DPD RI

Sultan Ternate Uraikan Solusi Konflik Perusahaan vs Masyarakat Adat!

Anggota DPD RI Hidayat M. Syah saat melakukan Reses di Desa Mandaong Kecamatan Bacan Selatan || Foto: Udhy/Halmaherapost

Konflik antara masyarakat adat dan perusahaan di wilayah kaya sumber daya seperti Halmahera Selatan terus berlangsung tanpa solusi konkret. Namun, anggota DPD RI Komite I, Hidayat M. Syah, menyodorkan sejumlah terobosan untuk meredam ketegangan itu, termasuk skema kontribusi perusahaan dan penguatan peran lembaga adat.

Dalam agenda reses di Desa Mandaong, Kecamatan Bacan Selatan, Sabtu, 5 April 2025, Hidayat menegaskan bahwa setiap aktivitas pembangunan di wilayah adat harus melalui konsultasi dengan lembaga adat. Menurutnya, pendekatan dialogis adalah kunci untuk meredakan potensi konflik di lapangan.

“Negara dan perusahaan wajib berkonsultasi dengan lembaga adat sebelum memulai proyek apa pun di atas tanah adat. Ini soal penghormatan terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya tegas.

Tak berhenti di situ, Hidayat juga mengusulkan agar perusahaan yang beroperasi di wilayah adat menyisihkan 0,5 persen dari keuntungan mereka untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

"Dana itu bisa dimanfaatkan untuk membiayai pendidikan anak-anak adat, dari S1 hingga S3," jelasnya.

Solusi ini, kata Hidayat, bukan sekadar soal tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi juga bagian dari upaya membangun keadilan sosial yang berkelanjutan. Ia menyoroti banyaknya konflik agraria yang dipicu oleh proyek-proyek tanpa persetujuan masyarakat adat.

Sementara itu, praktisi hukum dan perwakilan pemuda Bacan, Maulana Patra Syah, SH., M.H., mengamini usulan tersebut. Ia menambahkan bahwa Halmahera Selatan masih menghadapi persoalan agraria yang pelik akibat tumpang tindih klaim lahan antara warga dan perusahaan.

"RUU Masyarakat Adat harus hadir bukan hanya sebagai pengakuan, tapi juga sebagai solusi nyata atas konflik-konflik yang selama ini terjadi," kata Maulana.

Ia menekankan pentingnya Peraturan Daerah (Perda) sebagai instrumen formal untuk mengatur hak ulayat di masing-masing daerah. Menurutnya, pengakuan yang bersifat lokal dan kontekstual jauh lebih efektif dalam meredam konflik.

"Karakteristik hak ulayat berbeda-beda, jadi model pelaksanaannya harus asimetris. Tidak bisa disamaratakan," ujarnya.

Bagi Maulana, langkah ini sejalan dengan semangat otonomi daerah dan penghormatan terhadap kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. “Inilah wujud konkret keadilan sosial bagi masyarakat adat,” pungkasnya.

Penulis: Din
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga