Cendekia
Sherlyfikasi: Politik Mimikri Mendiang Benny Laos

Penulis: M. Nofrizal Amir (Akademisi FISIP UMMU)
=====================================
Orang pertama kali belajar dengan meniru. Dalam pengandaian antropologisnya, hidup dan tumbuh-kembang manusia diperoleh dengan meniru. Aristoteles menyebut manusia itu homo mimesis (makhluk peniru). Manusia belajar berbicara, berjalan, buang air di kloset, dan kegiatan rutinitas lainnya, dihasilkan melalui proses peniruan.
Itu artinya, gaya, gaya rambut, gaya retorik, hingga gaya memimpin, semuanya adalah hasil tiruan. Outfit Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, saat berkantor, disebut meniru gaya artis Korea dalam film serial drakor di Netflix, atau tampilan kumis James Uang, Bupati Halmahera Barat, ia disebut secara satire oleh publik meniru gaya kumis ala pelawak legendaris almarhum Jojon.
Memang, tanpa perlu mencantumkan catatan kaki apalagi diverifikasi melalui aplikasi Turnitin, meniru outfit dan gaya kumis bukanlah suatu kejahatan plagiarisme. Sama halnya dengan gaya memimpin—meniru gaya kepemimpinan bukanlah suatu aib. Apa yang dilakukan Sherly Laos—terutama kebijakannya menganak-emaskan eks pejabat Morotai di lingkup birokrasi pun demikian adalah hasil tiruan.
Walaupun rotasi jabatan merupakan satu di antara banyaknya kebijakan yang telah dikerjakannya dalam waktu 100 hari kerja, namun rasanya perkara rotasi jabatan adalah yang paling banyak digonggong publik, tanpa perlu menyertakan daftar politisi PDI Perjuangan di dalamnya.
Siapa yang ditirunya? Sherly memang tak punya sejarah berpemerintahan. Ia hanya punya sedikit-banyak pengalaman mendampingi mendiang suaminya, Benny Laos, selama memerintah di Kabupaten Pulau Morotai. Sekalipun tanpa modal itu semua, Sherly jelas bukan kaleng-kaleng, mesin Provinsi Maluku Utara ia kendalikan, bukan Kabupaten/Kota yang terbatas fasilitasnya.
Dan atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, Sherly berhasil melewati 100 hari kerjanya dengan sejumlah dukungan fasilitas. Rumah dinas yang saat ini sedang direnovasi, speedboat sewaan, mobil dinas bermerk Alphard, Fortuner, dan Camry hingga ajojing; cuan besar yang masuk ke kantongnya lewat hasil sewa Hotel Sahid Bela yang kerap digunakan untuk urusan rapat kantoran Pemprov. Semua itu tanpa perlu menyinggung perusahaan tambang nikel miliknya yang berproduksi di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur dengan luas wilayah produksi mencapai 1.145 hektar.
Sekali lagi, siapa yang Sherly tiru perihal menempatkan eks pejabat Morotai dalam kabinetnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, sepertinya butuh nyali seribu dan ekstra hati-hati, jika tak mau kena delik dan berakhir di bui. Namun pertanyaan ini, jika secara jujur dijawab oleh publik Halmahera Barat, maka sosok mendiang suaminya, Benny Laos, adalah jawabannya.
Bagi publik Halmahera Barat, pengangkatan beberapa eks pejabat Morotai dalam lingkup birokrasi Provinsi Maluku Utara adalah deja vu juncto memorabilia Halmahera Barat empat tahun silam. Pepatah Prancis terkenal, l'histoire se répète (sejarah seperti selalu berulang) mungkin ada benarnya, apa yang dilakukan Sherly Laos di birokrasi Provinsi Maluku Utara hari ini, pernah dilakukan oleh James Uang di Halmahera Barat.
Tidak ada yang kebetulan, semua tentu punya awal cerita. Penempatan eks pejabat Morotai di Halmahera Barat pun punya kisahnya sendiri, bukan tanpa asbab yang tiba-tiba muncul begitu saja. Sederet fakta politik yang mengarah pada keterlibatan mendiang Benny Laos sebagai pendonor bagi James Uang saat mencalonkan diri sebagai calon bupati adalah causa prima-nya.
Ihwal kisahnya dimulai saat James Uang mengakui dirinya diperintah bertarung sebagai calon Bupati dan akan dibantu oleh mendiang Benny Laos. Sekalipun pengingkaran diucapkan mendiang Benny Laos, namun pengetahuan empirik publik terekam jelas melalui pengangkatan sejumlah pejabat made in Morotai, seperti Kepala ULP, Kadis PUPR, dan Ketua Tim Percepatan Penataan Kota Jailolo, serta kebijakan pinjaman daerah sebesar 208 miliar.
