Opini
Omnibus Law dan Transformasi Hegemonik

Edwards Aspinall, dalam satu artikel terkini; Indonesian Protest Point to Old Patterns (2020), melakukan analisis keren bahwa mahasiswa memiliki “peran kunci” dalam politik Indonesia. Yang dimaksudkan adalah kekuatan mahasiswa menjadi terbesar ketika bangsa ini melakukan protes terhadap penguasa. Aspinal sekaligus menggambarkan kembalinya protes mahasiswa di era reformasi menandakan menurunnya kualitas demokrasi Indonesia.
Upaya meloloskan bangsa dari penjara otoriter mengalami kebuntuan. Dari sekian fakta, Undang-Undang (UU) cipta kerja (Omnibus Law) menuai protes dengan bidikan utama keadilan sebagai dasar keputusan politik. Amukan mahasiswa merespon “skandal” etik dan politik legislasi yang cacat hukum itu, mengofirmasi fase kritis negara demokrasi terbesar ketiga di Dunia pasca reformasi.
Sebab Omnibus Law sebagai produk oligarki melegitimasi perbudakan atas buruh, yang berkontribusi besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini (Baca: John Ingleson. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. 2013. Jakarta: Komunitas Bambu). Melebarkan resiko perusakan lingkungan dan perampasan hak atas tanah adat. Kran politik “senayan” menutup aliran kewenangan daerah mengatur ruang dan wilayah secara otonom. Lebih fatal, karena bisa melegalkan institusi pendidikan ke ranah bisnis. Memang, ini membahayakan cita-cita republik.
Tatkala palu diketuk di malam sunyi, mengesahkan UU yang belum ada draf utuh, maka tak ada kata lain selain menyebut ini tindakan anarkisme. Mengerikan. Terang-terangan, “elit Jakarta” melanggar UU tentang Aturan Pembentukan Perundang-undangan. Melenceng dari etika politik dan mekanisme Negara hukum. Maka tidaklah keliru, jika menolak Omnibus Law (UU Cipta Kerja) tanpa cape-cape membaca pasal demi pasal.
Lagi pula, setelah disahkan 5 Oktober lalu, perdebatan jumlah halaman masih berlangsung, aneh. Hingga disebut rangkum, malah ada dua dokumen berbeda yang tersebar ke publik, bahkan banyak pasal yang kontradiksi ditinjau dari logika penyusunan undang-undang. Setelah memeriksa pasal per pasal, Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum Tata Negara UGM dalam forum Indonesian Lawyer Club (2020) mengatakan; “pengesahan Omnibus Law terburu-buru dan ini ugal-ugalan dan menyebalkan.” Maka, penolakan mahasiswa sebenarnya sudah sangat rasional secara hukum dan memperoleh kekuatan secara politik.
Dalam tinjauan filosofis, gerakan mahasiswa menjadi oase baru, mengembalikan pikiran kita jauh ke dalam kejernihan semangat negara ini dibentuk: memerdekakan bangsa. Spirit dasar yang dikebiri politik Jakarta di puncak reformasi. Jika membaca baik-baik anarkisme, maka anarkisme itulah yang hendak dilawan mahasiswa. Membongkar anarkisme di bidang politik dan hukum dalam lembaga DPR RI.
Mereka berusaha memutus rantai anarkisme dibalik citra blusukan Jokowi. Pendeknya, anak muda pelbagai kampus dan daerah menunjukkan akumulasi kekecewaaan terhadap kebijakan setelah 98. Dalam konteks ini, mahasiswa menjaga keaslian makna UUD 1945 yang berbunyi “sesungguhnya penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, dan mengakarkan perjuangannya membela sila terakhir Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kontrol Negara
Ada kecenderungan rezim Jokowi melancarkan tindakan intimidasi. Tengoklah penyitaan buku-buku yang dicap “kiri” pada tahun 2018 di Bojonegoro, Kediri, Makassar, Kendari, Bandung, disertai Mendagri menerbitkan peraturan mewajibkan semua penelitian akademis mengantongi izin kementerian (Permendagri No. 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian) yang justru mematikan kreativitas peneliti. Suatu rencana negara dengan dasar asumsi yang kelebihan positivistik.
Pemerintahan Jokowi juga merawat status quo, dengan cara mamantau ujaran tokoh atau pikiran publik untuk menghindari ancaman bagi negara (SK Menkopolhukam No. 38 Tahun 2019 tentang TIM Asistensi Hukum). Diperparah ketika politik parlemen mencuat ke publik perihal RUU KUHP tahun 2019, yang memicu protes besar-besaran mahasiswa karena banyak pasal kontroversial, tiga diantaranya; gelandangan diberi denda, hukuman korupsi diperkecil (6 tahun menjadi 2 tahun), dan cukup menyebalkan jika seseorang menyerang kehormatan Presiden atau Wakil Presiden akan dipenjarakan 3 tahun, 6 bulan.
