Fofa

Maluku Utara memiliki sumber daya laut melimpah. Kekayaan perikanan dan kelautan menjanjikan ini bukan berarti komunitas nelayan hidupnya makmur. Mereka tergolong nelayan kecil atau tradisioanal, dan ini dapat dilihat pada penggunaan alat tangkap diantaranya perahu sampan, jaring, pancing, alat panah ikan dan bubu atau igi dalam bahasa lokal Maluku Utara.
Muhammad Jen Tidore, nelayan desa Kabau, Kabupaten Kepulauan Sula mengatakan, alat tangkap nelayan yang selama ini digunakan sama sekali tidak merusak kehidupan bawah laut. Karena rata-rata nelayan menggunakan alat tangkap sederhana misalnya seperti soma (jarring), mangail (pancing), batuda (pancing tunda) dan lainnya.
Selain itu, dia juga menggunakan alat tangkap yang dalam bahasa Sula disebut Fofa atau bubu. Fofa merupakan alat tangkap ikan berbentuk corong disimpan di lautan dengan kedalaman 10-50 meter dan dibiarkan 4-5 hari agar ikan terperangkap, kata Jen Tidore. Bubu (Fofa) adalah alat tangkap yang umumnya dikenal dikalangan nelayan, berupa jebakan, dan bersifat pasif (Rahman, 2017).
Fofa (bubu) terbuat dari rotan, bambu, kayu, tali hutan, tali gamutu (tali ijuk aren) dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak bisa keluar dan batu sebagai pemberatnya, kata Jen Tidore. Prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan, sehingga ikan tersebut terperangkap di dalamnya, alat ini sering diberi nama fishing pots atau fishing basket (Brandt, 1984)
Jen Tidore atau yang biasanya disapa om Pita adalah salah satu nelayan yang masih kekar pendiriannya menggunakan alat tangkap (fofa). Alat tangkap fofa ini sudah hampir punah.
Punah bukan karena bahan-bahan pembuatan fofanya yang habis. Miskpun bahanya seperti rotan, tali ijuk aren (tali gamutu) sulit ditemukan, akan tetapi bisa saja digantikan dengan kawat dan tali yang bisa dibeli di toko.
Punah, dan akan benar-benar mengalami kepunahan jika pengetahuannya atau cara pembuatannya tidak lagi dipelajari oleh generasi. Sebab di desa inipun hanya tersisa dua orang yang masih aktif dan bisa dikatakan mereka adalah generasi terakhir yang menggunakan fofa sebagai alat tangkap ikan. Kedua orang itu selain Jen Tidore, dan satunya lagi adalah Sarfudin Tidore.
Dia menjelaskan, alat tangkap fofa ini pun berfungsi baik untuk melindungi ekosistem laut; tidak merusak terumbu karang dan ikan yang terperangkap pun hanya berukuran besar. Sebab, memiliki lubang-lubang kecil dan ikan berukuran kecil dapat keluar masuk dengan bebas. Sedangkan ikan berukuran besar akan terjebak dan tidak dapat keluar.
Baca juga:
Ghifari: Terima Kasih Warga Tobona, Salut untuk Penyelenggara dan Aparat
Kunci 5 Kursi DPRD, Nasdem Ternate Cetak Sejarah di Era Kepemimpinan Tauhid
Filosofi Fofa
Alat tangkap (fofa) ada filosofisnya, katanya. Mengapa bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya bukan besi, kawat, dan lainnya yang jauh lebih kuat. Melainkan bahan-bahannya diambil langsung dari hutan yang masih segar dan alami. Dan mengapa harus memiliki lubang-lubang kecil sebagai jebakan agar ikan sulit menemukan pintu untuk keluar.
Menurut Jen Tidore, pertama, proses pembuatan fofa membutuhkan bahan-bahan seadanya, tidak butuh bahan yang banyak. Artinya dari segi kebutuhan peralatan yang diambil dari hutan seturut kebutuhan saja. Rotan, kayu, bambu, tali hutan, tali gamutu (tali ijuk aren) yang alami agar kerangka fofa bertahan lama didasar laut dan tidak merusak ekosistem.
Sama halnya dengan kita manusia, tulang dan otot-otot tubuh akan jauh lebih sehat bila makanan yang kita konsumsi masih alami. Bahkan bisa dibilang mengambil hasil hutan pun sesuai kebutuhan, tidak melebihi batas dan tidak kurang. Maka, secara tidak langsung kita telah ikut mendorong menjaga pelestarian hutan.
Kedua, lubang-lubang kecil pada alat tangkap fofa, katanya, mengartikan bahwa mengambil hasil laut tidak boleh berlebihan atau ikan-ikan yang layak dikonsumsi saja. Tidak membunuh ikan-ikan kecil seperti alat tangkap modern, dan fofa tidak dapat merusak kehidupan bawah laut. Alat tangkap jenis fofa (bubu) ini, katanya, mengartikan bahwa memanfaatkan hasil hutan dan kekayaan laut tidak boleh melebih batas.
Dia menjelaskan, sumber daya alam bukan hak milik generasi kita sekarang ini. Ada generasi berikutnya yang berhak menikmatinya di masa depan. Atau dengan kata lain, kekayaan laut yang kita nikmati sekarang ini hanyalah dipinjam pakai oleh anak-cucu kita, dan tujuannya adalah agar supaya anak-cucu kita juga dapat menikmatinya secara terus-menerus.
Inilah yang disebut kehidupan yang adil. Adil dalam artian, apa yang kita nikmati sekarang ini harus dinikmati juga oleh anak-cucu; bila kita merusaknya, maka, sama berartinya kita merusak kehidupan mereka di masa depan nanti, katanya.
Fofa dan Ancaman Kepunahan
Jen Tidore menjelaskan, saya melihat orang-orang sekarang ini begitu berlomba-lomba mengejar kepentingan sesaat, berkeinginan kuat mendapatkan hasil maksimal dan cepat tanpa memikirkan dampak buruknya. Atau dengan kata lain, hasrat ingin memiliki, menguasai, saling merebut harta akibatnya sering terjadi pertengkaran. Friedrich Nietzsche menulis, aku mencintai hutan, tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak orang bernafsu.
Jen Tidore mengatakan, akibat hasrat ingin memiliki dan menguasai sehingga yang dipikirkan oleh orang-orang adalah menggunakan peralatan tangkap modern. Sebenarnya peralatan tangkap ikan modern juga bagus karena hasilnya maksimal dan dapat keuntungan besar pula. Akan tetapi, berdampak pada dua hal penting: pertama, adalah dampak buruknya terhadap kehidupan laut, dan kedua, kita akan meninggalkan (kehilangan) alat tangkap warisan nenek-moyang kita.
Pada konteks ini, kita manusia justru bersahabat baik dengan sebuah “kejahatan paling kejam” yaitu meninggalkan warisan kebudayaan. “Meninggalkan” kebudayaan dan lebih cenderung mengutamakan pengetahuan modern—apalagi tanpa adanya etika yang kuat. Dan implikasi secara universalnya adalah manusia akan mengalami keterpisahannya dengan alam.
Kehidupan etik sebagai landasan hidup harmonis terperangkap oleh watak angkuh, buas, saling menguasai dan menaklukkan baik sesama manusia maupun alam demi kepentingan sesaat. Dan di sana kebudayaan (ide maupun artefak) pun akan terancam musnah di telan zaman. Inilah letak puncak “kebodohan dan kejahatan” yang dilakukan oleh manusia di abad ini.
Komentar