Sebuah fenomena oligarkis membumi di Halmahera Barat saat itu; ada struktur ekonomi politik yang lebih berpengaruh, ketimbang James Uang yang berkuasa di pemerintahan. Tanpa itu semua, M. Jain Kadir, Abubakar A. Rajak plus Abjan Sofyan, mungkin tak akan pernah bisa menambahkan jabatan di Halmahera Barat ke dalam daftar riwayat hidup mereka. Pun demikian berlaku bagi James Uang, bersama adiknya Yoram Uang, serta istrinya Mery Popala, tanpa bermaksud menafikan garis tangan mereka saat ini sebagai Bupati, Anggota DPRD Halbar, dan Anggota DPRD Provinsi.
Halmahera Barat empat tahun lalu dan Provinsi Maluku Utara di tahun 2025, sepertinya punya kemiripan, walau persisnya tentu tak sama. Kemiripannya terletak pada proses migrasi pejabat Morotai yang tak butuh waktu lama untuk menduduki jabatan strategis di lingkup birokrasi, sedangkan bedanya ada pada aras pengelolaan kekuasaan. Di Halmahera Barat, pengelolaan kekuasaan birokrasi dikontrol jarak jauh, sedang di Provinsi, tahulah siapa Gubernurnya, siapa tuannya.
Seperti Thales yang mempelajari catatan-catatan astronomis dan siklus Saros yang tersimpan di Babilonia untuk memprediksi terjadinya gerhana matahari. Pengelolaan birokrasi Halmahera Barat di tahun 2021 adalah lanskap bagus untuk memprediksi arah dan muara kebijakan rotasi pejabat di Pemprov yang berbasis Sherlyfikasi. Sebuah catatan yang hidup dalam kepala dan dada masyarakat Halmahera Barat.
Jika di Halmahera Barat punya Jain A. Kadir sebagai Kepala ULP, maka di Provinsi ada Hairil Hi. Hukum yang ditunjuk oleh Gubernur sebagai Plt Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa. Begitu pula, jika di Halmahera Barat ada Abjan Sofyan yang didapuk James Uang sebagai Ketua Tim Percepatan Penataan Kota Jailolo, maka di Provinsi pun sama pula orangnya, the only one Abjan Sofyan, pria yang terkenal dengan kata “tidur” itu, benar-benar laku di pasar tenaga ahli bernama tim percepatan.
Sekalipun statusnya diakui oleh Sekprov sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan Provinsi, namun pada akhirnya secara tragis diingkari oleh Gubernur. Dalam ilmu logika, ada hukum berpikir kontradiksi yang kurang lebih bunyinya seperti ini: “tidak mungkin sesuatu pada waktu yang sama adalah sesuatu itu dan bukan sesuatu itu”. Dalam konteks kedua jawaban yang bertentangan tersebut, tidak mungkin kedua-duanya benar dan tidak mungkin pula kedua-duanya salah. Itu artinya, ada pihak yang sengaja berbohong: bisa jadi Sekprov, bisa pula Gubernur.
Banalitas Kekuasaan Sherly
Selain grafik kunjungan kerjanya cukup tinggi ke Halmahera Barat, Gubernur Sherly juga dikenal cukup ramah dalam hal kebijakan yang menguntungkan bagi pembangunan Halmahera Barat. Bersama Halmahera Utara, kebijakan distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) didahulukan Sherly, bukan delapan Kabupaten/Kota lainnya yang nyatanya juga membutuhkan. Hal ini sampai-sampai bikin Walikota Tidore naik pitam, walau pada akhirnya tetap tiarap juga.
Pun demikian untuk program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), Halmahera Utara dan Halmahera Barat tak ketinggalan. Bersama Halmahera Timur, Sherly melalui Kepala Dinas Perkim Provinsi menyebut, memprioritaskan ketiga kabupaten ini sebagai penerima program RTLH. Tak cuma itu, anggaran Rp. 7,3 miliar diberikan Sherly untuk memperbaiki sejumlah jembatan yang terputus di dua daerah tersebut.
Halmahera Barat dan Halmahera Utara nampaknya jadi daerah penerima berkah terbanyak dibanding daerah lainnya. Sebagai daerah penyumbang terbesar suara pada pilgub kemarin, bolehlah menaruh curiga hal demikian yang menjadi alasan politisnya.
Realitas pemilihan gubernur yang membentuk keterbelahan, rasa-rasanya masih melekat dalam tempurung kepala Sherly hari ini. Frasa torang dan dorang sepertinya bukan sekadar lampiran, melainkan lembaran tebal berisi prolog berorientasi. Maka jangan heran, jika kritik tajam kerap menyasar tubuh politik Gubernur karena dianggap bias kognitif dalam berkebijakan; sebuah banalitas kekuasaan yang berpotensi menjadi endemi berkepanjangan.
Setali tiga uang, Halmahera Barat juga ditengarai jadi referensi dalam peniruan sistem rotasi jabatan ala Sherly. Rotasi jabatan di Halmahera Barat yang terbilang sukses dipraktikkan sesuai dengan kemauan kekuasaan yang disetir oleh mendiang suaminya, sepertinya mulai ditiru dan sedang diuji coba di birokrasi Provinsi. Sederet prestasi yang diukir oleh para serdadu eks pejabat Morotai saat menjabat di Halmahera Barat, diharapkan dapat diulangi di birokrasi Provinsi.
