Pilar Demokrasi Kian Terancam

Oleh: Akmal Lule, Jurnalis

Kasus kekerasan terhadap wartawan yang berujung di ranah hukum sering ditemukan di Indonesia, termasuk di Maluku Utara. Intimidasi, bahkan ancaman oknum tertentu terhadap wartawan masih sangat rawan terjadi. Kasus pemukulan terhadap Nurkholis Lamaau contohnya.

Opini Hirup Debu Batu Bara Dapat Pahala penyebabnya. Karya redaktur Cermat.co.id, media partner Kumparan ini dianggap merugikan kepentingan politik oknum pejabat. Serupa dialami Ketua Komunitas Wartawan Tidore Mardianto Musa. Mardianto dianiaya seorang kontraktor hingga mengalami luka sobek tujuh jahitan di pipi kiri.

Tidak hanya oknum “bertangan besi” kepada wartawan, menghalang-halangi saat wartawan menjalankan tugas jurnalistik kerap terjadi. Bahkan ada ancaman yang lebih sadis dan brutal kalau mengorek kasus tertentu. Ada pula yang memilih cara-cara halus tapi sebenarnya boleh dibilang membunuh psikologi.

Kalau dipukul sampai memar dan luka-luka sebagian pihak beranggapan itu sudah biasa. Sering terjadi. Kekerasan verbal dan fisik semacam ini oleh Johan Galtung Singkatnya, kekerasan adalah setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural atau spiritual, juga perilaku, sikap, kebijakan atau kondisi yang melemahkan, mendominasi atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain (Jurnal Internasional, Vol 6 No 1 Linda Dwi Eriyanti, repository.unej.ac.id, 2017).

Tak asing lagi terdengar di telinga publik kasus yang menimpah wartawan di Indonesia. Kasus-kasus tersebut tak bikin nyali wartawan kendor. Keberanian para pemburu informasi ini kian tertancap, makin terbentuk dan tak pernah mundur. Apalagi wartawan berada pada jalan yang benar.

Bill Covach dalam bukunya “Sembilan Elemen Jurnalisme” menegaskan, kewajiban pertama jurnalisme berpegang pada kebenaran. Kebenaran bersifat wajib yang harus disampaikan wartawan ketika membuat berita. Apapun bentuknya dan yang ditemukan di lapangan saat meliput. Covach menyebutnya kebenaran praktis dan kebenaran fungsional.