Festival Nyao Fufu
Dari Fonai ke Rekor MURI: Menjaga Denyut Nadi Kampung Nelayan Dufa-Dufa

"Orecele, orecele, hiri itobo gaungan..."
Lantunan itu tak hanya sebuah nyanyian. Ia adalah gema dari laut yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Dufa-Dufa—memori tentang armada Fonai dan Giop, perahu-perahu yang pernah menjelajahi perairan Maluku Utara, Sulawesi hingga Papua.
Nyanyian itu berkumandang kembali dalam Festival Nyao Fufu, menjadi penanda bahwa laut bukan sekadar ruang ekonomi, tapi juga ruang budaya dan sejarah yang hidup.
"Kami telah bersama armada Giop dan Fonai untuk memahami laut dan ikan," ujar Sukarjan Hirto, Ketua Panitia Festival Nyao Fufu, dalam sambutannya yang disambut tepuk tangan warga, Senin sore, 6 Oktober 2025.
Sejak pagi hari, Dufa-Dufa berubah menjadi dapur raksasa. Di sepanjang jalan utama kelurahan yang membentang dua kilometer, 166 tungku berjejer rapi, mengepulkan asap dari sabuk kelapa, batok, dan kayu bakar.
Asap tipis mengambang di udara, memaksa pejalan kaki mengusap mata mereka—namun tak menyurutkan semangat untuk menyaksikan prosesi masak ikan cakalang khas Maluku Utara: Nyao Fufu.
Di setiap tungku, sekitar 20 ekor ikan cakalang—ada yang dibelah, ada pula yang utuh—dibalik-balik oleh tangan-tangan terampil warga.
Di tengah rinai hujan, terpal ukuran 2x1 meter ditegakkan sebagai pelindung asap dan bara, tapi tangan Lia tetap sibuk memanggang.
"Saya panggang kase badiri, biar darahnya turun, supaya matangnya rata," ucap Lia, warga Dufa-Dufa yang sudah empat tahun bergelut jualan Nyao Fufu di kelurahan Akehuda.
Baginya, memanggang ikan bukan sekadar urusan dapur. "Kalau dagingnya putih bersih, matangnya pas, ikan bisa tahan sampai tiga hari," katanya, sambil tetap membalik ikan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegangi terpal.
6 Ton Ikan Cakalang, 166 Tungku, dan Satu Rekor
Menurut Fauji Molle, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku Utara, sebanyak 6 ton 6 kilogram ikan cakalang disiapkan untuk festival ini. Dengan asumsi berat per ekor antara 700 gram hingga 1 kilogram, jumlah totalnya mencapai lebih dari 6.000 ekor ikan. Angka yang tak main-main.
"Ini bagian dari rangkaian HUT ke-26 Provinsi Maluku Utara," kata Fauji saat ditemui di lokasi festival. "Anggaran yang digunakan untuk Festival Nyao Fufu mencapai Rp2,7 miliar, termasuk Rp500 juta lebih dari DKP. Ada juga dukungan dari Dinas Pendidikan dan OPD lainnya."
Tentu, angka itu bukan sekadar pencapaian lokal. Museum Rekor Indonesia (MURI), yang diwakili oleh Direktur Operasionalnya, Yusuf Ngadri, secara resmi mencatat Festival Nyao Fufu sebagai pengasapan ikan cakalang massal terbanyak di satu lokasi.
"Jenis ikan jadi pembeda penting. Di Pekanbaru kami catat ikan patin, di Semarang ikan pari, di Tuban ikan lele, dan di Pasuruan jenis lain lagi," kata Yusuf. "Kali ini di Ternate, spesifik ikan cakalang, dengan berat 6 ton 2 kilogram. Ini rekor nasional."
Yusuf menambahkan bahwa tiap 5-10 tungku memiliki koordinator yang bertanggung jawab atas proses pengasapan, termasuk memilah antara ikan yang dibelah dan yang utuh.
"Tujuannya bukan sekadar memecahkan rekor, tapi juga menjadi inspirasi pembangunan berbasis budaya maritim," jelasnya. "Kami tahu festival ini dari media sosial, lalu kami konfirmasi dan lakukan penilaian lapangan."
Para tetua Dufa-Dufa percaya bahwa Nyao Fufu bukan sekadar event. Ia adalah perayaan memori bersama, tentang keterhubungan manusia dengan laut, tentang ikan sebagai berkah, dan tentang tradisi sebagai identitas.
"Ini refleksi dari bagaimana masyarakat Maluku Utara hidup dari laut. Nyao Fufu harus terus dikembangkan sebagai kekuatan budaya dan ekonomi," ujar salah satu tokoh masyarakat.
Dengan sejarah panjang pelayaran dari selatan Halmahera hingga ujung Pasifik, armada tradisional seperti Giop dan Fonai telah menjadi saksi bahwa laut adalah halaman depan rumah orang Maluku Utara.
Kini, lewat festival ini, semangat itu dihidupkan kembali, tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk diteruskan dan diberdayakan.
Asap Nyao Fufu tak hanya menguar ke langit Ternate, tetapi juga menembus ruang-ruang identitas, membumbung tinggi bersama harapan akan pariwisata budaya dan maritim yang lebih kuat di masa depan.
Komentar