Cendekia
Dufa-Dufa: Ikan Fufu dan Gohu

Oleh: Arafik A. Rahman
=====================================
"Makanan bukan sekadar asupan fisik; ia adalah warisan budaya, identitas kolektif, dan ingatan yang dapat kita kunyah."
— Claude Fischler, sosiolog dan antropolog makanan
Siapkan teh panas, biarkan aromanya mengendap. Siapkan sepotong sagu dan segaki ikan fufu untuk menemani bacaan ini. Tulisan ini ditulis dengan hati yang pernah berlari, bermain, dan berenang di pantai Dufa-Dufa yang penuh kenangan. Kawan, mari kita bercerita tentang Dufa-Dufa: sebuah desa nelayan yang terletak di lereng Gunung Gamalama, di utara Kota Ternate.
Di sana ada perahu sampan, kapal nelayan cakalang, jaring penangkap julung, dan perahu pemancing ikan dasar. Tapi yang pasti, masih ada cinta dan harapan yang tak terhingga di birunya laut Kota Ternate. Tahukah Anda? Ada dua makanan yang bukan hanya mengenyangkan, tapi menyimpan ingatan tentang masa kecil, keluarga, dan laut: ikan fufu dan gohu.
Keduanya lahir dari tangan-tangan para nelayan dan ibu rumah tangga yang memahami betul cara berdamai dengan hasil laut dan waktu yang panjang. Fufu adalah ikan cakalang yang diasap perlahan di atas bara kelapa hingga kering, harum, dan tahan lama. Sementara gohu adalah jawaban dari laut yang segar: cakalang mentah yang dipotong kecil-kecil, lalu dicampur dengan rempah-rempah seperti bawang merah, cabai rawit, daun kemangi, perasan jeruk, dan sesendok minyak kelapa panas yang menebarkan aroma menggoda dari wajan ke meja.
Di Dufa-Dufa, makanan bukan sekadar kebutuhan. Ia adalah bahasa kasih sayang antargenerasi. Ia menjadi simbol keterikatan dengan laut, dengan tanah kelahiran, dan dengan cara hidup yang tidak ingin tercerabut dari akar. Hingga kini, Dufa-Dufa tetap hidup sebagai desa nelayan. Kapal-kapal tangkap masih berjejer di pesisirnya, menjadi saksi bahwa laut belum pernah benar-benar pergi.
Namun sayangnya, pembangunan yang tak selalu berpihak pada nilai-nilai lokal telah menggusur sebagian jejak lama. Swerring (tembok beton) yang dibangun di sepanjang pantai menghilangkan jejak pasir dan bebatuan tempat nelayan dulu berpijak saat pulang dari melaut—tempat anak-anak menunggu ayah mereka sambil membawa ember kosong dan mata penuh harap.
Di tengah gempuran pembangunan dan arus modernitas, ikan fufu dan gohu belum diangkat sejajar dengan ikon-ikon kuliner Nusantara lainnya. Padahal, keduanya adalah warisan kuliner asli masyarakat pesisir Maluku Utara, terutama dari garis pantai Ternate, Dufa-Dufa, dan Tidore. Sebuah kekayaan yang bisa menjadi identitas gastronomi kawasan timur Indonesia—jika ada kemauan untuk mempromosikannya secara serius.
Claude Fischler pernah menulis bahwa makanan adalah cara paling kuat untuk mempertahankan identitas budaya. Apa yang kita masak dan makan, berbicara lebih dalam daripada bendera dan lagu nasional. Maka jika gohu dan fufu lenyap dari meja-meja kita, bukan hanya rasa yang hilang, tetapi juga narasi tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan laut mana yang telah memberi hidup.
Namun jangan kira para pemakan ikan fufu tak punya mimpi. Dari dapur-dapur kayu tempat fufu diasap, banyak anak-anak Dufa-Dufa yang tumbuh dengan pendidikan yang cukup—hingga bangku kuliah, bahkan menjadi orang-orang sukses. Hasil tangkapan laut dan dagangan fufu yang dijual dari rumah ke rumah telah membiayai seragam sekolah, buku-buku tulis, hingga ongkos transportasi. Mereka mungkin tak kaya raya, tetapi cukup. Dan dari kecukupan itulah tumbuh harga diri.
Di situlah letak nilai pendidikannya: ikan fufu bukan sekadar makanan, tapi simbol ketekunan. Ia lahir dari kesabaran, dari proses menunggu asap yang perlahan meresap ke serat-serat ikan, dari kerja yang tak bisa buru-buru. Nilai ini menetes ke generasi muda—bahwa hidup memang tak selalu cepat, tapi jika dijalani dengan tekun, hasilnya akan tahan lama, seperti fufu itu sendiri.
Ia lebih dari sekadar lauk. Fufu dan gohu telah menjadi bagian dari budaya hidup. Ia hadir dalam acara keluarga, selamatan laut, hingga suguhan bagi tamu jauh. Tak heran jika cita rasanya tak hanya melekat di lidah, tetapi juga menyatu dengan identitas orang pesisir. Maka ketika kita bicara tentang pelestarian budaya, kita tak boleh lupa bahwa dapur-dapur nelayan juga adalah pusat peradaban.
Sudah saatnya pemerintah kota dan provinsi memberi tempat yang layak untuk warisan ini: melalui program penguatan UMKM kuliner, promosi wisata berbasis kampung nelayan, dan pembinaan generasi muda agar tidak malu menyambung hidup dari laut. Semua bisa dimulai dari dapur kecil yang menyimpan fufu dan gohu.
Dufa-Dufa tidak minta banyak. Hanya agar mereka tetap dihargai sebagai penjaga cita rasa, pelestari laut, dan pemilik kisah.
Kini, saatnya kita bangkit merayakan warisan itu. Mari kita sukseskan Festival Nyao Fufu 2025, yang insyaallah akan dilaksanakan pada tanggal 1–12 Oktober 2025 di Kelurahan Dufa-Dufa, Kota Ternate Utara. Bukan sekadar perayaan kuliner, tetapi juga penegasan identitas, penghormatan kepada laut, dan upaya memanggil kembali yang hilang—baik rasa maupun orang-orang yang pernah tinggal bersama kenangan di pinggir pantai itu.
Mungkin sudah waktunya kita memanggil pulang mereka yang lama merantau. Bukan lewat spanduk pembangunan atau slogan politik, tetapi dengan aroma ikan fufu yang mengepul dari dapur kayu di pinggir laut Dufa-Dufa. Dengan rempah-rempah gohu yang menari di lidah dan membawa air ke sudut mata. Karena rumah bukanlah tempat; rumah adalah rasa. Dan dari rasa itulah, kita bisa kembali utuh, lengkap, dan tidak lupa siapa kita.
"Yang membuat kita tetap dikenang sebagai orang Maluku Utara bukanlah posisi negeri kita di peta, tetapi rasa gohu di ujung lidah dan ikan fufu yang mengingatkan bahwa laut adalah ibu."
Komentar