1. Beranda
  2. Cendekia
  3. Headline

Opini

Ketika Kritik Dibalas Ancaman

Oleh ,

Oleh: Wawan IlyasBala di Soa Tomajiko


Gejolak sosial menuai aksi Jilid I, II dan III penolakan kenaikan harga BBM di Ternate, Maluku Utara. Mulai dari konsolidasi solidaritas organ gerakan mahasiswa, keterlibatan masyarakat, aspirasi kepada pemerintah, hingga pihak kepolisian (Polda dan Polres Ternate) yang bertugas mengawal selama berjalannya aksi di Jln. Pahlawan Revolusi, Jln. Batu Angus dan Jln. Pertamina.

Dalam suatu negara bangsa merdeka, kehadiran pelbagai elemen dari lapisan masyarakat itu mencerminkan "titik temu" iklim kebebasan atas perkara dasar demokrasi; menyuarakan kedaulatan rakyat. Meskipun, pada akhirnya syarat tindakan kekerasan aparat penegak hukum terhadap warga dan mahasiswa.

Sebaliknya, mahasiswa dinarasikan "bandel". Lebih dulu memulai konflik dengan aparat, dan sebagainya. Termasuk ada anggapan "penyusupan aktor" ke tengah-tengah massa aksi yang memicu terjadinya konflik. Belakangan diketahui ada mahasiswa "penghianat" yang mengabdi dirinya kepada polisi (Banpol). Wacana demokrasi mengerucut pada tugas masing-masing elemen.

Maka, adagium "Vox populi, vox dei" perlu diterjemahkan secara lebih luas dalam makna kontekstual. Bahwa saat ini di Indonesia sebagai "nation state," terjadi pergeseran makna dari "suara rakyat untuk rakyat" menjadi "suara pemerintah merawat oligarki", dan sikap loyalitas institusi mengawal agenda kenegaraan itu berjalan seperti biasa. Ini terlihat disaat pihak kepolisian begitu konsisten menjalankan tugas-tugasnya, terutama pengawalan lapangan menggunakan perlengkapan seperti kawat duri, mobil baja, senjata, baju huru-hara, mobil "water canon" pengurai massa dan yang paling menyiksa rakyat: gas air mata.

Saya harus bilang begitu, sebab fakta mengungkap warga turut menjadi korban dari tindakan "brutal" anggota polisi, tanpa mempertimbangkan segi kemanusiaan dan jarak antar permukiman ketika menembakkan gas berbahaya itu ke massa aksi.

Memotret Kekerasan

Pada aksi Jilid II tanggal 18 April, seorang bayi 5 bulan di lingkungan Akehuda, terkena dampak gas beracun ini. Orang tuanya mengamuk dan protes, namun, sempat Kapolres Ternate membantah jika anak itu bukan korban keganasan gas air mata yang dilepaskan anggota polisi. Kalau ditelaah dari segi bahasa kepolisian sebagai institusi sosial, tanggapan Kapolres seperti itu sudah menandakan watak otoriter seorang pemimpin. Otoriter artinya tidak mengakomodasi "eksistensi" pihak lain, apalagi mereka yang berbicara adalah korban dari dalam tindakan Negara. Ini berlaku struktural, sebab "membantah" adalah logika pencitraan secara internal. Walaupun akhirnya sambangi juga Kapolres ke rumah (kediaman) bayi itu berada secara eksternal. Entah meminta maaf apa tidak.

Di ruang berbeda, seorang ibu penjual takjil tersengat, wajahnya memerah dan tergeletak di pinggiran jalan sekitar lokasi Bank Mandiri di Falajawa akibat gas air mata. Pun, di sebelah utara kantor Wali Kota, tepatnya ATM BNI Cabang,  seorang warga dilarikan ke Rumah Sakit karena sesak napas terhantam gas yang sama dari polisi. Mengerikan. Polisi dengan prakteknya melanggar Peraturan Kapolri No 1. Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Masih tentang Ibu dan anak. Jika kita perhatikan video ketika polisi mengarahkan "water canon", mereka tanpa pertimbangan menghantam apa yang terlihat di depan. Ini menyakitkan. Seorang Ibu dan anaknya jadi sasaran, mereka terpelanting ke aspal bersama sepeda motor, terkena tembakan fulgar "water canon". Ini tidak mungkin tidak meninggalkan jejak traumatik pada anak berusia dini itu. Diusia begitu, psikologinya sudah dicemari tindakan-tindakan kekerasan dari negara.

