Parlemen
Dr. Graal Minta Pemerintah Prioritaskan Perumahan, Investasi, dan Perubahan Iklim di Maluku Utara

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar Sidang Paripurna ke-14 di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Sidang dipimpin oleh Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin, didampingi oleh Wakil Ketua I Ratu Hemas, Wakil Ketua II Yorris Raweyai, dan Wakil Ketua III Tamsil Linrung.
Salah satu agendanya adalah penyampaian laporan hasil kunjungan pengawasan oleh para anggota DPD RI di daerah.
Dalam sidang tersebut, Dr. Graal, Anggota DPD RI asal Maluku Utara, menyampaikan hasil pengawasan terkait implementasi kebijakan pemerintah pusat di daerah, khususnya dalam tiga isu strategis: perumahan dan kawasan permukiman, penanaman modal, serta pengelolaan perubahan iklim.
Dr. Graal mengawali laporannya dengan menyoroti persoalan perumahan yang belum layak huni di berbagai wilayah Maluku Utara. Menurutnya, berdasarkan hasil kunjungan ke sejumlah desa, masih banyak rumah warga dalam kondisi kumuh, tidak layak huni, dan rentan terhadap bencana.
“Kondisi ini saya temukan di Desa Pintatu (Kabupaten Halmahera Timur), Desa Siokona (Kota Tidore Kepulauan), Desa Soamaetek (Kabupaten Halmahera Utara), Desa Wayamiga, Desa Marabose, dan Desa Matuting Tanjung (Kabupaten Halmahera Selatan), serta desa-desa lainnya,” jelasnya.
Berdasarkan perhitungannya, Maluku Utara saat ini membutuhkan sekitar 55.000 unit rumah layak huni yang dilengkapi dengan fasilitas dasar dan sanitasi memadai.
Ia pun mendorong pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), untuk menyusun program pembangunan dan renovasi rumah dalam jangka pendek, menengah, dan panjang secara terencana dan berkelanjutan.
Sebagai anggota Komite II DPD RI, Dr. Graal juga menyoroti tantangan besar dalam aspek penanaman modal di Maluku Utara. Ia menyebut bahwa masyarakat lokal kesulitan memperoleh pekerjaan di perusahaan tambang yang beroperasi di wilayahnya sendiri.
“Warga Desa Marabose, misalnya, menyampaikan bahwa perusahaan tambang di Pulau Obi (Halmahera Selatan) kurang memberikan kesempatan kerja kepada tenaga lokal. Pemerintah perlu memastikan perusahaan memprioritaskan tenaga kerja warga negara Indonesia, khususnya masyarakat sekitar,” tegasnya.
Ia mendorong Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan ketat, serta mendorong program pembinaan dan pelatihan kompetensi agar warga lokal memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri tambang.
Tak hanya itu, ia juga mengangkat persoalan konflik lahan yang semakin sering terjadi antara masyarakat dan perusahaan tambang.
“Konflik seperti ini terjadi di Desa Sosol (Halmahera Utara), Desa Baburino (Halmahera Timur), dan Desa Bobo (Halmahera Selatan). Pemerintah harus memastikan bahwa lahan yang diberikan izin usaha tidak tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat atau hutan lindung,” imbuhnya.
Menurutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dalam proses perizinan untuk menghindari sengketa lahan.
Dampak lingkungan dari pertambangan juga menjadi sorotan utama. Dr. Graal mengungkapkan hasil penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako yang menunjukkan adanya kandungan logam berat dan arsenik dalam darah warga di sekitar kawasan tambang Weda, Halmahera Tengah.
“Ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan telah mencemari air, udara, dan tanah secara nyata. Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup harus meningkatkan pengawasan dan menegakkan regulasi lingkungan secara tegas,” katanya.
Di sisi lain, pelaku UMKM di berbagai desa juga mengeluhkan minimnya dukungan pemerintah. Menurut laporan Dr. Graal, pelaku UMKM, khususnya di sektor perikanan dan perkebunan, belum mendapatkan pembinaan memadai, termasuk dalam pengurusan sertifikasi halal.
“Misalnya, di Desa Panamboang dan Desa Wayamiga, para pelaku UMKM menyampaikan belum pernah mendapatkan pendampingan berkelanjutan dari pemerintah. Ini harus menjadi perhatian,” ujarnya.
Ia mendorong kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk aktif memfasilitasi UMKM melalui program pembinaan, akses pasar, inovasi produk, dan kemitraan berkelanjutan.
Dr. Graal menutup laporannya dengan menekankan kerentanan Maluku Utara terhadap perubahan iklim, mengingat wilayah ini merupakan provinsi kepulauan.
“Permukaan laut terus meningkat dan mengancam tenggelamnya wilayah pesisir. Ancaman abrasi juga makin serius,” ungkapnya.
Ia mendesak pemerintah untuk menyusun regulasi yang mengakomodasi kepentingan daerah kepulauan dan memperkuat mitigasi terhadap perubahan iklim.
Selain itu, ia menyebut bahwa aktivitas tambang di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Utara, dan Halmahera Selatan berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan kerusakan ekologi.
“Pemerintah pusat harus menjeda sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru dan memperkuat pengawasan terhadap perusahaan tambang yang telah beroperasi. Setiap perusahaan harus diawasi pelaksanaan AMDAL-nya secara ketat,” tegasnya.
Sebagai penutup, Dr. Graal menegaskan komitmennya untuk terus menjalankan fungsi pengawasan dan representasi daerah dengan optimal. Ia berharap hasil pengawasan yang disampaikannya bisa segera ditindaklanjuti oleh alat kelengkapan DPD RI dan kementerian terkait.
“Kami di DPD RI akan terus mendorong kolaborasi dan dialog konstruktif dengan kementerian agar setiap persoalan di Maluku Utara mendapat solusi nyata yang relevan dengan program nasional,” pungkasnya.
Komentar