1. Beranda
  2. Headline
  3. Kabar

Pemerintah

Mantan Direktur RSUD Ir. Soekarno Morotai Diduga Buat Kebijakan Sepihak

Oleh ,

Puluhan pegawai di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ir. Soekarno, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, mengeluhkan kebijakan mantan Direktur RSUD, dr. Diana Pinangkaan, yang diduga dibuat secara sepihak terkait pembagian jasa pelayanan (jasa medis).

Para pegawai menilai kebijakan tersebut tidak mencerminkan hasil kesepakatan bersama yang sebelumnya dibahas dalam rapat internal rumah sakit. Mereka menuding dr. Diana menyalahgunakan jabatan dengan melibatkan beberapa staf manajemen untuk menyusun Surat Keputusan (SK) Jasa Pelayanan tanpa melibatkan unsur paramedis dan tenaga penunjang.

Menurut sejumlah pegawai, sebelumnya telah dilakukan rapat bersama seluruh staf rumah sakit dan para dokter selama tiga hari dua malam. Rapat itu menghasilkan kesepakatan pembagian jasa dengan rincian 51 persen untuk tenaga medis, 39 persen untuk paramedis, dan 10 persen untuk tenaga penunjang.

“Dari rapat itu juga disepakati bahwa SK Jasa Pelayanan akan dibahas kembali dan disimulasikan dalam bentuk bagan sebelum dibawa ke Bagian Hukum Pemkab Morotai untuk mendapat persetujuan serta tanda tangan Bupati,” ujar salah satu pegawai yang enggan disebutkan namanya, Senin, 27 Oktober 2025.

Namun, kesepakatan tersebut diduga dilanggar. SK Jasa Pelayanan akhirnya dibuat secara diam-diam tanpa melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Hanya sejumlah orang terdekat mantan direktur yang mengetahui dan ikut dalam penyusunan SK tersebut. Akibatnya, muncul gejolak dan ketidakpuasan di kalangan pegawai RSUD.

Para staf juga menyoroti dugaan kejanggalan dalam pembagian jasa bulan Juni dan Juli 2025. Dalam daftar penerima jasa, dr. Diana Pinangkaan tercatat menerima Rp3.060.000 pada Juni 2025, padahal saat itu ia masih bertugas sebagai dokter umum di poli dan seharusnya hanya berhak menerima sekitar Rp380.000.

Keganjalan lain ditemukan pada nama Jaychine Irene Kiki Kalumata, yang menerima Rp923.728 pada Juni dan Rp2.511.351 pada Juli, serta Santi Linda Lotar yang menerima Rp1.500.728 pada Juni sebagai staf manajemen, padahal seharusnya hanya berhak sekitar Rp400.000.

Pegawai juga mempertanyakan SK Tim Fraud atas nama Sunardi Idi dan Ando Surya yang diterbitkan pada 25 Juli 2025, namun keduanya tetap menerima jasa penuh meski SK tersebut baru disahkan.

“Bahkan keanehan lainnya, perhitungan pembagian jasa tidak dilakukan oleh bendahara resmi RSUD, melainkan oleh seorang pegawai dari luar rumah sakit. Ini cacat secara prosedur,” ungkap salah satu staf.

Lebih lanjut, para pegawai mengaku bahwa selama menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSUD, dr. Diana kerap mengeluarkan ancaman terhadap staf dengan menyebut nama bupati, wakil bupati, sekda, dan kejaksaan, sehingga menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif.

Puncak persoalan terjadi ketika beberapa staf menyampaikan protes. Protes tersebut berujung pada mutasi sepihak yang dilakukan oleh dr. Diana terhadap sejumlah pegawai tanpa koordinasi dengan direktur yang kini menjabat.

Para pegawai berharap Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai menindaklanjuti persoalan ini secara serius dan bijaksana. Mereka menilai tindakan sepihak dan dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut berpotensi mencoreng nama baik pemerintah daerah.

“Kami berharap Pemda Morotai dapat menyikapi hal ini secara serius. Jangan sampai karena ulah oknum seperti ini, nama baik Bupati dan Wakil Bupati ikut tercoreng,” ujar salah satu pegawai.

Sementara itu, dr. Diana Pinangkaan, yang kini menjabat sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pulau Morotai, ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, menegaskan bahwa SK Jasa Pelayanan merupakan keputusan resmi Bupati dan Sekretaris Daerah (Sekda).

“Itu SK Bupati, SK Sekda. Mereka minta ubah, tapi itu keputusan Bupati, jadi kita sebagai direktur tidak bisa mengubah sesuka hati,” jelasnya.

Ia menambahkan, setiap perubahan atau revisi SK harus melalui koordinasi dengan pimpinan daerah.

“SK itu ditandatangani oleh Bupati. Kalau mau revisi, Sekda sudah menyampaikan agar direktur baru berkoordinasi lagi dengan Bupati. SK Bupati sudah sah, tinggal direktur baru yang menindaklanjuti jika ada yang perlu disesuaikan,” tambahnya.

Menurutnya, persoalan yang dipermasalahkan staf bukan soal pemotongan uang, melainkan perbedaan persentase pembagian jasa yang telah ditetapkan oleh Bupati.

“Ini bukan soal uang yang dipotong. Mereka minta 39 persen, tapi Bupati tetapkan 32 persen. Jadi bukan ada pemotongan, tapi memang keputusan Bupati seperti itu,” tegasnya.

dr. Diana juga menyampaikan bahwa SK Jasa Pelayanan bukan bersifat tetap dan dapat berubah sesuai periode.

“SK itu memang bisa berubah-ubah. Dari tahun 2018 sampai Mei 2025 belum ada SK baru yang ditandatangani. Jadi kami buat pembagian sesuai SK terakhir yang disahkan oleh Bupati,” tutupnya.

Berita Lainnya