Kekerasan polisi tak dibendung. Mereka punya infrastruktur pendukung.  Pelbagai video memperlihatkan anggota polisi mengejar, menyeret, memukul dan menganiaya mahasiswa di areal menuju Bandara Baabullah. Seorang mahasiswa ditangkap tak berdaya dan anggota polisi berbaju preman datang memukul tepat bagian rahangnya. Mahasiswa hanya disuruh diam dan diam. Satu aktivis PMII dilarikan ke RS Islam karena kepalanya sobek dihantam polisi, dan kurang lebih 34 mahasiswa pernah ditahan.

Aksi depan kantor Wali Kota tanggal 18 April menyisakan problem nyata. Selain harga BBM yang masih bermasalah, mahasiswa juga harus membayar ganti rugi "soundsystem" yang dirusak pihak polisi. Soundsystem terkena amukan "water canon" menyebabkan seluruh bagian/alat tak lagi berfungsi (lihat video). Biaya ganti rugi senilai kurang lebih Rp18.000.000, dan mahasiswa menggalang dana dalam rangka itu. Mahasiswa sudah berjuang kepentingan rakyat, mereka juga yang dibebani atas ganti rugi barang rakyat yang dirusaki polisi (negara). Menyedihkan.

Kasus ini mengingatkan gagasan Max Weber tentang "Iron Cage-hukum besi birokrasi" yang pernah ia cetuskan dari hasil pergumulan beliau selama proses wajib militer di Jerman (waktu itu masih kerajaan Prusia). Bagi Weber, rasionalitas modernisme dapat hadir dalam wujud kekerasan birokrasi negara yang terlegitimasi secara struktural. Pencetus teori tindakan sosial ini memberi sumbangan berarti untuk memahami saat ini tindakan polisi sebagai bentuk tindakan sosial, selain memeriksa institusi Kepolisian sebagai suatu institusi sosial.

Saya dapat info melalui sebuah poster dari Humas Polres Ternate yang berisi gambar/foto bersama perwakilan mahasiswa, YLBH dan Polres yang memberi tali asih perbaikan "soundsystem."  Namun, ketika saya telusuri, ternyata Polres Ternate hanya bersedia ganti senilai Rp1.000.000 dan itu dipakai bayar sewa mobil pick-up, yang sebelumnya juga ditahan pihak polisi. Lucunya, kok bisa dalam poster itu Humas Polres menulis begini; "Polisi Mengawal Aksi dengan Humanis". Jika bukan karena ini pembohongan publik,  pertanyaannya dimana letak humanis itu? Atau justru seluruh tindakan kekerasan aparat yang saya urai di atas adalah proses dehumanisasi polisi terhadap warga negara dan mahasiswa.  Sisi humanisme yang mana yang muncul bersama kawat duri, water canon dan gas air mata, pak polisi? Bisa jadi itu kolonial.

"Wajah" Kolonial atau Gejala Otoriter

Kolonialisme selalu meninggalkan dua wajah penjajahan; fisik dan mental. Jajahan fisik berupa bangunan dan kekerasan masa lalu (kulturstelsel dan devide et impera), sedangkan jajahan mental berupa pengetahuan (pembodohan), perasaan (superior-inferior), bahasa, watak dan perilaku manusia (beradab-tak beradab). Jajahan dalam arti kedua itulah yang punya daya merusak tinggi dalam sejarah peradaban umat manusia. Termasuk merusak tatanan peradaban di Indonesia.

Para teoretisi pascakolonial sepakat jika aspek vital dari upaya dekonstruksi masyarakat bekas kolonial adalah mental. Sebut saja, ada Homi K. Bhaba, Franz Fanon, Gayatri Spivak, Parta Chaterjee, Edward Said, dan lain-lain. Mereka adalah tokoh-tokoh yang pemikiran dan pengalamannya terbangun dari situasi penindasan. Maka tesis kemerdekaan "subjek" menjadi yang utama dalam proses "pemulihan" masyarakat terjajah. Lembaga-lembaga besar Indonesia harusnya menyoroti serius  bersama teropong "historiografi pascakolonial." Misalnya, adakah lembaga kepolisian memetakan problem vital bangsa ini sesuai tugas utama dengan pendekatan pascakolonial? Perlukah reformasi birokrasi POLRI diikutsertakan mereformasi "mental ABRI" di era pasca reformasi yang lebih humanis dan independen? Bagaimana praktek pendidikan anggota di tubuh Polda Malut dan Polres Ternate, khususnya dalam menghindari metamorfosa tindakan kolonial di ranah lokal?

