Tajuk
Ternate Andalan, Harapan Baru Warga Kie Gapi
Penduduk kota Ternate semakin padat. Kebutuhan air bersih ikut meningkat. Produksi sampah sulit tertangani.
Masalah sampah dan air bersih berhubungan erat dengan kebijakan sanitasi. Artinya, dua masalah kompleks kota ini jika tidak tertangani dengan baik akan menjadi sumber dari segala penyakit.
10 tahun terakhir tanpa solusi, ‘Ternate Andalan’ begitulah jargon pemerintahan Wali Kota Ternate, M. Tauhid Soleman dan Wakil Wali Kota, Jasri Soleman, memimpin kota Kesultanan ini setidaknya 3,5 tahun kedepan.
Produksi sampah di Ternate mencapai 90 ton hingga 150 ton per hari. Jumlah yang cukup banyak di tengah kota yang padat.
Alhasil menjawab problem itu, Trans Depo berbasis partisipasi masyarakat menjadi salah satu kegiatan dalam Program ‘Andalan’ menangani sampah. Program itug diluncurkan oleh Wali Kota di Kelurahan Bastiong Karance, Ternate pada akhir Juni 2021, kemarin. Lalu apakah masalah klasik-sampah di kota ini bisa diselesaikan dengan keberlanjutan program ini?.
Meski tanpa menelisik secara jauh apa yang termuat dalam RPJMD 2021-2026, arah kebijakan pemkot ‘Ternate Andalan’ dalam menangani masalah sampah bisa dibaca lebih dulu secara saksama.
Melalui OPD terkait, yakni Dinas Lingkungan Hidup. Pemkot berencana menambah trans depo di beberapa titik di kota Ternate, yakni di Kelurahan Kalumata, Dufa-dufa, Kubur Cina di kelurahan Santiong, dengan perkiraan anggaran sekira Rp 5 Miliar.
Apakah benar trans depo dijadikan sebagai solusi? Jika ini adalah solusi, maka bisa dibilang masalah sampah akan menguap begitu saja, menghampa, mengudara, bahkan baunya dibiarkan busuk hingga datangnya kembali musim pilkada.
Masih soal Sampah, 'Ternate Andalan' kita ini butuh maha karya-inovasi. Tak hanya dengung kolaborasi yang kaku di meja birokrasi. TPS-3R dan atau Bank Sampah (Contoh: Ake Tubo) bisa jadi pilot project ‘didaur’ kembali di beberapa lokasi. Mungkin Pemkot Ternate Andalan perlu studi ke Tubo, perihal cara masyarakat rela berpartisipasi. Di sana, partisipasi warga tersedia tanpa tedeng aling-aling politik birokrasi.
Pemkot Ternate Andalan hanya perlu lebih lentur mendekati warga. Menanggalkan sedikit cara-cara lama. Sudah banyak konsep dan contoh yang bisa menjadi pembanding bagi pemkot untuk berinovasi dan berkolaborasi.
Di Ternate, depot air menjamur. Komersialisasi dan privatisasi air masih menjadi hantu di siang bolong. 2030, Ternate Andalan kita ini diprediksi mengalami krisis air bersih oleh Balai Wilayah Sungai. Karena, Ternate Andalan kita ini diprediksi kehabisan air tanah. (baca Mongabay).
Bangunan makin memuncak ke gunung. Lalu apakah Rencana Detail Tata Ruang yang katanya sementara disusun sudah betul-betul melingkupi zonasi ketahanan air tanah secara spesifik?. Ini akan terjawab dalam pelaksanaan arah kebijakan, program, dan kegiatan selama kurang lebih 3 setengah tahun kedepan.
Sudah termaktub dalam visi misi, zonasi wilayah Ternate dibagi berdasarkan karakteristik. Namun, hanya dibangun dengan basis zonasi yang heavy pada pertumbuhan ekonomi.
Di samping itu, ada hal tak kalah urgen yakni aksebilitas warga kota dalam mempersempit ketimpangan wilayah, terutama Hiri, Moti, dan Batang Dua.
Yang paling segar diingatan kita misalnya, Pelabuhan Hiri, jalan lingkar dan jembatan Pulau Moti, pelayanan kesehatan dan pendidikan serta jalan dan pelabuhan laik di Kecamatan Pulau Batang Dua. Sungguh kebijakan tak bisa didasarkan pada "angka-angka" tapi memang pada keberpihakan kebijakan dan ke-TULUS-an pemimpin.
Kita bisa pastikan bahwa Kepemimpinan hari ini bisa 'disabilitas' secara kebijakan apabila salah melangkah sedari awal. Olehnya, Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi kebijakan harus poor agar tidak elitis.
Ini hal lama yang terus berulang di dua dekade terakhir, bahkan di hampir semua rezim pemerintahan penjuru negeri. Bahwa kebutuhan dasar yang nyata sering terabaikan karena urusan balas budi dan balas jasa, belum lagi balas dendam-politik. Inilah peradaban kita hari ini, bisa jadi terulang kembali dengan cara yang berbeda.
Ternate 3,5 tahun kedepan harus berlari lebih cepat, namun wajib tetap berada pada koridor kebudayaan. Bahwa "kebudayaan" sering menjadi alat "Komodifikasi" itu sulit dihindari. Namun, kebudayaan setelah kuasa diduduki selalu dihindari, itu sudah berungkali terjadi.
Rezim politik berganti, tapi jiwa kepemimpinan perlu tertancap di lubuk hati. Masalah sampah dan air bersih sekali lagi adalah soal kebijakan sanitasi. Tentang hidup dan mati warga Kie Gapi.
Komentar