Opini

Negeri Seribu Masjid di Maluku Utara

Kedaton Kesultanan Tidore. Foto: Rajif Duchlun

Pagi itu, Minggu (15/9) matahari mulai naik, sangat cerah. Pantulan sinarnya menyelinap masuk ke celah-celah pemukiman, memantul ke seantero Ternate. Suasana akhir pekan begitu terasa.

Hari itu, saya akan ke Tidore, sebuah kota di Maluku Utara, yang posisinya sangat dekat dengan Ternate. Menemani pengajar Teknologi Pertanian dari IPB, yakni Prof Dr Sedarnawati Yasni bersama suaminya, Dr Gendut Suprayitno, melihat sejumlah titik bersejarah di negeri seribu masjid.

Dikenal dengan ‘seribu masjid’ mungkin saja karena Tidore merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia.

Perjalanan ini juga ditemani Rizal, seorang pegawai dari Kanwil Kemenkumham Maluku Utara. Ia memang sejak awal sudah bersama Ibu Wati, sapaan dekat Prof Dr Sedarnawati Yasni.

Kami bertolak dari Pelabuhan Bastiong Ternate menggunakan speedboat kecil. Kendati masih pagi, gelombang tinggi sesekali menghantam badan motor cepat itu. Saya melihat keduanya sangat menikmati selat Ternate-Tidore. Berlabuh di Pelabuhan Rum Tidore, sekiranya hanya 10 menit.

Ini memang kali pertama bagi Ibu Wati melihat Tidore. Tapi bagi Pak Suprayitno, ini kunjungan keduanya. Di usia muda, ia memang pernah ke sini.

Saat tiba, kami berjalan ke arah jalan, tepatnya di depan pintu utama Pelabuhan Rum. Sambil menunggu mobil yang sudah dipesan Rizal, Ibu Wati dan Pak Suprayitno sempat beberapa kali berfoto, membelakangi sebuah papan informasi jalan dan pusat perkantoran.

Sekitar 15 menit, mobil tiba. Sopir mobil keluar dan Rizal mengganti posisinya. Saya memang tidak begitu lincah menyetir mobil. Saya diminta duduk di depan, tepat di sebelah kiri Rizal. Mesin mobil lalu dinyalakan dan bergerak ke pusat kota Tidore, Soa Sio.

Perjalanan ke Soa Sio sekira 22 kilometer. Saya melihat ke belakang, Pak Suprayitno membuang pandangannya lewat jendela mobil. Jalan-jalan di Tidore memang berada tepat di tepi pantai. Laut luas dapat dilihat dengan mudah.

Pulau-pulau di sekitar Tidore tampak jelas. Berbeda dengan kota-kota umumnya, jalanan Tidore tidak begitu padat. Tidak macet. Pohon-pohon tumbuh tenang, merimbun dengan teduh sepanjang pulau ini. Sangat bersih.

“Di tempat tinggal saya juga dekat laut. Jadi bisa lihat laut setiap hari seperti ini juga,” ujar Pak Suprayitno.

Kami akhirnya tiba juga di salah satu titik bersejarah. Benteng Tahula, namanya. Berada di Kelurahan Soa Sio, lokasi ini tepat di ketinggian. Untuk sampai ke benteng, kami harus naik tangga yang menanjak jauh ke bukit. Di atas itulah, benteng peninggalan Spanyol itu berada.

Kala sampai di atas, Ibu Wati dan Pak Suprayitno tidak ingin membuang kesempatan untuk berfoto. Tampak dari Benteng Tahula, hamparan rumah-rumah terlihat jelas. Laut biru terbentang luas. Terlihat juga sebuah jembatan yang biasa digunakan Kesultanan Tidore memanjang ke arah laut.

Melalui papan informasi yang ada di lokasi itu, dituliskan pada sekitar tahun 1607 Gubernur Spanyol pertama di Maluku, Juan de Esquivel, memerintahkan untuk membangun sebuah benteng di Tidore. Hanya saja pembangunannya tidak berjalan karena kurangnya tenaga kerja.

Pembangunan Benteng Tahula atau dikenal juga dengan Benteng Tohula ini baru dimulai pada tahun 1610 oleh Cristobal de Azcqueta Menchacha, Gubernur Spanyol saat itu. Namun, pekerjaan pembangunan juga tidak selesai.

Barulah pada masa Gubernur Don Jeronimo de Silva, sekitar tahun 1613 pekerjaan pembangunan benteng akhirnya lebih digiatkan lagi dan berhasil selesai pada 1615. Benteng ini kemudian diberi nama Santiago de los Caballeros de Tidore atau Sanctiago Caualleros de los de la de ysla Tidore.

Ketika itu, benteng ini dihuni oleh 50 tentara Spanyol lengkap dengan artileri untuk melindungi kapal-kapal mereka yang sedang ditambatkan. Spanyol menghuni benteng ini hingga tahun 1662. Setelah bangsa ini minggat, beberapa tahun setelah itu hegemoni Belanda semakin kuat di tanah ini.

Selanjutnya 1 2 3
Penulis: Rajif Duchlun
Editor: Rajif Duchlun

Baca Juga