Lingkungan Hidup
Proyek Breakwater, Bisnis Batu: Ada yang “Bermain” dari Hulu Ake Toniku
Sungai Ake Toniku, yang selama ini menjadi ruang hidup dan tempat rekreasi warga Desa Tabadamai, Kecamatan Jailolo Selatan, kini berubah wajah. Dinding alam yang dulu memagari arus sungai kini terkelupas, pepohonan tumbang, dan bebatuan besar dikeruk habis. Di balik kerusakan ini, tersingkap jalinan kepentingan proyek, kelalaian birokrasi, dan dugaan pelanggaran hukum atas nama pembangunan.
“Tempat wisata alami kami sudah porak-poranda. Pepohonan tumbang, batuan terbongkar, dan sungai berubah bentuk,” kata Supardi Nasir, warga Tabadamai, dengan nada kesal kepada Halmaherapost.com, 11 Oktober 2025.
Warga baru sadar setelah area yang biasa digunakan untuk rekreasi berubah jadi lokasi pengerukan batuan. Laporan ke pemerintah desa pun tak membuahkan hasil.
“Kami sudah sampaikan ke Pemdes, tapi seolah-olah ini bukan masalah,” ujarnya. Kekecewaan ini akhirnya mendorong warga melapor ke Polda Maluku Utara, usai mendapat arahan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi.
Menurut DLH, kata Supardi, aktivitas tersebut tak mengantongi dokumen dan persetujuan lingkungan. "Artinya ilegal," katanya.
Nama PT Intim Kara mencuat pertama kali dalam tudingan warga sebagai pelaku pengerukan. Namun kemudian muncul klarifikasi berlapis. PT Aditama Bangun Perkasa disebut sebagai kontraktor utama proyek breakwater di pesisir Toniku, sementara Zulkarnaen dan Arifin bertindak sebagai subkontraktor pengambil material.
“Pengambilan material itu juga untuk membantu warga membuka akses jalan tani,” kata Zulkarnaen, seolah memberi pembenaran.
Namun penjelasan itu tak menenangkan publik. Sebab, fakta lapangan menunjukkan pengerukan dilakukan tepat di bantaran sungai—kawasan yang secara hukum dilindungi berdasarkan UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Klarifikasi yang Tumpang Tindih
Manajemen PT Intim Kara, lewat Abdul Jabal, menyangkal keterlibatan langsung dalam proyek breakwater. “Yang disebutkan warga itu tidak benar. Zulkarnaen bawa alat dari perusahaannya sendiri, bukan dari kami,” katanya.
Namun, penyelidikan Polres Halmahera Barat justru menemukan fakta lain. Kapolda Maluku Utara, Irjen Waris Agono, menyebut PT Intim Kara memang melakukan aktivitas pengambilan batu di sungai Kali Kabi—bagian dari aliran Ake Toniku—sejak setahun lalu.
“PT Intim Kara mengambil material berupa bebatuan di sungai Kali Kabi sejak lama. Namun jauh dari dinding penghalang banjir,” ujarnya.
Artinya, meskipun perusahaan itu tak mengeruk untuk proyek breakwater, mereka tetap aktif di area yang sama—dan tanpa izin lingkungan yang jelas.
Polemik ini akhirnya menarik perhatian Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku Utara. Tim yang dipimpin oleh PPK Sungai dan Pantai I Lutfi Taher bersama PPNS BWS Malut Rifan Hamid turun langsung ke lokasi pada 14 Oktober 2025.
“Setelah kami telusuri, ini murni kesengajaan dari oknum tertentu. BWS sama sekali tidak pernah memberi izin atau memerintahkan pengambilan material di Sungai Ake Toniku,” tegas Rifan.
Temuan BWS menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar tata ruang dan aturan lingkungan. Mereka juga menyebut material proyek breakwater sebenarnya sudah memiliki lokasi pengambilan resmi. Artinya, pengambilan di Ake Toniku tidak sah dan tidak diperlukan.
Dugaan Kepentingan Menguat
Penyelidikan warga dan aparat mengungkap modus halus di balik pengerukan: pembukaan “jalan tani.” Para pelaku memanfaatkan dalih pembangunan akses kebun warga untuk menutupi aktivitas pengambilan material batu yang bernilai ekonomi tinggi.
Ironisnya, menurut Kepala Desa Tabadamai, Rusandi Labance, jalan tani sudah tersedia sebelumnya. “Jadi alasan membuka jalan baru itu tidak masuk akal,” kata seorang warga yang hadir dalam pertemuan dengan BWS dan Polsek Jailolo Selatan.
Sumber lokal menyebut sebagian material yang diambil digunakan untuk proyek breakwater di Desa Toniku dan sebagian lagi dibawa ke stone crusher PT Intim Kara di Sofifi.
Setelah tekanan warga dan kunjungan lintas lembaga, aktivitas pengerukan dihentikan. Warga bahkan memasang palang kayu di jalur masuk alat berat untuk mencegah kegiatan lanjutan.
Namun luka lingkungan sudah terlanjur dalam. Aliran sungai melebar, struktur bantaran rusak, dan risiko banjir mengintai empat desa di hilir: Toniku, Tabadami, Tabanga II, dan Rioribati.
“Kalau hujan deras, air bisa meluap dan menghantam pemukiman,” ujar Supardi dengan nada getir.