Pembungkaman kebebasan secara massif dan sistematis mengingatkan saya pada lakon “Big Brothers”, dalam novel politik “1984”, karya George Orwell asal Inggris. Sebuah novel membicarakan perihal kekuasaan mengontrol pikiran, dan memantau seluruh gerak-gerik rakyat. Politik rezim Jokowi justru membuka peluang lebar ke arah ini. Tidak mengherankan pada tahun yang sama, majalah Tempo menuliskan tajuk: Indonesia Rasa Korea Utara.
Hasrat (desire) menelurkan UU kontroversial besar sekali, memberi kedudukan istimewah politisi Jakarta dan pengusaha kelas wahid. Dalam satu tahun terakhir, sekitar lima RUU yang diprotes rakyat. Inilah efek domino dari proses menggulingkan Soeharto tanpa memutuskan rantai-rantai oligarki secara struktural. Soeharto dijatuhkan tetapi tidak mengikutsertakan “pembersihan” secara mendasar di lembaga-lembaga utama. Akibatnya, reformasi menghasilkan kolaborasi politisi-birokrat-pengusaha semakin menggeliat bahkan “akrab” dalam kabinet Jokowi-Ma’aruf dan anggota DPR RI (hasil penelitian Marepus Corner, 2020: Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia)
Belakangan muncul UU Cipta Kerja terbaru membungkam hak-hak buruh dan meluaskan ekspansi modal perusak lingkungan. Omnibus Law menegaskan pengusaha tambang dilindungi royalti Rp 0, dan warga lingkar tambang atau siapa saja terancama dipenjarakan 7 tahun jika melakukan perlawanan (sadur dari Facebook Dandhy Laksono). Bagi saya, Omnibus Law memberi pesan semiotik atas pluralitas masalah bangsa dan represifitas kekuasaan yang membabi-buta.
Hak buruh/pekerja menerima upah, hak lingkungan untuk tidak dirusaki, hak pemerintah daerah merumuskan kebijakan, hak warga bersuara depan umum, hak masyarakat mengolah tanah adat dan sebagainya. Adalah kumpulan hak-hak yang dicengkeram rezim politik berwujud UU Cipta Kerja. Terbaru, selain menangkap para demonstran, polisi juga menghalangi peliputan wartawan terhadap penangkapan itu di Kota Ternate. Tindakan ini jelas melanggar UU kebebasan Pers dan memperlihatkan citra kekuasaan yang represif terhadap sipil. Data KONTRAS membeberkan sejak Juni 2019-Juli 2020, kekerasan kepolisian terhadap sipil meningkat mencapai 921 kasus kekerasan (CNNIndonesia.com). kenyataan ini dijadikan pegangan gerakan, supaya kita tetap di barisan “mencurigai” dan mengidentifikasi watak kekuasaan.
Transformasi Hegemonik
Dalam konteks keragaman problem yang dihadapi bangsa, ide gerakan sosial Ernesto Laclau butuh dilibatkan di medan juang. Melalui buku Hegemony and Socialist Srategy: Towards Radical Democratic Politics (1985), beliau bersama istrinya, Chantal Mouffe, dinilai merepresentasi intelektual Postmarxis, yang menawarkan kehidupan demokrasi radikal dan plural, menggeser posisi demokrasi liberal dengan meneropong perkembangan hegemony sebagai basis teori discourse. Untuk latar belakang sosial politik Eropa yang memicu kelahiran Postmarxis tidak akan saya bahas di sini.
Menurut Laclau, hanya melalui proses pemaknaan di ruang diskursif (field of discursivity), dunia sosial sepenuhnya terbentuk melalui praktik yang politik. Secara kontekstual, kerangka strategi diskursif didukung peran media sebagai pilar terpenting kehidupan demokrasi. Membayangkan praktik diskursif keluar dari kompromi dan proses fiksasi bahwa penolakan Omnibus Law merupakan satu-satunya gerakan menyelamatkan demokrasi. Masih banyak problem “partikular” di daerah-daerah dengan isu-isu dan masalah cukup beragam. Itu sebabnya, dalam penolakan Omnibus Law, membutuhkan strategi hegemoni dengan mengacu logika perjuangan yang disebut Laclau sebagai logic of difference (logika keberbedaan) dan logic of equivalen (logika persamaan).
Dalam logic of difference, Laclau membayangkan kenyataan sosial terdiri dari kelompok-kelompok partikular dari medan-medan diskursif yang berbeda. Keberbedaan demikian dilihat sebagai hasil pemaknaan diskursus yang pada gilirannya bisa diperiksa secara relasional. Itu sebabnya, Laclau menaruh logic of equivalen untuk mengidentfikasi kemungkinan bahwa keberbedaan kelompok partikular dapat diwacanakan dalam posisi relasional dalam arti bisa menyatu.
