Cendekia

Morotai “Dipasung” Kuasa Pencitraan

Risman Rais. Foto: Dok Pribadi

                                       Penulis: Risman Rais
                              (Jurnalis Halmaherapost.com)

=====================================

"Politik itu kotor, tapi ekonomi lebih kotor lagi! Itu terjadi bila tidak ada sentuhan moral dan etika. Tapi negara tanpa permainan politik dan ekonomi, pasti rapuh." (Baca: Permainan Tafsir, Nugroho Trisna Brata, 2000)

Tulisan ini lahir dari kegelisahan yang memuncak. Belakangan, publik Morotai disuguhi berbagai pertarungan tafsir di ruang publik, seolah-olah sedang berlangsung adu intelektual demi membela kepentingan rakyat. Sayangnya, pertarungan itu lebih banyak berlangsung di menara gading—jauh dari denyut nadi masyarakat. Argumentasi pragmatis berseliweran di dunia maya, namun minim pengabdian nyata.

Kaum akademisi Morotai kerap membungkus rasionalitas dengan dalih menjaga nalar tetap waras. Namun, mereka justru luput dari satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi: pengabdian kepada masyarakat. Sementara itu, politisi yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat cenderung abai terhadap dinamika sosial yang berubah cepat dan drastis. Isu pemberhentian 23 kepala desa terus digaungkan, namun persoalan-persoalan yang lebih krusial justru luput dari perhatian.

Dalam kondisi seperti ini, figur publik semestinya tampil menyuarakan kebenaran berdasarkan fakta dan analisis berbasis data. Sebab, paparan narasi dari informan atau responden—yang tentu juga memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pandangan maupun persepsi—adalah bahan dasar dalam memahami masalah sosial dan politik secara lebih objektif. (Baca: Budi Susanto, S.J., 2007)

Sayangnya, para pemegang kebijakan di Kabupaten Pulau Morotai justru terjebak dalam pusaran pencitraan yang tidak menyentuh substansi. Padahal, negara berkewajiban menjamin pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.

Karena itu, penulis merasa perlu mengurai persoalan perubahan sosial dan ekonomi di Pulau Morotai—sebuah kecamatan sekaligus pusat pemerintahan di kabupaten ini—yang semakin memprihatinkan. Fenomena pencurian merajalela, lapangan pekerjaan menyempit, beasiswa perguruan tinggi dicabut, hingga munculnya beban anggaran desa untuk membayar honor pendeta, majelis gereja, imam masjid, dan hakim syar’i. Pola seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Pertanyaannya, pernahkah para akademisi maupun politisi mempertanyakan ini secara terbuka dan kritis?
Jika tidak, maka moralitas dan aspirasi rakyat kehilangan penjaganya.

Perubahan sosial juga tercermin dari pergeseran habitus masyarakat. Di wilayah Morotai Selatan Barat, misalnya, para petani kelapa kini hidup dalam ketakutan. Dahulu, mereka bisa memanen dan mengolah kopra tanpa rasa khawatir: mengumpulkan, membelah, dan membakar kelapa dalam proses yang memakan waktu berhari-hari. Kini, aksi pencurian begitu marak. Kopra yang dulu dibiarkan di tepi jalan hingga pagi hari, sekarang harus disembunyikan. Situasi ini nyata terjadi di Desa Raja, Wayabula, dan Tutuhu.

Masalah kesehatan pun menjadi sorotan serius. Hampir semua Puskesmas di setiap kecamatan kini tak lagi memiliki dokter. Rumah Sakit Umum Daerah Ir. Soekarno pun mengalami hal serupa. Tak berlebihan bila masyarakat menyimpulkan, “Kita di Morotai sekarang dilarang sakit.”

Di tengah kondisi ini, Wakil Bupati Morotai menyatakan bahwa program UHC (Universal Health Coverage) telah dijalankan: cukup dengan KTP, warga bisa memperoleh layanan kesehatan secara gratis.
Namun, pertanyaannya: apakah UHC ini benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan?

Sudah semestinya Pak Wakil Bupati menyampaikan data riil—bahwa masyarakat Morotai saat ini dilanda frustrasi. Gejala perubahan sosial ini, bila dibiarkan, berpotensi memicu disfungsi sosial yang lebih dalam.

Celakanya, media turut mempertebal pencitraan atas kepemimpinan daerah. Kenyataannya, APBD Kabupaten Pulau Morotai tahun 2025 dirancang dalam kondisi defisit (Baca: KUA-PPAS 2025, Kab. Pulau Morotai). Dampaknya akan sangat terasa pada pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Defisit ini juga akan menggerus belanja modal serta pengadaan barang dan jasa—hal yang menyentuh langsung aspek ekonomi masyarakat. PAD (Pendapatan Asli Daerah) Morotai pun masih sangat rendah, hanya mencapai Rp48.595.085.233 (Baca: KUA-PPAS 2025, Kab. Pulau Morotai).

Lalu, di mana suara kampus?
Para akademisi dari Universitas Pasifik Pulau Morotai nyaris tak pernah menyuarakan kondisi sosial dan ekonomi kabupaten yang makin terpuruk. Tak heran jika sebagian anggota legislatif menilai bahwa “Dekan dan Rektor telah menjadi intelektual partisan” (lihat: publikasi media daring).

Jika benar demikian, maka penjaga moralitas, rasionalitas, dan nilai-nilai kebebasan akademik di kampus telah kehilangan arah. Kita hanya tinggal menunggu runtuhnya pilar-pilar harapan. Wallahu a‘lam bish-shawab.(*)

Penulis:

Baca Juga