Jika kepolisian menampilkan "wajah baru humanisme" pasca reformasi yang mengedepankan keadilan dan kemanusiaan, kita butuh bertanya kenapa kekerasan struktural polisi justru meningkat di Indonesia pasca reformasi? Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonTras) mencatat sepanjang bulan Juli 2020-Mei  2021, terdapat 651 kasus kekerasan yang dilakukan anggota polisi terhadap warga sipil (Tempo.co, 2021).  Termasuk kasus kekerasan anggota POLRI menjadi terbanyak dari lembaga lainnya dalam kategori kasus penyiksaan, institusi kepolisian penyumbang kekerasan/penyiksaan terbesar di Indonesia (Tempo.co, 2021, CNNIndonesia.com, 2021)

Komnas HAM juga menemukan bahwa pelanggaran HAM terbanyak dilakukan oleh anggota polisi (Tempo.Co, 2022). Fakta ini membuat Kapolri melalui Divisi Humas berjanji pada bulan Januari 2022, bahwa ke depan POLRI akan membenahi sistem pengawasan/pengawalan dan fakta di lapangan meminimalisir kekerasan yang dilakukan anggota polisi dalam bertugas dan bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap pelaku kekerasan tersebut (Tempo.co, 2022). Namun, kita tahu secara nasional, beberapa waktu setelah janji itu diucap, polisi kembali menambah daftar kekerasan di Indonesia. Kali ini melalui desa Wadas. Polisi mengepung permukiman,  mengintimidasi warga, menangkap, bahkan secara massif masuk ke rumah-rumah meneror warga Wadas yang menolak tambang. Psikologi warga betul-betul "dipukul" hingga tak ada kemerdekaan secara pikiran dan mental. Beginilah cara kolonial melancarkan aksi penjajahan masa lalu; jatuhkan/lemahkan mental masyarakat.

Di Maluku Utara, fenomena kekerasan anggota polisi bukan sekedar terjadi saat aksi demonstrasi, tetapi juga berkembang hingga di ranah hubungan seksualitas. Anggota polisi melakukan kekerasan terhadap perempuan. Dan salah satu kasusnya bahkan terjadi/dilakukan dari dalam kantor polisi (Baca: Pemerkosaan). Dalam konteks itu, keberadaan polisi dengan infrastruktur keamanannya sebagai "aparatus Ideologi negara" dalam makna Althusser, masih mengental mengunakan kekerasan, baik secara institusi maupun secara pribadi. Baik secara fisik maupun mental. Institusi kepolisian seakan menjadi sarang "kejahatan" yang melahirkan perasaan tidak aman diantara warga korban kekerasan.

Kita pada akhirnya tidak memiliki kecakapan publik dalam berwarganegara yang merdeka. Pembunuhan karakter dan pembungkaman kritisisme seperti melekat bersama kehidupan "aparatus negara" secara institusional. Faktanya, tak ada kritik yang direspon baik.

Ketika saya menulis (Facebook) beberapa kasus dan wacana setelah aksi Jilid II di Ternate, beredar suatu chat Whatsaap yang saya gamit dari sumber seorang anggota polisi begini; "akun atas nama Wawan itu anak Hiri, tinggal di Toloko Depan Mes Aneka Tambang, atau biasa di Kel. Tarau. Ciduk dia saja minta klarifikasi pintar kelebihan tu injang batang leher saja".

Dan saya melihat ada "watak kolonial" dalam chating singkat itu. Teror psikis dan rencana jahat menyerang fisik adalah tipe-tipe kejahatan kolonial Belanda yang terwarisi hingga kini. Sekalipun itu, bisa jadi, keluar dari anggota lembaga pelindung dan pengayom masyarakat seperti Kepolisian (intelijen). Kritik dibalas Ancaman. Lalu dimana dimensi melindungi dan mengayomi warga negara?

Saya ingin tegaskan kepada Kapolda Maluku Utara dan Kapolres Ternate, ada nilai kultur partisipasi "orang Moloku" yang butuh ditransformasi kedalam tugas institusi kepolisian. Kepolisian musti paham kosmologi berfikir orang Maluku tentang "Negara" dan bagaimana ber-warganegara. Sebab bangsa ini telah lebih dulu punya negara, sebelum adanya NKRI melalui konsep "Jo Ngon ka Dada Madopo, Fangare Ngom ka Alam Madiki".

Jika selamanya kawat duri, huru-hara, water canon dan gas air mata masih didepan dalam pembacaan kultur pengamanan POLRI, institusi ini tetap akan memproduksi kekerasan tanpa henti pada rakyatnya sendiri. Salam.

Selamat berpuasa...

Berita Lainnya