Suku

Peneliti: Orang Togutil Bukan Pembunuh

Dialog bertemakan; 'Mengenal O’Hongana Manyawa, Menepis Stigma' yang digelar di Ternate oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Malut pada Sabtu 10 April 2021. || Foto: Zulfikar Saman

Ternate, Hpost – Berbagai peristiwa berdarah yang terjadi di hutan belantara Halmahera, menyisahkan berbagai spekulasi. Seperti kasus yang terjadi pada 20 Maret 2021.

Meski kasusnya masih didalami polisi, namun berbagai tudingan diarahkan ke Togutil; sekelompok komunitas masyarakat yang mendiami hutan Halmahera.

Tapi apakah bisa disimpulkan seperti itu ?

Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, sekaligus peneliti Orang Togutil, Syaiful Madjid menegaskan bahwa, orang Togutil bukan pembunuh.

“Kalau mereka pembunuh, saya sudah lama mati,” ucap Syaiful dalam dialog yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut bertajuk ‘Mengenal O’Hongana Manyawa, Menepis Stigma’ di Warkop Jarod, Kota Ternate, Sabtu 10 April 2021.

Menurut Syaiful, sematan kata pembunuh yang saat ini riuh ditujukan pada orang Togutil, bertolak belakang dengan yang dialaminya saat melakukan riset atau penelitian.

Saat beranjak remaja, Syaiful mengaku pernah diperintahkan ayahnya menemani seorang peneliti bernama Haryo Marto Diharjo, untuk meneliti orang Togutil di Dodaga, sebuah perkambungan di Halmahera Timur.

Dari situ, kehidupan Syaiful di hutan terpaut hingga saat ini. Mulai dari mendampingi orang hingga melakukan riset sendiri. Baca juga: Asal-usul Orang Togutil di Hutan Halmahera

“Saya juga pernah mendampingi Josep Pltenkam, kemudian Kristoper yang berasal dari Universitas Harvard dan mengajar di Universitas Arizona,” ucapnya.

Aktivitas masuk – keluar hutan untuk bertemu dan hidup bersama orang Togutil membuat Syaiful mengetahui banyak hal dari kehidupan mereka.

“Mulai dari identitas asli Togutil, cara pembagian hutan, apa yang paling disukai, sampai pada apa yang mereka tidak suka,” jelasnya.

Ia bahkan bersaksi, bahwa selama hidup berdampingan dengan orang Togutil dan menjelajahi hutan, seringkali menemukan masyarakat dari pesisir Galela, Halmahera Utara.

“Mereka cari pohon gaharu, lalu tinggal di hutan selama berminggu-minggu. Tapi mereka terbebas dari bahaya-bahaya yang datang dari orang Togutil,” akunya.

Kembali ia tegaskan, jika orang Togutil adalah pembunuh, maka baik dirinya, peneliti bernama Kristoper, hingga orang-orang pesisir Galela sudah mati terbunuh.

“Tapi terbukti mereka masih hidup kok. Itu artinya, stigma yang dilekatkan pada orang Tobelo Dalam selama ini sangat keliru,” tandasnya.

Meski begitu, ia mengakui bahwa orang Togutil dapat membunuh. Tapi itu hanya terjadi di antara mereka atau tidak merembet ke orang luar.

“Orang luar dapat ditantang bila mengancam mereka, atau telah melanggar tradisi yang mereka pegang dalam kehidupan,” ucapnya.

“Kalau hukum mereka bilang ‘iya’ harus membunuh, karena itu hukum alam mereka dalam konsep kearifan lingkungan,” tambahnya.

Kehidupan orang Togutil yang seiring waktu terus mangalami pergeseran wilayah, menurut Syaiful, disebabkan proyek resettlement (pemukiman kembali) serta politik domestikasi (penjinakan) yang dilakukan oleh pemerintah.

“Itu sebagai upaya pendekatan dalam penjinakan terhadap komunitas orang Togutil,” tandasnya.

Ia menambahkan, awalnya penyebutan Togutil berasal dari kata ‘O'tau Gutili.’ Penyebutan ini merujuk pada lokasi, atau tempat/rumah pengobatan O’Hongana Manyawa yang ada di hutan. Lalu kalimat itu menyebar luas ke khalayak masyarakat, sehingga orang yang hidup di dalam hutan disebut Togutil.

Ketua AMAN Malut, Munadi Kilkoda mengatakan, framing yang muncul di tengah masyarakat tentang karakter Togutil, dapat memicu pemerintah mengambil kebijakan berupa modernisasi terhadap orang Togutil.

Frame itu karena dihadirkan dalam media massa yang menyebut orang Togutil adalah orang bodoh, primitif, hingga pembunuh. Padahal ini bertentangan dengan hak asasi manusia,” tegasnya.

