dokumen perizinan lingkungan? Ini bisa menyesatkan publik,” ujarnya.

Fahmi juga menjelaskan bahwa dalam sistem perizinan lingkungan, terdapat tiga jenis dokumen utama yang disesuaikan dengan skala dampak kegiatan, yakni AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), serta SPPL. Ketiganya memiliki kedudukan yang sah dan resmi dalam proses perizinan.

“AMDAL untuk kegiatan berdampak besar, UKL-UPL untuk dampak sedang, dan SPPL untuk kegiatan berdampak kecil. Tidak semua kegiatan bisa menggunakan SPPL sebagai dasar pelaksanaan,” jelasnya.

Ia menyoroti penggunaan SPPL dalam proyek galian C di beberapa wilayah Morotai yang dinilainya tidak tepat sasaran. Menurutnya, DLH perlu menjelaskan dengan jelas apakah dokumen SPPL yang dikeluarkan ditujukan untuk aktivitas galian C atau pembangunan talud penahan ombak.

"Galian C dan pembangunan talud adalah dua kegiatan berbeda. Keduanya memiliki karakteristik dan dampak lingkungan yang tidak bisa disamakan. Jika SPPL diterbitkan tanpa klasifikasi yang tepat, itu bisa jadi cacat prosedur," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menilai pemahaman DLH terhadap regulasi nasional, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, masih lemah. Ia menegaskan bahwa kegiatan galian C tidak serta-merta dikecualikan dari kewajiban perizinan lingkungan, meskipun terkait dengan rehabilitasi pasca-bencana.

"Yang bisa masuk kategori rekonstruksi pasca-bencana adalah pembangunan talud, bukan aktivitas galian C. Jadi tidak tepat jika galian C diklaim tidak perlu izin," tegasnya.

Berita Lainnya