PT POSITION YANG PERKASA

Oleh: Muhlis Ibrahim || Koordinator Konsorsium Advokasi Tambang (KATAM) Maluku Utara
“Kekayaan sumber daya alam tidak hanya gagal menyejahterakan masyarakat, tetapi juga turut memperparah ketidakadilan.”
Kamis, 6 Oktober 2025, Pengadilan Negeri Soasio memutuskan sebelas masyarakat adat Maba Sangaji bersalah karena menghalangi aktivitas penambangan PT Position yang beroperasi di Kabupaten Halmahera Timur.
Peristiwa itu bermula pada 15–16 Mei 2025 ketika warga adat menggelar aksi sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas tambang nikel PT Position yang merusak hutan dan sungai adat. Bagi mereka, kelestarian alam yang seharusnya diwariskan kepada generasi mendatang tidak harus dikoyak oleh mesin-mesin tambang.
Gerakan masyarakat adat yang semestinya dilindungi sebagai ekspresi kultural sekaligus hak konstitusional ini justru dibubarkan secara paksa oleh aparat. Sebanyak 27 orang warga ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Selanjutnya, pada 19 Mei 2025, dari 27 warga yang ditangkap, 11 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Sebelumnya, pada 24 Juni 2025, jabatan Komisaris Besar Asri Efendi sebagai Dirkrimsus Polda Maluku Utara harus dicopot dan dimutasi menjadi perwira menengah Satuan Pelayanan Markas Kepolisian RI di Jakarta.
Asri Efendi dan empat anak buahnya dituduh melanggar kode etik saat menangani sengketa tambang nikel di Desa Loleba antara PT Wana Kencana Mineral dan PT Position.
Sidang etik ini bermula dari adanya aduan ke Divisi Propam Polri pada 24 April 2025 oleh PT Position.
Kelima anggota Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Malut dilaporkan karena diduga memasang police line atau garis pembatas polisi tanpa menggelar olah tempat kejadian perkara terlebih dahulu.
Pemasangan garis pembatas itu diduga bertujuan untuk memproses laporan dari PT Wana Kencana Mineral terhadap PT Position yang telah mengeruk lahan yang diklaim masuk wilayah IUP PT Wana Kencana Mineral.
Di waktu yang lain, dua karyawan PT Wana Kencana Mineral, Marcel Bialembang dan Awwab Hafizh, harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keduanya didakwa karena telah memasang patok pembatas untuk menghalangi alat berat PT Position masuk ke wilayah yang diklaim milik PT Wana Kencana Mineral.
“Perbuatan terdakwa merugikan PT Position,” demikian bunyi dakwaan terhadap Marcel dan Awwab.
Pertanyaannya, kenapa PT Position begitu perkasa?
22 September 2025 — Forum Mahasiswa Pascasarjana (Formaps) Maluku Utara menyatakan bahwa ada dugaan anak dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo berada dalam struktur kepemilikan PT Position.
Hal ini yang membuat PT Position kebal hukum dan mendapat perlindungan dari institusi tertentu.
Namun, tudingan ini dibantah oleh R. Haidar Alwi. Ia menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya keterlibatan anak Kapolri Listyo Sigit Prabowo, baik dalam struktur kepengurusan maupun kepemilikan PT Position.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) lantas menjabarkan ihwal kepemilikan PT Position. Mayoritas saham dikuasai oleh PT Tanito Harum Nickel dengan kepemilikan sebesar 51%, salah satu perusahaan yang masih identik dengan keluarga Barki. Sementara 49% lainnya dikuasai oleh PT International Capital Pte. Ltd, sebuah perusahaan yang berbasis di Singapura.
Paradoksnya, kenapa bukan Bapak Kapolri atau anak Kapolri yang menjelaskan?
Kasus PT Position di Halmahera Timur menyingkap wajah asli politik ekonomi ekstraktif di Maluku Utara. Ia bukan sekadar sengketa hukum antara korporasi dan masyarakat adat, melainkan cermin bagaimana kekuasaan negara tunduk pada modal.
Negara yang seharusnya melindungi rakyat dan lingkungan justru tampil sebagai alat legitimasi kepentingan tambang. Aparat penegak hukum kehilangan arah: polisi yang menegur korporasi disanksi, sementara warga adat yang membela hutan justru dipenjara. Hukum tak lagi menjadi panglima, melainkan pagar bagi investasi.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji memperlihatkan pola lama: hukum dijadikan alat pembungkam. Istilah “penghalang tambang” menjadi pasal elastis untuk menjerat siapa saja yang mempertahankan ruang hidupnya. Dari Obi hingga Weda, skenarionya berulang—rakyat yang menolak rusaknya lingkungan dilabeli pengganggu investasi.
Struktur kepemilikan PT Position—51 persen dikuasai PT Tanito Harum Nickel dan 49 persen PT International Capital Pte. Ltd berbasis di Singapura—menunjukkan cengkeraman modal global yang bersandar pada elite nasional dan patron lokal. Di bawah sistem patron-klien semacam ini, hukum dan keadilan perlahan tersingkir dari ruang publik.
Pertanyaan “mengapa PT Position begitu perkasa?” menohok jantung moral hukum kita. Ketika aparat tunduk pada modal dan kepentingan politik, keadilan berubah menjadi komoditas yang bisa dibeli. Maba Sangaji bukan penghalang pembangunan, mereka penjaga nilai dan ruang ekologis—yang diabaikan demi tonase nikel dan laba ekspor.
Kasus ini menegaskan bahwa tambang bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan soal kedaulatan, keadilan, dan kemanusiaan. Jalan keluarnya ada pada reposisi negara agar kembali ke fungsinya sebagai pelindung hak-hak dasar warga, serta penguatan solidaritas sipil untuk menegakkan keadilan ekologis dari bawah.
"Selama masih ada yang menulis dan bersuara, keadilan belum mati."
Sumber:
- Tempo – Sengketa Tambang Nikel Halmahera Berujung Sanksi Etik Polisi, 12 Oktober 2025.
- Kanarnegri – Formaps Maluku Utara Klaim Anak Kapolri Terlibat Tambang Ilegal, Haidar Alwi Institute Bantah Keras, 22 September 2025.
Komentar