Dari setiap rangkaian peristiwa yang terjadi di hutan Halmahera, kata Munadi, media massa seringkali mengkaitkan dengan orang Tugutil. Padahal, menurut dia, orang Togutil tidak pernah melakukan itu.

Seperti yang terjadi pada 2013 di Sungai Waci, Haltim. Kemudian di 2014, terjadi peristiwa mutilasi yang membuat Bokum dan Nuhu dituduh, dan di 2019 kembali terjadi di Sungai Waci.

Terbaru di hutan Patani, Halmahera Tengah, yang menurut Munadi, belum tentu pelakunya adalah orang Togutil.

“Di antara media massa telah menyebarkan berita dengan menyebut dugaannya ialah orang Tugutil. Tapi masih ada juga media massa yang memahami itu,” tuturnya.

Ia menegaskan, tidak bisa dipungkiri bahwa ada masyarakat adat di Indonesia yang hidup menetap, dengan tetap kokoh dan selalu mempertahankan tanah adatnya sebagai kesatuan dari kehidupan. Dan ada pula yang masih bertahan di hutan dengan cara berpindah-pindah.

“Untuk di Malut, khususnya orang Togutil, mereka masih hidup nomaden. Tapi di antara lainnya telah dirumahkan atau hidup menetap, seperti di Wasile, Haltim,” ucapnya.

Cara hidup nomaden orang Togutil, sebut Munadi, selain sebagai sebuah tradisi atau stok makanan, juga akibat dari investasi yang bercokol di belantara hutan.

“Mereka merasa tersisi atas keberadaan investasi. Termasuk tekanan. Misalnya, sebuah perusahaan menukar lahan mereka dan mengharuskan komunitas mereka yang di Akejira, pindah,” ucapnya.

Padahal, menurut dia, orang Togutil adalah benteng terakhir dari kelangsungan ekologi dari hutan Halmahera, dalam penyediaan oksigen untuk masa depan.

“Orang Togutil itu tak sekadar entitas, tapi ini tentang penjaga alam, hutan Halmahera,” ucapnya.

Dengan bagitu, lanjut Munadi, hak masyarakat adat secara Internasional sampai Nasional telah diakui oleh Konstitusional. “Tapi pengakuan itu tidak selaras dengan kebijakan pemerintah saat ini,” tandasnya.

Sementara itu, CEO cermat partner kumparan, Faris Bobero, yang dihadirkan berbicara dari sisi media mengatakan, dalam dunia jurnalisme segala sesuatu tidak harus diberitakan sebebas-bebasnya, tapi wartawan wajib menaati kode etik jurnalistik.

Faris memaparkan, dalam etika jurnalistik, pasal 8 itu menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis berita atau menyiarkan berita berdasarkan prasangaka atau diskriminasi terhadap seorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu yang belum jelas. Sedangkan diskriminasi yang dimaksud adalah pembedaan perlakuan.

“Tapi kenapa masih banyak media massa menulis tanpa mengetahui kondisi kalau ini suku apa, tapi sudah berani menulis memakai kata ‘suku Togutil, tanpa verifikasi. Bahkan, ada yang memberitakan berdasarkan sumber yang orang unggah ke tiktok. Sialnya, itu dilakukan oleh media di luar Maluku Utara,” ungkap Faris.

Ia mengaku, dalam menjaga kode etik jurnalistik ia enggan menulis kata ‘suku’ untuk orang Togutil. Karena ketika media menulis nama suku, maka publik akan membuat stigma buruk terhadap suku tersebut.

“Tidak benar kalau dikatakan suku (Bagi orang Togutil), karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Tobelo,” tuturnya.

Faris bahkan mencontohkan, misalnya, kejadian pembunuhan terjadi di kota Weda, apakah media akan menulis suku di tempat tersebut yang membunuh. Faris pun bertanya, kenapa, kalau terjadi pembunuhan di hutan Halmahera, kenapa beberapa media tertentu langsung memframing, bahwa pembunuhnya adalah suku tertentu?

Pernyataan ini, kata Faris, bukan berarti membela orang Togutil. Katanya, siapa saja pembunuhnya, harus bertanggungjawab, baik itu pelaku yang berasal dari komunitas Togutil.

“Namun, media kan tidak harus menyebut suku tertentu sebagai pembunuh. Itu sama saja menyebut secara keseluruhan,” kata Ketua Forum Pemred Maluku Utara ini.

Faris berharap, sesama teman-teman media di Maluku Utara, untuk selalu bersabar—tidak tergesah-gesah memberitakan kasus pembunuhan. Sebab, hingga saat ini, pihak kepolisian juga masih berupaya keras, mengidentifikasi kasus kejadian tersebut.

Baca Juga