Opini

Perguruan Tinggi dalam Bayang-Bayang Tambang

Martin Denisse Silaban. Foto: Ist

Bayangkan perguruan tinggi sebagai mercusuar yang tegak berdiri di tengah samudra kegelapan, memancarkan cahaya pengetahuan untuk menuntun generasi melalui badai ketidaktahuan menuju pantai harapan dan kemajuan. Mercusuar itu tak hanya menjadi simbol harapan, tetapi juga penjaga moral, memastikan perjalanan menuju keadaban tetap berada pada jalurnya. Namun, kini bayangkan jika mercusuar tersebut ditawari untuk mengganti cahaya pengetahuannya dengan gemerlap lampu sorot dari dunia tambang — sebuah tawaran yang menggoda, sekaligus sarat risiko.

Pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi ibarat mengajak institusi akademik memasuki medan yang menggiurkan, namun penuh dengan jebakan etis. Di satu sisi, sumber pendapatan baru dari bisnis tambang dapat menopang sektor pendidikan, memperkuat riset, dan meningkatkan fasilitas pembelajaran. Di sisi lain, ada ancaman serius terhadap independensi akademik, integritas ilmiah, dan komitmen moral terhadap keberlanjutan lingkungan. Perguruan tinggi harus mempertimbangkan, apakah ia mampu tetap menjalankan perannya sebagai garda depan kritik sosial dan penjaga etika, atau malah terperosok dalam konflik kepentingan yang membungkam suara kritisnya? Apakah perguruan tinggi akan tetap menjadi simbol kebijaksanaan dan penggerak perubahan, atau justru kehilangan arah dalam kilau keuntungan bisnis yang melenakan?

Penjinakan Fungsi Perguruan Tinggi dalam Menjaga Independensi Akademik

Pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi, yang kini sedang dibahas dalam Rapat Pleno Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan akademisi. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kontribusi perguruan tinggi terhadap perekonomian negara dan memastikan keberlanjutan sektor pendidikan melalui sumber daya finansial baru. Namun, pengelolaan tambang oleh lembaga pendidikan tinggi menyimpan berbagai tantangan serius yang perlu diperhatikan.

Salah satu kekhawatiran utama adalah tergerusnya fungsi kritis perguruan tinggi sebagai pilar independen dalam tata kelola kebijakan negara. Selama ini, perguruan tinggi memiliki mandat mulia, antara lain menghasilkan ilmu pengetahuan, merangsang pemikiran kritis, dan menjadi mitra strategis masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik. Namun, keterlibatan dalam bisnis tambang berpotensi membawa institusi pendidikan tinggi ke dalam pusaran konflik kepentingan yang berbahaya.

Pendapatan besar dari sektor tambang dapat menempatkan perguruan tinggi dalam posisi rentan terhadap ketergantungan finansial pada industri tertentu. Ketergantungan ini bisa menumpulkan daya kritis perguruan tinggi terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya alam. Selain itu, hal ini juga dapat merusak marwah akademik yang seharusnya bebas dari intervensi ekonomi maupun politik. Bagaimana mungkin perguruan tinggi yang turut menikmati keuntungan dari tambang tetap dapat bersuara lantang ketika kebijakan pertambangan justru merugikan rakyat atau lingkungan?

Dalam konteks ini, “bagi-bagi” kue ekonomi ini berisiko menjadikan perguruan tinggi lebih terikat pada kepentingan ekonomi pemerintah. Perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang berisiko kehilangan jarak yang sehat dalam interaksi dengan kekuasaan politik, sehingga bisa menjadi instrumen yang lebih patuh terhadap kepentingan ekonomi dan alat untuk memperkuat status quo yang menguntungkan pemerintah dan sektor bisnis.

Perguruan tinggi yang selama ini diakui sebagai pusat pemikiran bebas dan riset inovatif, akan menghadapi tekanan besar untuk mengarahkan fokus mereka pada penelitian yang sejalan dengan kepentingan industri tambang. Riset yang berbasis pada tambang berisiko mengabaikan bidang-bidang lain yang kurang menguntungkan secara finansial, seperti penelitian dasar di bidang humaniora, ilmu sosial, dan sains murni. Hal ini berpotensi meminggirkan peran penting perguruan tinggi dalam menyuarakan isu-isu sosial, etika, dan keadilan yang seharusnya menjadi inti dari visi pendidikan tinggi di Indonesia.

