Opini dan Esai
Pilar Demokrasi Kian Terancam

Walau konteksnya berbeda antara orde baru dan reformasi, namun penulis melihat aspek perilaku kekuasaan dan tindakan-tindakan yang membuat indeks kemerdekaan pers terus mengalami degradasi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia selama 2021 terkonfirmasi sebanyak 43 kasus. Jumlah kekerasan paling banyak ialah kasus teror sembilan kasus, kekerasan fisik dan pelarangan liputan masing-masing tujuh kasus (Tempo.co, Kamis 30 Desember 2021).
Ada 14 jenis kasus yang ditemukan yaitu, kekerasan fisik, teror dan intimidasi, penghapusan hasil liputan. Pelarangan liputan, ancaman, serangan digital, penuntutan hukum, penahanan, perusakan atau perampasan alat, pelecehan, kekerasan seksual berbasis gender, pelarangan pemberitaan, penculikan atau penyanderaan, pembunuhan. Sementara pelaku kekerasan dilakukan oleh Polisi, tidak dikenal, aparat pemerintah, warga, pekerja profesional, ormas, TNI, jaksa, perusahaan.
Apa yang dialami Mardianto Musa, Ketua Komunitas Wartawan Tidore contohnya. Ia diduga dianiaya oleh pekerja profesional. Juga kasus yang menimpa wartawan Tempo Nurhadi di Surabaya pada 27 Maret 2021 lalu. Padahal dalam menjalankan tugas, wartawan dijamin mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. Standar perlindungan profesi wartawan yang dikeluarkan Dewan Pres dalam menjalankan profesinya, wartawan dilindungi dari segala kekerasan yang mengancam atau menghambat pekerjaanya. Apalagi sampai melakukan tindak kekerasan, mengambil, merusak alat dan atribut kerja.
Apapun perilaku kekerasan terhadap wartawan bisa dipidana sebagaimana Bab 7 Ketentuan Pidana Pasal 18 poin 1 bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara. Bahkan kebebasan setiap warga negara pun telah ditegaskan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, bahwa setiap hak warga negara harus aman, tidak diintimidasi dan sejenisnya.
Peran wartawan sebagai pilar keempat demokrasi Indonesia, sejauh ini berperan sebagai penyambung lidah masyarakat. Barangkali yang dipikirkan Joseph A Schumpeter mengendalikan kehendak umum atau kepentingan umum. Kebebasan demokrasi wartawan lebih parah lagi kalau pelaku kekerasan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Seperti kasus kekerasan terhadap Nurhadi di Surabaya yang diduga oknum polisi pun ikut terlibat. UUD 1945 dan Pasal 18 Undang-undang 40 Tahun 1999 harus menjadi pagar bagi wartawan. Kemudian jadi pengingat pelaku kekerasan wartawan di Maluku Utara. Sementara kode etik jurnalistik menjadi kitab bagi wartawan yang harus diamalkan dalam menulis berita.
Wajar, kalau orang yang tidak paham tugas wartawan. Apalagi tidak tau tugas watawan itu diistiwewakan oleh Undang-undang 40/1999. Wartawan itu adalah intelektual yang bertugas sebagai watchdog atau “anjing penjaga” yang mengontrol kekuasaan. Kalau dilihat dari empat pilar demokrasi menurut kacamata Menkopolhukam Mahfud MD, hanya pers yang sehat dan bisa diandalkan dari ke empat pilar demokrasi Indonesia yang selalu memberi cambuk kepada kekuasaan (merdeka.com, 26/06/2013).
Komentar