Opini

Masalah Sofifi atau Masalah di Sofifi

Pemberitaan terakhir datang dari detikcom tentang perintah Presiden Jokowi kepada Mendagri Tito Karnavian dalam menyelesaikan masalah Sofifi. Perintah itu berdasar pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menetapkan Sofifi menjadi kawasan khusus ibu kota Maluku Utara. Setelah pemberitaan itu beredar, tidak memberikan dampak positif dalam mengatasi masalah Sofifi dan masalah di Sofifi. Masalah Sofifi tidak mampu digelorakan oleh mereka kepada pemerintah pusat. Mereka terlalu lemah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kejelasan Sofifi. Entah lemah karena tidak memiliki kemampuan diplomasi yang baik atau justru tidak memiliki rasa cinta atas daerahnya sehingga tidak ada keberanian untuk memperjuangkan Sofifi.

Jika ketakutan menjadi alasan yang fundamen, maka masyarakat dituntut berani untuk tidak memperjuangkan mereka kelak sebagai penanggung jawab atas daerah ini. Tidak layak bagi mereka mengatasnamakan bagian dari Maluku Utara sedangkan masalah Sofifi saja pada posisi yang stagnan. Hal ini sangat mengherankan sebab Maluku Utara memiliki potensi alam melimpah dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan negara. Salah satunya adalah potensi pertambangan yang mendominasi di wilayah moloku kie raha dan dipastikan negara mendapatkan keuntungan darinya.

Kontribusi kami sangat jelas, tapi kenapa ibu kota kami tidak diperjelas? Apakah kami akan diperhatikan ketika kami memberontak seperti saudara-saudara kami di Papua? Kolaborasi yang diam di tempat antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat menyayat hati kami. Sehingga sebagian dari kami pasti menginginkan adanya perubahan struktural baik di daerah maupun di pusat untuk masa depan Sofifi dan negeri ‘konoha’ ini.

Sama halnya dengan masalah Sofifi, masalah di Sofifi pun turut mendukung ketidakjelasan Sofifi sebagai ibu kota. Di Sofifi, pembangunan fisik telah dilangsungkan. Pembangunan tersebut di antaranya berupa Kantor Gubernur beserta OPD, perumahan ASN, tempat ibadah dan lainnya. Pembangunan fisik ini idealnya menjadi solusi atas sebagian masalah yang sedang dihadapi.
Masalah dapat dipahami sebagai praktik-praktik yang menghambat kehidupan masyarakat. Sehingga bagi James E. Anderson, kebijakan sosial ditujukan pada praktik sosial yang menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan serta diperolehnya sebuah nilai. Lebih lanjut olehnya bahwa kebijakan sosial ini dapat dilakukan atau tidak dilakukan oleh aparat-aparat serta badan pemerintah. Olehnya itu, pembangunan sebagai solusi melalui kebijakan publik hanya dapat dilakukan bagi sebagian mereka yang berpikir.

Pembangunan fisik di Sofifi sebagai bagian dari kebijakan publik yang tidak maksimal. Pasalnya, kehadiran bangunan-bangunan tersebut tidak mampu mencapai tujuan dibangunnya bangunan itu. Begitu juga dengan nilainya yang tidak terasa pasca pembangunan. Sebagai contoh, perumahan ASN yang ada di Sofifi belum mampu mengikat para ASN untuk menetap di sana. Artinya, rumah yang difungsikan sebagai tempat tinggal masih jauh dari praktik-praktik para ASN.

Hal tersebut senada dengan informasi dari media Tandaseru, yang memaparkan bahwa rumah dinas Ketua DPRD Provinsi dilabeli dengan stiker jualan tanah. Katanya, rumah dijual itu dipastikan karena sudah lama tidak ditempati. Selain itu, banyak rumah milik pemerintah diberi tanda “X”. Ini berarti tujuan dan nilai dari pembangunan tidak tercapai. Dengan demikian, kegagalan pembangunan di Sofifi dan ketidakjelasannya sebagai ibu kota diprakarsai oleh praktik-praktik jahat “mereka”

Selanjutnya 1 2
Penulis:

Baca Juga