Lingkungan
Akademisi Nilai Pernyataan Kepala DLH Morotai Soal Galian C Keliru

Pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Firdaus Samad, terkait izin galian C menuai sorotan dari kalangan akademisi.
Muhammad Fahmi, akademisi Teknik Lingkungan dari Universitas Pasifik (Unipas) Morotai, menilai pernyataan tersebut keliru dan dapat menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Dalam keterangannya kepada media ini, Jumat, 1 Agustus 2025, Muhammad Fahmi mengkritik pernyataan Firdaus yang menyebut bahwa kegiatan rekonstruksi pasca-bencana tidak memerlukan izin resmi, dan cukup dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (SPPL).
“Saya sangat menyayangkan pernyataan Kadis DLH. Beliau mengatakan bahwa cukup dengan SPPL, tidak perlu izin resmi. Pertanyaannya, bukankah SPPL sendiri merupakan salah satu bentuk dokumen perizinan lingkungan? Ini bisa menyesatkan publik,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem perizinan lingkungan, terdapat tiga jenis dokumen utama yang disesuaikan dengan skala dampak kegiatan, yakni AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), serta SPPL. Ketiganya memiliki kedudukan yang sah dan resmi dalam proses perizinan.
“AMDAL untuk kegiatan berdampak besar, UKL-UPL untuk dampak sedang, dan SPPL untuk kegiatan berdampak kecil. Tidak semua kegiatan bisa menggunakan SPPL sebagai dasar pelaksanaan,” jelasnya.
Ia menyoroti penggunaan SPPL dalam proyek galian C di beberapa wilayah Morotai yang dinilainya tidak tepat sasaran. Menurutnya, DLH perlu menjelaskan dengan jelas apakah dokumen SPPL yang dikeluarkan ditujukan untuk aktivitas galian C atau pembangunan talud penahan ombak.
“Galian C dan pembangunan talud adalah dua kegiatan berbeda. Keduanya memiliki karakteristik dan dampak lingkungan yang tidak bisa disamakan. Jika SPPL diterbitkan tanpa klasifikasi yang tepat, itu bisa jadi cacat prosedur,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai pemahaman DLH terhadap regulasi nasional, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, masih lemah. Ia menegaskan bahwa kegiatan galian C tidak serta-merta dikecualikan dari kewajiban perizinan lingkungan, meskipun terkait dengan rehabilitasi pasca-bencana.
“Yang bisa masuk kategori rekonstruksi pasca-bencana adalah pembangunan talud, bukan aktivitas galian C. Jadi tidak tepat jika galian C diklaim tidak perlu izin,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pernyataan pejabat publik seperti kepala dinas dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan pelaku usaha. Jika tidak sesuai aturan, hal itu berisiko menimbulkan pelanggaran hukum dalam pelaksanaan proyek.
Ia juga menekankan pentingnya DLH menaati regulasi yang berlaku, seperti Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021, yang secara rinci mengatur daftar kegiatan yang wajib memiliki dokumen lingkungan sesuai klasifikasi dampaknya.
“Jangan sampai ada proyek yang berjalan tanpa dokumen lingkungan yang sesuai. Kalau itu terjadi, ada konsekuensi hukum yang tidak bisa dihindari,” katanya.
Ia berharap DLH Morotai dapat menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan dengan lebih profesional dan berhati-hati, terutama dalam proses penerbitan dokumen lingkungan.
“DLH harus berada di garis depan dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Bukan justru menjadi sumber persoalan karena keliru dalam memahami aturan,” pungkasnya.
Komentar