Jika fungsi kritis perguruan tinggi tereduksi, institusi ini tak lagi menjadi ruang bebas yang berdiri di atas prinsip keadilan dan kebenaran ilmiah. Sebaliknya, perguruan tinggi berisiko berubah menjadi entitas yang jinak, tunduk pada kepentingan ekonomi yang seharusnya ia kritik. Dalam skenario ini, yang terancam bukan hanya independensi akademik, tetapi juga kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi sebagai penjaga moral dan intelektual bangsa.

Selain itu, risiko lingkungan yang ditimbulkan oleh pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi juga patut diwaspadai. Praktik pertambangan yang sering kali merusak ekosistem, menyebabkan pencemaran, dan merusak sumber daya alam bisa sangat bertentangan dengan komitmen perguruan tinggi terhadap keberlanjutan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Meskipun ada potensi penerapan teknologi ramah lingkungan dalam sektor pertambangan, dalam banyak kasus, praktik bisnis tambang lebih mengutamakan keuntungan finansial ketimbang menjaga kepedulian terhadap lingkungan. Jika perguruan tinggi yang memiliki reputasi dalam penelitian dan kebijakan lingkungan terlibat dalam praktik pertambangan yang merusak ekosistem, reputasi mereka bisa tercemar.

Mempertahankan Kebebasan Akademik di Tengah Tarikan Dunia Bisnis

Mengelola bisnis tambang memang menawarkan potensi keuntungan finansial yang besar bagi perguruan tinggi. Namun, keuntungan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Di balik angka-angka pendapatan yang menggiurkan, terdapat tanggung jawab besar yang tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi harus merenungkan secara mendalam dampaknya terhadap independensi akademik, potensi konflik kepentingan yang dapat menggerogoti integritas, serta ancaman kerusakan lingkungan yang bisa mencoreng misi luhur pendidikan.

Perguruan tinggi bukanlah sekadar institusi ekonomi, melainkan benteng terakhir yang menjaga nilai-nilai intelektual, etika, dan keberlanjutan. Menyerahkan diri pada godaan tambang tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya sama saja dengan menggadaikan prinsip-prinsip mendasar yang menjadi dasar berdirinya perguruan tinggi.

Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga kebebasan akademik dan memperjuangkan keadilan sosial, perguruan tinggi harus menjaga jarak dari godaan kepentingan ekonomi yang dapat menggoyahkan misi luhur mereka. Perguruan tinggi tidak hanya berperan sebagai pendukung perekonomian negara, tetapi juga harus tetap mempertahankan peran sentralnya sebagai wadah kebebasan berpikir serta motor penggerak dalam melahirkan inovasi ilmiah.

Di tengah krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan dan kompleksitas persoalan sosial yang terus berkembang, perguruan tinggi harus berdiri teguh sebagai penjaga nilai-nilai ilmiah, penggerak perubahan sosial, serta pilar utama dalam membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebagai institusi yang memegang tanggung jawab untuk menuntun arah perkembangan peradaban, perguruan tinggi dituntut untuk menjadi teladan dalam menjunjung tinggi integritas. Mereka harus memimpin dengan menghasilkan solusi berbasis pengetahuan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga secara fundamental mengutamakan kesejahteraan umat manusia dan keberlanjutan lingkungan.

Layaknya cahaya di puncak menara, perguruan tinggi harus tetap memancarkan sinar terang yang menuntun bangsa menuju kemajuan. Jangan sampai kilau emas tambang meredupkan cahayanya dan membiarkan bangsa terjebak dalam gelapnya pragmatisme. Pendidikan tinggi harus berfungsi sebagai pendorong kemajuan ilmu pengetahuan, bukan hanya sebagai instrumen ekonomi.

Penulis:

Martin Denisse Silaban
(Peneliti di SHEEP Indonesia Institute & Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Kompas.id, Tempo, Mongabay, Solopos, Lampung Post, Suara Merdeka, Green Network Asia, Tropis.id, Mudabicara.id, rmol.id, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co)

Penulis:

Baca Juga