Opini

Jalan Instan Menuju Parlemen

                                                       Rudi Umar
                                                 Pemuda Sangaji

KITA baru saja melewati pemilihan umum serentak pada 14 Februari kemarin dan diantara kontestasi pertarungan politik terlihat wajah baru tampil sebagai pemenang. Meskipun sebagai fakta politik, kita mengakui bahwa terjadinya sirkulasi elite sehingga kekuasan tidak hanya terpusat pada orang lama (incumbent), apalagi selama menjadi respresentasi dari rakyat, sebagian besar publik masih meraba-raba sejauh mana progres kinerja dalam mengawasi kebijakan terhadap masyarakat.

Pertarungan pileg khususnya di dapil Ternate Utara bisa jadi menyiratkan adanya tanda kecemasan sekaligus kekhawatiran. Cemas karena dari sebagian besar perwakilan yang bakal menuju parlemen masih minim rekam jejak dalam memori koletif masyarakat. Kecemasan ini juga memicu rasa khawatir terhadap nasib ke depan, mengingat, di antara para pendatang baru yang masuk ke parlemen sebagian besar belum juga meyakinkan masyarakat, baik dari aspek pengalaman maupun melalui pikiran-pikiran visioner yang tersentuh oleh publik. Persoalan mendasar tersebut itulah yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan: apakah akan terciptanya politik harapan atau sebaliknya tergelincir kembali pada krisis legitimasi publik?

Fenomena unik politik kali ini, begitu tergambar dalam benak publik bagi mereka yang berhasil keluar sebagai pemenang nampak bersulang gembira menjadi bentuk perayaan euforia yang juga turut dinikmati oleh tim sukses. Bahwa politik selalu saja diartikan bedampak hubungan timbal balik, seolah-olah klaim kerja kerja politik praktis memberikan sebuah kapastian terhadap pundi-pundi keuntungan melalui politik balas budi. Dengan begitu, diksi politik "hanya ada kepentingan abadi" terjalin dalam relasi secara parsial.

Sementara kepentingan dalam menunjang pemenuhan kebutuhan yang tejangkau secara kolektif sering kali diletakan pada keadaan yang dinilai dalam situasi pengecualian. Bukan karena dibutuhkan, maka itu diperioritaskan, tapi karena alasan didesak, dengan begitu dipertimbangkan.

Sebagai warga negara yang telah menyerahkan mandat, maka perlu merawat kewarasan dari terpaan badai politik pragmatis. Bahwa menjadi wakil rakyat bukan atas dasar keinginan semata, tapi juga didasarkan pada garis perjuangan ideologis dengan prinsip menjamin penegakan keadilan dan kesejahteraan. Sebagaimana yang menjadi keinginan kita bersama agar ruang parlemen tidak sekedar tempat mendulang status sosial dan merubah life style di kemudian hari. Sejatinya parlemen ialah tempat memastikan kegelisahan terhadap jerit-tangis rakyat mampu diabstraksikan oleh hati dan pikiran dengan cara menghasilkan keputusan secara kongkrit. Dengan demikian, rakyat yang notabene adalah presentasi suara murni berhak menguji mereka yang dipercaya sebagai representasi dari suara.

Baca juga:

Pantau PSU, Bawaslu Ternate Apresiasi Desk Pemilu

Wakil Maluku Utara di Ajang Puteri Indonesia 2024 Undur Diri, Ini Sosoknya

Kepala Disdukcapil Ternate Resmi Dilantik, Begini Pesan Sekda

Kita juga perlu wasapada terutama kebiasaan politik menggunakan cara-cara instan seperti mengandalkan kekuatan modal. Karena hal ini hanya akan menguntungkan segelintir orang. Yang tidak punya cukup modal hanyalah kontestan yang ikut ramai, sekedar penyumbang suara, tak jauh beda dengan sapi perah. Kita menginginkan pendidikan politik menjadi kebiasaan dalam merebut simpati pemilih. Karena cara inilah yang sebenarnya memberikan rasa persamaan dan kesetaraan antar sesama. Yang diutamakan ialah gagasan dan bukan efek dari nilai saldo.

Selanjutnya 1 2
Penulis:

Baca Juga