Logika di atas senada pemahaman bahwa kehidupan sosial bukanlah kenyataan yang fiks. Artinya, arena konstruksi wacana senantiasa membongkar struktur hirarkies dan merupakan praktik mengonstruksi dunia sosial secara kontijensi (contingency), karena dalam Postmarxis, tidak ada wacana tunggal yang mendominasi kehidupan sosial. Setiap problem pada dasarnya bersifat relasional dan karena itu kontijensi dari konteks ke konteks, waktu ke waktu, problem ke problem, aktor ke aktor, yang padanya berpeluang dijadikan arena diskursif. Dengan Laclau, penolakan Omnibus Law bukanlah sekadar bermakna kritik, tetapi wacana penolakan menjadi suatu proses pembentukan makna sosial bernegara secara luas.
Sekalipun ada nada menilai teori wacana dan hegemoni Laclau melepaskan perjuangan dari “basis material” ke ranah konstruksi diskursif dan identitas, yang artinya meninggalkan semangat Marxisme dari perjuangan kelas ke suatu proses pewacanaan tanda, bahasa dan identitas, justru saya membaca teori Laclau dan Mouffe dalam lanskap perjuangan secara holistik, dalam arti teori wacana sebagai gerakan berdasarkan konteks-partikular. Belajar dari kenyataan sosial seharai-hari, saya memberanikan diri melihat wacana tidak sepenuhnya lepas dari praktis sosial. Artinya, ketercerabutan sepenuhnya wacana Postmarxis yang digadai-gadai melepaskan “yang material,” justru menemukan relasi mendalam dengan konteks wacana yang mengangkat problem kontekstual secara partikular di daerah.
Mewacanakan suatu isu bukanlah melepaskan seseorang dari posisi subjek (subject position) dimana ia berbicara. Jika dia pekerja di pabrik, maka suara perlindungan tidak semata melepaskan dirinya dari lanskap transformasi kelas tertentu. Wacana bagi Laclau, sekaligus merupakan praktik sosial. Oleh karenanya, setiap masalah yang diartikulasikan ke ranah publik justru berelasi dengan struktur mapan yang mengendalikan hegemoni. Disinilah rasionalisasi kita atas wacana dan hegemoni menemukan konteks perjuangannya dalam basis-basis oligarki yang memprakarsai kebijakan politik dominan bangsa ini, seperti penciptaan UU Cipta kerja.
Konsekuensi logis dari praktik itu, bahwa medan diskursivitas (fields of discursivity) berlaku bagi korban dan penentang rasisme, pejuang HAM, multikulturalisme, pelecehan seksual, gender, pejuang lingkungan, agama dan sebagainya. Ambil contoh, RUU PKS yang sampai sekarang belum disahkan sesungguhnya penting, karena menunjukkan kontijensi dalam artikulasi mahasiswa menolak Omnibus Law, dan aktivis perempuan meriaki fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak hari ini.
Membiarkan wacana antagonis senantiasa dimunculkan dari elemen partikular inilah, maksud dari demokrasi radikal-plural yang dicitakan Laclau dan Mouffe. Transformasi hegemoni harus tercapai dalam medan-medan seperti itu, dimana semua elemen pergerakan menerima kesempatan menyampaikan wacana mengenai kepentingan mendasar dalam kehidupan sosial demokratis.
Dalam kasus Maluku Utara, ketika wartawan meliput aksi penolakan Omnibus Law, mereka dicegat dan pada akhirnya menerima kekerasan dari negara (polisi). Di posisi ini, kekerasan dan keadilan menjadi nodal point, mengharuskan wartawan terlibat memerankan posisi antagonis, membongkar struktur kemapanan negara lewat hegemoni media, peran yang sama sekali mirip dengan tujuan gerakan mahasiswa belakangan.
Dari logic of difference, kita berdiri dengan latar berbeda, sebagaimana kenyataan sosial tidaklah satu dan tunggal, tetapi kontijensi gerakan penolakan pada akhirnya menyatukan kita pada perasaan dan perilaku terintimidasi yang sama (logic of equivalen). Kita harus rebut hegemoni rakyat, ketika kepercayaan publik terhadap petinggi-petinggi negara dan daerah mulai dicurigai. Satu-satunya jalan adalah terus mewacanakan ini di semua tingkatan sosial.
Terakhir, penghargaan saya mendalam kepada mahasiswa dan jurnalis, jika buruh sebagai tulang punggung bangsa, maka kalian adalah nafas demokrasi. Di pundak kalianlah tugas mulia itu diemban. Panjang umur perjuangan. #LAWAN #TolakOmnibusLaw.
Komentar