1. Beranda
  2. Headline
  3. Kabar

Cendekia

Mengolah Limbah Ikan Morotai, dari Ancaman Lingkungan Menjadi Peluang Ekonomi Baru

Oleh ,

Oleh: Rinto M. Nur (Mahasiswa Program Doktor Biologi UGM dan Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pasifik Morotai)

=====================================

Kabupaten Pulau Morotai kerap dielu-elukan sebagai “mutiara biru” di utara Maluku Utara. Letaknya yang strategis di jalur Samudra Pasifik, ditambah potensi perikanan yang melimpah, menjadikan Morotai simpul penting dalam rantai produksi tuna nasional. Namun, di balik geliat ekonomi perikanan yang terus tumbuh, ada persoalan besar yang diam-diam mengintai: limbah ikan yang kian menumpuk dan belum tertangani secara layak.

Produksi perikanan Morotai pada tahun 2021 mencapai 4.717 ton, dengan tuna sebagai penyumbang terbesar, yakni 2.612 ton. Sebagian besar tuna ini diproses menjadi loin untuk kebutuhan ekspor. Namun, proses tersebut hanya memanfaatkan 40–50 persen bagian tubuh tuna, sementara 50–60 persennya menjadi limbah. Artinya, dari produksi tahun 2021 saja, Morotai berpotensi menghasilkan 1.300–1.600 ton limbah ikan per tahun, belum termasuk limbah cair seperti darah, lendir, dan lemak.

Kondisi Lapangan Memprihatinkan

Riset lapangan pada Maret 2023 di Pasar Rakyat Morotai menunjukkan betapa buruknya tata kelola limbah ikan. Sisa-sisa ikan sering berserakan di lantai pasar karena pedagang tidak memiliki wadah sampah individu. Drainase yang tidak berfungsi menyebabkan genangan air bercampur darah dan lendir, menimbulkan bau menyengat, serta mengundang lalat dan bakteri.

Situasi diperburuk dengan praktik pembuangan limbah langsung ke laut di dekat kawasan Daruba Pantai, yang dilakukan dua kali setiap hari. Praktik ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi juga refleksi lemahnya sistem pengelolaan limbah secara struktural.

Kasus pembuangan limbah dalam jumlah besar pada Juli 2023 dan Juni 2024 semakin menegaskan rapuhnya sistem yang ada. Pembuangan dua ton ikan di Sabatai Tua dan Daruba, serta rusaknya enam ton limbah olahan PT Harta Samudra akibat pemadaman listrik selama sembilan jam, menunjukkan ketergantungan penuh pada fasilitas yang tidak stabil. Alih-alih dikelola, limbah justru mencemari pesisir atau dikubur dalam jumlah besar.

Secara ekologis, pembuangan limbah ikan ke laut ibarat bom waktu. Cairan kaya protein dan lemak ini mempercepat penurunan oksigen terlarut di perairan, memicu eutrofikasi, dan pada akhirnya mengancam kehidupan biota laut. Bagi Morotai, yang tengah mengembangkan sektor pariwisata berbasis alam, ini adalah ancaman serius. Terumbu karang, padang lamun, dan zona wisata pantai bisa terdampak hanya karena tata kelola limbah yang buruk.

Persoalan ini juga berdimensi sosial. Bau busuk, genangan darah di pasar, dan tumpukan sisa ikan menjadi sumber ketidaknyamanan warga. Konflik sosial bisa muncul antara masyarakat dan pelaku usaha jika pemerintah tidak menghadirkan solusi yang tegas dan terarah.

Pemerintah daerah memang telah mengakui bahwa sistem penanganan sampah belum optimal. TPA Dehegila sulit dijangkau, terutama dari kecamatan yang jauh, sehingga pembuangan liar sering terjadi. Namun hingga kini, belum ada program khusus yang menangani limbah ikan, padahal karakteristiknya berbeda dari sampah domestik biasa. Limbah ikan membusuk lebih cepat, berbau tajam, dan mengandung cairan kaya nutrien yang sangat merusak jika mencemari lingkungan.

Saatnya Melihat Limbah sebagai Peluang, Bukan Beban

Persoalan limbah ikan sebenarnya bisa menjadi pintu masuk bagi pengembangan ekonomi sirkular di Morotai. Banyak penelitian menunjukkan bahwa limbah ikan dapat diolah menjadi produk bernilai tinggi, seperti:

• Tepung dan minyak ikan untuk pakan.

• Gelatin dan kolagen dari kulit ikan.

• Abon dan kaldu instan dari kepala dan tulang.

Ini bukan sekadar gagasan ilmiah. Wilayah lain di Indonesia telah membuktikan bahwa limbah perikanan dapat menjadi industri turunan yang menguntungkan.

Langkah-langkah Strategis yang Dapat Dilakukan:

1. Audit volume limbah perikanan sebagai dasar perencanaan pengolahan.

2. Perbaikan infrastruktur pasar, termasuk drainase, penyediaan wadah sampah, dan fasilitas pendingin (cold box).

3. Regulasi tegas untuk melarang pembuangan limbah ke laut, serta pengawasan yang konsisten.

4. Pembangunan pilot plant rendering skala menengah dengan dukungan generator cadangan agar tidak bergantung pada listrik utama.

5. Pelibatan UMKM lokal untuk mengolah limbah menjadi produk bernilai tinggi, seperti kolagen, abon, atau produk turunan lainnya.

Jika langkah-langkah ini dijalankan serius, Morotai tidak hanya mampu mengendalikan persoalan lingkungan, tetapi juga membuka sumber ekonomi baru berbasis pemanfaatan limbah. Morotai dapat menjadi contoh sukses bagi kabupaten kepulauan lain dalam pengelolaan limbah perikanan berkelanjutan.

Sebagai daerah yang tengah naik daun di sektor perikanan dan pariwisata, Morotai tidak boleh terjebak pola lama: produksi meningkat, limbah menggunung. Sudah saatnya pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan berjalan beriringan.

Jika pengelolaan limbah ikan berhasil ditata dengan baik, Morotai bukan hanya akan tetap dikenal sebagai “surga tuna”, tetapi juga sebagai pelopor inovasi hijau di wilayah kepulauan.

Berita Lainnya