Opini

September Masih Saja Hitam


HARI INI tepat 18 tahun lalu, Munir Said Thalib diracun di udara puncak teror untuk Munir. Sebelumnya, ragam ancaman dan teror sudah ia dan keluarga alami, sebelum akhirnya ia dibunuh oleh racun arsenik.

Hingga kini, aktor di balik pembunuhan Munir belum juga terungkap. Janji Presiden Jokowi tentang penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat hanya menjadi narasi kering, lip service. Rezim bebal!

Munir dibesarkan dalam keluarga muslim keturunan Arab. Kakek moyangnya adalah imigran dari Hadhramaut (Yaman) yang ratusan tahun lampau datang ke Nusantara. Dengan latar belakang ini, membuatnya lebih memilih aktif dalam organisasi-organisasi Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad.

Namun demikian, kegelisahan Munir muda telah membawanya pada pergulatan pemikiran yang panjang dan lintas batas. Munir meyakini bahwa hak asasi manusia dalam konteks solidaritas kemanusiaan telah menciptakan sebuah bahasa baru yang universal dan setara, yang berbicara melalui batasan-batasan rasial, gender, etnis dan agama.

Karena itulah, dalam pandangan Munir, hak asasi manusia harus dijadikan sebagai pintu masuk terciptanya dialog bagi orang-orang dari berbagai latar belakang sosial-budaya dan ideologi. Lewat pintu ini pula Munir masuk dan bergaul dengan aktivis-aktivis yang berbeda latar belakang demi terwujudnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Baca Juga: Mencerap Karya Sastra yang Lahir dari Lingkungannya

Munir memilih sebuah titik pijak di mana ia bisa melihat jelas problem demokrasi Indonesia terbelenggu oleh politik-kekerasan yang secara struktural berkelindan dalam hubungan Negara-Masyarakat.

Ia mengambil pilihan eksistensial untuk berdiri paling depan meneriakkan perjuangan hak asasi, serta politik yang bebas dari kekerasan.

Munir hingga akhir hidupnya tetaplah seorang aktivis HAM yang mengambil posisi skeptis dan pesimis dalam penegakan HAM di Indonesia terlepas dari banyaknya produk-produk HAM formal yang sudah disahkan. Terlebih lagi, setiap rezim yang berganti tidak pernah serius memutus mata rantai impunitas yang mengakibatkan "spiral-kekerasan" berurat akar dalam pola pikir masyarakat.

Ia memang telah pergi, namun semangat juangnya terwariskan kepada orang-orang yang menolak untuk lupa. Bulan September akan selalu hitam, bila negara tidak benar-benar serius menetapkan pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat dan menuntaskan pelanggaran HAM berat lainnya. Munir bagai lilin dalam gelap, mampu menembus batas ketakutan. Menerangi kecemasan warga atas pola kekerasan. Ia adalah monumen untuk para pembela HAM.

Saat ini, kita patut bersyukur bahwa anak muda sedikit banyak telah aware tentang pentingnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Dengan kesadaran tersebut, kita mampu menjahit solidaritas antar warga di tengah-tengah rezim yang denial, nihil guna terhadap rakyat.

Rakyat berhak marah, di tengah ekonomi rakyat yang kian melemah, pengangguran yang meningkat. Di tengah-tengah kesemrawutan tersebut, rakyat dikejutkan dengan kebijakan kenaikan harga BBM. Namun, di samping itu perusahaan pertambangan dihadiahi 0% royalti terhadap negara.

Untuk rakyat dengan kelas ekonomi ke bawah, semakin sulit mendapatkan hak atas standar hidup yang layak. Demonstrasi sedang dilakukan di berbagai daerah untuk menolak kenaikan harga BBM, kita doakan mereka yang berjuang di jalan atas nama Rakyat Indonesia. Semoga keberanian Munir selalu hadir dalam perjuangan teman-teman.

Semangat dan budi baik Munir akan selalu menjadi api semangat kita untuk terus memperjuangkan hak asasi manusia ke depannya.

Munir adalah nama keberanian.

Terima kasih, Cak.


Penulis: Akbar Gamtohe
Editor: Tim Penyunting

Baca Juga