Opini
Masalah Sofifi atau Masalah di Sofifi

Penulis: Ummulkhairy M. Dun
Sekretaris Umum KOHATI HMI Cabang Ternate
Orang-orang hampir mengiranya mati, yang hidup di sekitarnya pun susah tumbuh. Asbab susah tumbuhnya karena mereka senang berdiam diri. Mereka selalu bergurau bahagia saat berkantor di Sofifi. Menyelesaikan jam kantor, lalu melupakan ada Sofifi di yang belum dibuat 'layak'. Kala itu, pada tanggal 4 Oktober tahun 1999 Maluku Utara menjadi provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Maluku. Di bagian Utara dari Kepulauan Maluku ini mulanya memiliki Kabupaten Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Tengah.
Masyarakat Maluku Utara dan masyarakat Halmahera Tengah menyambut riang atas penyatuan dua kabupaten ini menjadi satu provinsi. Dengan hadirnya Maluku Utara sangat berdampak baik atas kehidupan masyarakat. Dampak baiknya secara praktis berupa kemudahan masyarakat dalam melakukan urusan-urusan administrasi tidak harus menyeberang ke Kota Ambon sebagai ibu kota Provinsi Maluku.
Berpisah dari daerah pemilik sapaan Nyong dan Nona ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2003. Melalui regulasi tersebut Kota Ternate ditetapkan sebagai ibu kota dari provinsi dengan khas kesultanan itu. Ternate pun mulai mengalami perubahan-perubahan dari aspek pembangunan baik secara fisik maupun non fisik. Hingga sampai pada tanggal 4 Agustus 2010, Ternate diharuskan meninggalkan statusnya sebagai ibu kota. Ibu kota Maluku Utara resmi dialihkan ke daratan Halmahera, yang dalam laman resmi malutprov.go.id menyebutkan tempat ibu kota baru itu merupakan pulau terbesar di provinsinya.
Daratan Halmahera sebagai sasaran pindahnya ibu kota Maluku Utara, saat ini terlihat hampir mati oleh masyarakat sekelilingnya. Telah disebutkan sebelumnya, sejak 2010 Sofifi belum dipantaskan dengan baik statusnya sebagai ibu kota Maluku Utara. Hingga saat ini, percikan kejantanan Sofifi tidak terpampang. Mulanya, Sofifi didominasi oleh pemandangan hijau yang sangat nyaman dipandang. Dominasi pohon padanya, tidak menggelitik mereka untuk menciptakan perubahan layaknya ibu kota. Mereka yang berkewajiban menyulap Sofifi sebagai ibu kota, selalu mengalami degradasi ide di setiap periode.
Padahal, tahun 2010 sudah diklasifikasi sebagai bagian dari era digital. Jika mereka memahami makna digital dengan baik, maka tidak akan kita temukan kolom “Tentang Maluku Utara” dalam website mereka (malutprov.go.id) yang hanya memuat dua paragraf penjelasan mengenai provinsi ini. Apapun alasannya, era digital seyogianya dimanfaatkan secara apik oleh mereka dalam memantaskan bahwa Sofifi memiliki marwah ibu kotanya melalui ide inovasinya.
Harari pun telah memastikan dalam bukunya “21 Lessons; 21 Adab untuk Abad 21 tentang ciri manusia yang hidup di era digital ini harusnya tertantang melakukan inovasi atau hal-hal kebaruan bagi kelangsungan hidupnya. Ini berarti, Sofifi menjadi korban atas ketidakmampuan mereka dalam menciptakan hal-hal baru. Sehingga tidak heran jika pengelola website yang berisikan dua paragraf, dianggap gagal menjadi manusia yang hidup di era sekarang.
Pembangunan yang tidak masif juga dengan penobatan memilukan disematkan padanya sebagai sebuah kelurahan di daratan Pulau Halmahera itu, keadaannya memprihatinkan. Sofifi dibangun tidak serius, pembangunannya secara fisik tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Padanya, orang-orang hanya singgah. Kepadanya juga, orang-orang tidak selalu bisa menggantungkan kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan. Sebagian dari kami pun berasumsi bahwa Sofifi belum layak menjadi ibu kota. Kesalahan tidak datang dari kondisi geografinya melainkan dari mereka yang tidak memahami posisi Sofifi.
Selain dibangun tidak serius, penobatan sebagai satu-satunya ibu kota di Indonesia yang masih berstatus kelurahan menjadi kuat bahwa Sofifi memang tidak cocok menjadi ibu kota. Tidak cocok menjadi sebuah ibu kota memunculkan sebuah pertanyaan apakah ini masalah Sofifi atau masalah di Sofifi? Pertanyaan ini dimunculkan atas substitusi dari sebuah opini yang dimuat media Kompas yakni “Masalah Papua atau Masalah di Papua”. Ini menjadi tamparan keras bagi mereka, kenapa ketidakjelasan Sofifi sebagai ibu kota tidak diperjuangkan dengan tegas?
Komentar