Cendekia

Belajar dari Khalifah Umar

Herman Oesman: Foto: Dok Pribadi

                                  Penulis: Herman Oesman

                             (Dosen Sosiologi FISIP UMMU)

=====================================

"...Umar Ibn Khattab merupakan sosok pemimpin visioner, mengedepankan keadilan, pelayanan publik, dan integritas pribadi..."

Khalifah Umar Ibn Khattab merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam sejarah Islam, tidak hanya karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena integritas, keadilan, dan reformasi yang dilakukan selama masa pemerintahannya. Ia menjabat sebagai khalifah kedua dalam Khulafaur Rasyidin setelah Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada tahun 634 M. Kepemimpinan Khalifah Umar berlangsung selama sepuluh tahun (634–644 M), sebuah dekade yang menyaksikan ekspansi besar wilayah kekuasaan Islam sekaligus lahirnya berbagai sistem pemerintahan yang menjadi fondasi peradaban Islam selanjutnya.

Prinsip Keadilan
Umar Ibn Khattab dikenal dengan sifat zuhud dan keberaniannya menegakkan kebenaran. Dalam buku Sirah Umar bin Khattab karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, dijelaskan bahwa Umar tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi. Ia hidup sederhana, bahkan pakaiannya acapkali tambal-sulam meskipun menguasai wilayah seluas Kekaisaran Romawi dan Persia (Ash-Shallabi, 2007: 442).
Khalifah Umar tidak menerima gaji dari baitul mal pada awalnya, hingga para sahabat menyarankan agar ia menerima tunjangan sekadarnya agar tidak mengurangi kualitas kepemimpinannya.

Ketaatannya kepada syariat membuat Umar kerap turun langsung ke lapangan, menyamar sebagai rakyat biasa untuk melihat langsung kondisi masyarakat. Dalam satu peristiwa yang diriwayatkan Ibn Sa’ad, Khalifah Umar memikul sendiri karung gandum untuk janda dan anak-anak yang kelaparan, menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi pelayan rakyat, bukan sebaliknya (Ibn Sa’ad, 1990: 177).

Salah satu prinsip utama kepemimpinan Khalifah Umar adalah keadilan tanpa pandang bulu. Dalam konteks ini, Khalifah Umar tidak ragu menghukum pejabat tinggi jika terbukti bersalah. Salah satu contoh paling terkenal adalah ketika Gubernur Mesir, Amr bin Ash, dilaporkan telah membiarkan anaknya memukul seorang rakyat biasa. Khalifah Umar memanggil mereka ke Madinah dan menyuruh rakyat yang dizalimi untuk membalas perlakuan tersebut. Setelah itu Umar berkata, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?” (Shafiyurrahman, 2002: 512).

Selain itu, Umar juga memperkenalkan sistem peradilan yang formal dengan menunjuk hakim (qadhi) yang independen dari kekuasaan politik. Ini merupakan tonggak penting dalam perkembangan sistem hukum Islam.

Khalifah Umar merupakan inovator dalam administrasi negara. Ia membentuk sistem diwan atau pencatatan administrasi untuk penggajian tentara dan pendistribusian zakat serta pajak. Dalam buku The Early Islamic Conquests, Fred Donner menjelaskan bahwa Umar mendirikan lembaga keuangan negara yang mirip dengan perbendaharaan modern untuk mengatur pemasukan dari wilayah-wilayah yang ditaklukkan (Donner, 1981: 247).

Khalifah Umar juga membentuk sistem pos, membagi wilayah administratif, membangun infrastruktur seperti jalan dan saluran air, serta mengatur pengelolaan tanah hasil penaklukan agar tidak seluruhnya jatuh ke tangan elite tentara. Tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dijadikan milik negara dan disewakan kepada penduduk lokal, sementara hasil sewanya digunakan untuk kepentingan umum. Kebijakan ini mencerminkan kepekaan Umar terhadap ketimpangan sosial.

Legacy
Di bawah kepemimpinan Umar, wilayah Islam meluas dengan cepat, meliputi Persia, Syam (Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina), Mesir, serta sebagian Asia Tengah. Namun, Khalifah Umar tidak hanya fokus pada ekspansi, tetapi juga memastikan adanya administrasi yang tertib di wilayah baru.
Khalifah Umar mengangkat gubernur yang kompeten dan menerapkan sistem pengawasan untuk menghindari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Menurut Karen Armstrong dalam bukunya Islam: A Short History, keberhasilan Umar terletak pada kemampuannya memadukan kekuatan militer dengan etika politik yang bersumber dari ajaran Islam (Armstrong, 2002: 34).
Khalifah Umar tidak membangun tirani, melainkan tatanan yang menghormati hak-hak individu dan menjamin keadilan sosial.

Umar Ibn Khattab wafat tahun 644 M karena ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, seorang budak Persia, saat sedang memimpin salat Subuh di Masjid Nabawi. Sebelum wafat, ia membentuk tim syura yang terdiri dari enam sahabat terkemuka untuk memilih penggantinya. Tindakan ini menunjukkan kedewasaan politik Umar yang tidak ingin kekuasaan diwariskan secara absolut atau diberikan kepada kerabatnya.

Warisan Umar tidak hanya berupa luasnya wilayah kekuasaan, tetapi juga sistem pemerintahan yang akuntabel, hukum yang adil, dan semangat pelayanan terhadap rakyat. Nilai-nilai tersebut tetap relevan dalam konteks kepemimpinan modern.

Khalifah Umar Ibn Khattab merupakan sosok pemimpin visioner yang mengedepankan keadilan, pelayanan publik, dan integritas pribadi. Khalifah Umar tidak hanya membangun struktur kekuasaan, tetapi juga merancang sistem sosial-politik yang memberi ruang bagi keadilan dan partisipasi. Di era Khalifah Umar, dikenal dengan Al-Futuhat al-Islamiyah, yang mengokohkan Islam di berbagai belahan dunia. Kepemimpinannya menjadi teladan dalam sejarah Islam dan menginspirasi banyak pemimpin hingga saat ini.[]

Penulis:

Baca Juga