Cendekia
Dialog, Musik, dan Sastra Meriahkan Perayaan Bulan Bahasa di Unkhair Ternate
Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia (HIMAPRO) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun (Unkhair) Ternate merayakan Bulan Bahasa dengan menggelar dialog publik dan live musik di lingkungan kampus pada Senin, 27 Oktober 2025.
Kegiatan yang mengangkat tema “Bahasa dan Sastra Sebagai Wahana Berekspresi dan Refleksi Budaya” menghadirkan tiga narasumber. Dr. Syahyunan Pora, S. Fil., M. Phil., membawakan sub tema “Bahasa dalam Perspektif Filsafat”, sementara Zainudin M. Arie menyampaikan materi tentang ekspresi dan refleksi budaya. Selain itu, mahasiswa Sastra Indonesia, Apdoni Tukang, turut memberikan materi dengan sub tema “Melihat dan Membaca Situasi Sastra dan Bahasa di Era Modernisasi”. Acara ini dimoderatori oleh Jusril Sangaji.
Tak hanya diskusi, kegiatan ini juga menampilkan live musik, musikalisasi puisi, teater, pembacaan puisi, dan berbagai penampilan lainnya yang dibawakan oleh mahasiswa FIB.
Ketua Panitia, Salma Abubakar, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan agenda rutin tahunan HIMAPRO, yang digelar sebagai refleksi Bulan Bahasa sekaligus sebagai momentum merefleksikan diri.
“Ini adalah kegiatan rutin tahunan dari Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (HIMAPRO). Karena bertepatan dengan Bulan Bahasa, kegiatan ini menjadi momen untuk merefleksikan diri,” jelas Salma kepada Halmaherapost.com.
Ia menambahkan, kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengambil langkah nyata dalam mencintai dan mengembangkan bahasa serta sastra, baik di Maluku Utara maupun di tingkat nasional.
“Kegiatan ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga menjadi gerakan nyata untuk mencintai dan mengembangkan bahasa dan sastra,” pungkasnya.
Dalam perspektif filsafat, Dr. Syahyunan Pora menekankan bahwa bahasa tidak sekadar alat komunikasi, tetapi merupakan ekspresi budaya yang menambah ruh eksistensi kesadaran manusia.
“Bahasa dalam perspektif filsafat tidak hanya disebut sebagai alat komunikasi, tetapi merupakan ekspresi kebudayaan yang memberikan ruh kesadaran eksistensi manusia,” ujar Syahyunan kepada puluhan mahasiswa yang hadir.
Ia menambahkan bahwa sejarah pembentukan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa dimulai sejak 1908, ketika upaya merangkul seluruh pemuda di Indonesia dilakukan. Namun, bahasa Indonesia baru benar-benar menjadi alat pemersatu bangsa pada tahun 1928.
“Kemerdekaan Indonesia dimulai dari 1908, di mana sebagian kecil pemuda mencoba merangkul berbagai kelompok pemuda dari seluruh Nusantara. Namun, persatuan itu belum terwujud sepenuhnya. Baru pada 1928, persatuan itu tercapai, dan bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa,” tandasnya.
Sementara itu, Apdoni Tukang menyoroti kondisi bahasa dan sastra di era modernisasi. Ia menilai bahasa di media sosial saat ini kerap digunakan untuk memecah belah, bukan menyatukan masyarakat.
“Di media sosial, bahasa yang digunakan bukan lagi untuk pemersatu, tetapi sering menjadi alat pemecah belah. Contohnya, kasus pencemaran nama baik, dan penggunaan kata-kata kasar seperti ‘babi’, ‘anjing’, serta kata kotor lainnya,” jelasnya.
Apdoni juga menyoroti kondisi sastra masa kini, yang menurutnya telah kehilangan keistimewaan. Karya sastra mahasiswa dan pemuda sekarang dianggap kurang mendalam dan tidak lagi memunculkan rasa ingin tahu atau misteri.
“Untuk sastra saat ini, kami melihat sudah ‘ditelanjangi’, tidak ada lagi misteri atau penggalian makna yang mendalam. Sastra sekarang telah kehilangan keistimewaan,” tandasnya.