1. Beranda
  2. Headline
  3. Kabar

Perikanan

Akademisi: Program LIN di Maluku Utara Bagai Menelan Buah Simalakama

Oleh ,

Ternate, Hpost – Program Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku Utara bagai menelan buah simalakama.

Sebab dalam proyek ‘mercusuar’ ini, nelayan di Malut hanya dijadikan penyokong bahan baku ikan untuk sentra industri di Provinsi Maluku dan Sulawesi Utara.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate, Djanib Achmad menilai, meskipun industri pertambangan bergeliat di Malut, tapi sektor perikanan dan pertanian masih diandalkan masyarakat.

“Ini terbukti pada akumulasi Produk Domestik Regional Bruto di seluruh sektor perekonomian daerah,” kata Djanib kepada halmaherapost.com, Jumat 28 Mei 2021.

Menurut dia, pertanian dan perikanan di Malut merupakan penyangga utama. Kurang lebih 21 persen ekspektasi ekonomi masyarakat kita adalah perikanan dan pertanian. “Bukan pertambangan," tandasnya.

Tapi capaian itu justru kontras dengan angka kemiskinan yang masih saja menjamur, terutama pada masyarakat pesisir yang notabene bekerja sebagai nelayan.

Baca juga:

Kendala yang Dihadapi Maluku Utara dalam Mengelola LIN

Program LIN Maluku Utara Jalan di Tempat, Abdullah Assegaf Kerjanya Apa???

"Pendapatan perkapita masyarakat itu rata-rata kurang dari Rp 1 juta dalam sebulan," tuturnya.

Bagi Djanib, skema LIN di Malut hanya dijadikan sebagai plasma. Tidak menjadi sentra industri. Sebagaimana di Halmahera Selatan (Halsel) yang menjadi penopang utama sentra industri perikanan di Provinsi Maluku.

Sedangkan Kabupaten Pulau Morotai, akan menjadi plasma untuk industri perikanan di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

Itu artinya, Malut tidak menjadi pengespor bahan setengah jadi yang memiliki nilai tambah ekonomi. Sementara, kedua kabupaten ini adalah penyedia stok ikan di Malut.

"Sebaran armada tangkap yang beredar di Malut, paling banyak di perairan Halsel. Jumlahnya sekira 60 persen, lalu Morotai," terangnya.

Maka suatu saat, Djanib memperkirakan tata niaga perikanan dari dua kabupaten tersebut, tak akan bisa memenuhi kebutuhan ikan di Malut.

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan Tolonuo, Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara. || Foto: Firjal Usdek/JMG

“Padahal, selama ini protein utama masyarakat Malut adalah ikan. Artinya belum ada subtitusi protein lain selain ikan, terutama jenis tuna, cakalang dan tongkol," sebutnya.

Djanib memprediksikan, bahwa ke depan distribusi ikan secara mentah akan menuai polemik.

Maka pemerintah harus memperbaharui skema penerapan LIN di Malut. Terutama pola tata niaga dan tata kelola.

"Ini sebagai indikator dalam mengukur keberhasilan LIN, agar proyek nasional ini memiliki kesan bahwa ada ekspektasi baru untuk wajah ekonomi kita, terutama pada nelayan," ujarnya.

Jika tidak, maka proyeksi pendapat masyarakat nelayan sebagai tolok ukur kesejahteraan, tidak dapat membuahkan hasil. Belum lagi SDM nelayan di Malut rata-rata sudah berusia lanjut.

Menurutnya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Malut, sudah harus menyiapkan strategi untuk mengadang konsekuensi yang diprediksi bakal terjadi.

“Misalnya, ketika Halsel jadi penopang industri ikan di Ambon, maka perlu dihitung berapa persen yang akan diedarkan,” jelasnya.

Baru-baru ini, Deputi dan Asdip II Bidang Koordinasi Sumberdaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengungkap beberapa hambatan yang dihadapi Malut.

Mulai dari SDM, keterbatasan armada, pasokan bahan bakar yang belum maksimal, kapasitas cool storage di Bacan, Halsel, sudah over lot, daya listrik, korporasi nelayan, hingga interkoneksi pemasaran.

Pengamat Hukum, Sosial dan Politik, Sumarlin Maate berpendapat, pada prinsipnya kendala tersebut dapat diatasi dengan kewenangan pemerintah daerah.

“Seluruh kelemahan itu adalah basis yang mesti didorong, baik di tingkat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Harus ada konsep yang sama terkait LIN ini,” ujar Sumarlin kepada halmaherapost.com, Minggu 30 Mei 2021.

Menurut dia, Pemprov Malut harus membuat desain wilayah. Karena kendala yang diungkap oleh pihak kementerian itu, melibatkan konsep ekonomi strategis.

Pemda harus meletakan desain Rencana Tata Ruang Wilayah, agar bisa memberikan ruang akitivitas industri strategis dan keamanan.

“Supaya pemda mendapat kepercayaan, baik dari investor maupun negara dalam hal ini pemerintah pusat,” jelasnya.

Disamping itu, untuk menjawab problem tersebut perlu melibatkan OKP, Akademisi, LSM, toko agama, hingga pers.

Karena LIN merupakan konsep pembangunan ekonomi yang di dalamnya melibatkan elemen-elemen industri strategis.

“Mulai dari nelayan sampai pada pengelolaan akhir. Maka keterlibatan pihak keamanan harus menjadi bagian utuh dari cara pemda untuk menjawab kendala yang ada,” pungkasnya.

Berita Lainnya