Fenomena ini dalam teori ekonomi dan bisnis disebut isomorfisme mimetik. Asumsinya begini, suatu perusahaan cenderung akan meniru struktur perusahaan lain yang telah terbukti sukses karena yakin, bahwa struktur organisasi tersebut bisa memberikan keuntungan yang sama jika diterapkannya.
Laju migrasi eks pejabat Morotai ke Sofifi untuk menduduki pos-pos strategis nun basah adalah fenomena isomorfisme mimetik. Hairil Hi. Hukum, Suriani Antarani, Anwar Husen, et.al adalah wajah-wajah isomorfisme mimetik sesungguhnya dalam struktur birokrasi provinsi. Orang-orang ini bukan tidak mungkin sudah mengetahui tempat duduknya di kantor Gubernur sebelum memilih melarikan diri dari Rusli Sibua di Morotai. Tinggal ditunggu, 8 ASN yang tersisa atau mungkin lebih yang belum mendapatkan tempat duduk, namun diprediksi masuk daftar antrean untuk mengisi pos-pos strategis lainnya, seperti Dinas Perkim, PUPR, Kesra, dan lainnya.
Praktik tiru-meniru ini bukan tanpa alasan, terlebih pada pos-pos penyerap anggaran besar. Selain patron-klien, kebijakan berorientasi sepertinya yang memotivasinya untuk berlaku demikian. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menancapkan kontrol ketat pada setiap kegiatan pembangunan, berupa proyek-proyek pemerintahan. Dan siapa lagi kalau bukan eks pejabat Morotai yang direkrut jadi serdadu.
Kepala Dinas PUPR mesti mewarisi mental Kadis PUPR Halmahera Barat. Begitu pula bagi Hairil Hi. Hukum, nyalinya harus terukur dan otaknya harus cemerlang dalam menentukan proyek miliaran, apakah melalui skema tender atau swakelola, seperti yang pernah diperankan oleh Jain A. Kadir di Halmahera Barat. Untuk ketua tim percepatan, Abjan Sofyan tak perlu diajari: ia jago soal-soal percepatan, apalagi dengan gaya khasnya yang terkenal stecu itu.
Trio ujung tombak yang bersentuhan dengan proyek-proyek miliaran memang harus gesit, cerdas, dan tahan banting dalam menerjemahkan maunya Gubernur. Saat Gubernur mengeluh rumah dinasnya bocor, sedot saja anggaran Rp 8,5 miliar dari kas daerah. Saat Gubernur curhat ada jamur hitam di ruang kerjanya, persetan dengan efisiensi, serap saja dari kas daerah, asalkan kesehatan paru-paru gubernur bebas dari infeksi. Ini penanda bahwa filosofi kepemimpinan karya Simon Sinek “pemimpin itu makan terakhir” tak termakan oleh Gubernur Sherly.
Kedua pengerjaan proyek itu, ditambah rehabilitasi rumah dinas wakil gubernur, serta pembangunan rumah tidak layak huni (RTLH) sebanyak 700 unit, semuanya dikerjakan melalui skema swakelola. Dari data yang dihimpun Malut Post, sedikitnya ada empat proyek yang pekerjaannya dilakukan dengan skema swakelola dengan angka mencapai Rp 38,1 miliar.
Oleh karena itu, doa saja tak cukup; butuh ikhtiar semua pihak, terutama untuk lembaga DPRD Provinsi. Interupsi secara santun dan penuh tata krama dibutuhkan, jika tidak mau ditelan hidup-hidup oleh netizen. DPRD harus bisa memastikan bahwa proyek-proyek besar ini tidak disalahgunakan menjadi modal dan instrumen dalam memperoleh, menambah, serta menimbun harta kekayaan kekuasaan Sherly melalui sistem berbasis Sherlyfikasi.
Bagi ASN lain yang tidak punya hubungan sejarah emosional, ideologis pun pragmatis, maka upaya cari muka nampaknya bukan jalan terbaik. Butuh tentengan dan gandengan politisi partai politik ex officio tim sukses sebagai penghubung. Sherly dengan gaya kepemimpinannya yang rada-rada menunjukkan watak otoriter, tidak boleh didekati dengan alis berkerut dan wajah cemberut. Mendekatinya butuh seni dan keahlian yang memukau – yang tidak dimiliki oleh ASN lain, semisal ahli dalam membela, menjilat pun memuji secara ugal-ugalan.
Walaupun dulu pernah berjanji akan menerapkan sistem meritokrasi dalam setiap rotasi jabatan, namun itu kan dulu. Jangan samakan Sherly yang dulu dengan Sherly yang sekarang, seperti lagu lawasnya Rinto Harahap, “lain dulu, lain sekarang”. Dulu meritokrasi, sekarang patron-klien berbasis Sherlyfikasi. Sebuah fenomena yang tidak hanya terjadi dalam masyarakat feodal, tetapi juga dalam masyarakat demokratis namun bercorak transaksional.(*)
Komentar