Haji 2025
Kasus Demensia CJH di Halmahera Selatan, Praktisi Hukum: Bisa Berujung Pidana

Vonis demensia berat yang dijatuhkan kepada calon jemaah haji (CJH) asal Halmahera Selatan, Sahar Habib, menuai sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum.
Dugaan kelalaian dalam proses pemeriksaan kesehatan dinilai tidak hanya berimplikasi etis, namun juga bisa masuk ke ranah pidana.
Praktisi hukum Bambang Joisangadji menilai, diagnosis terhadap Sahar Habib patut dipertanyakan, mengingat indikasi minimnya pemeriksaan medis yang dilakukan oleh pihak terkait.
“Jika vonis demensia itu dijatuhkan hanya karena pasien tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan ringan, seperti tahun lahir, tanpa adanya tes lanjutan, maka hal ini jelas melanggar prinsip kehati-hatian dalam praktik medis,” ujar Bambang saat diwawancarai media, Jumat, 18 April 2025.
Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar teknis administratif dalam proses pemberangkatan haji, melainkan menyangkut hak dasar warga negara untuk menjalankan ibadah. Keputusan medis yang lemah secara prosedural dapat berujung pada penghalangan hak konstitusional.
Bambang menambahkan, kelalaian dalam diagnosis medis yang berakibat pada kerugian—baik materiil maupun immateriil—membuka ruang bagi gugatan hukum.
“Dokter dapat digugat secara perdata oleh pihak keluarga jika terbukti ada kelalaian yang menyebabkan kerugian. Bahkan, jika ditemukan unsur kesengajaan atau kelalaian berat, maka bisa berujung pada proses pidana,” tegasnya.
Selain aspek hukum, Bambang juga menekankan pentingnya penegakan etika kedokteran. Ia mendorong agar keluarga Sahar Habib segera melaporkan kasus ini ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Jika diagnosis yang dijatuhkan terbukti tidak sesuai dengan standar profesi, maka dokter dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran keras hingga pencabutan izin praktik,” katanya.
Dalam kasus ini, Bambang menegaskan bahwa Kementerian Agama hanya berperan sebagai penerima data dari sistem istithaah kesehatan dan tidak memiliki kewenangan untuk membantah hasil diagnosis medis.
“Kemenag Halmahera Selatan hanya menindaklanjuti hasil pemeriksaan kesehatan yang diterbitkan oleh tim medis. Maka, tanggung jawab penuh ada pada pihak medis yang mengeluarkan surat keterangan. Jika diagnosis itu tidak sahih, maka mereka dapat dimintai pertanggungjawaban hukum,” ucapnya.
Lebih lanjut, Bambang menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Aturan tersebut secara tegas mengatur standar dan prosedur pemeriksaan kesehatan bagi calon jemaah haji.
“Peraturan ini sudah jelas mengatur mekanisme penetapan istithaah, mulai dari persyaratan, tahapan pemeriksaan, hingga penilaian kelayakan kesehatan. Jika proses diagnosis tidak mengikuti ketentuan tersebut, maka hasilnya dapat dinilai cacat hukum,” jelasnya.
Bambang pun mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap regulasi tidak hanya berdampak pada aspek etik, tetapi juga dapat menjadi alat bukti kuat dalam proses hukum jika menyebabkan kerugian bagi calon jemaah.
Komentar