Cendekia
Mirisnya Kewenangan Daerah
Sukarno M. Adam (Direktur Buku Suba Institute)
=====================================
Mengapa daerah dibuat tidak berdaya, tetapi pada saat yang sama “dipaksakan” untuk mandiri dan produktif? Pertanyaan ini muncul dari logika sederhana yang mencoba menyelisik ulang relasi kuasa antara pusat dan daerah.
Diskursus mengenai hubungan keduanya bukanlah wacana baru, tetapi juga bukan isu yang kehilangan relevansinya. Relasi pusat dan daerah tidak perlu didikotomikan, melainkan ditegaskan agar tidak menimbulkan jurang curam yang menempatkan pusat sebagai pihak superior dan daerah sebagai subordinat.
Banyak yang beranggapan bahwa pusat harus menentukan hampir seluruh aspek “navigasi” negara. Padahal sejarah bangsa menunjukkan bahwa keberadaan negara justru bertumpu pada kekuatan daerah. Ibnu Khaldun, melalui konsep ashabiyah, menjelaskan bahwa kedaulatan negara terbentuk karena adanya solidaritas kesukuan–kedaerahan.
Bukankah karakter dan kekhasan daerah inilah yang menjadi fondasi filosofis dalam merancang dasar negara? Dan bukankah perbedaan-perbedaan tersebut yang memungkinkan lahirnya konsep “kesatuan”? Namun kenyataan ketidakadilan kewenangan dan fiskal yang dialami daerah hari ini membuat konsep kesatuan itu terus dipertanyakan.
Kewenangan “Minimalis”
Paradigma yang kini berkembang justru membuat daerah kian tidak berdaya karena hampir seluruh proses pengambilan keputusan ditarik kembali ke pusat. Kewenangan daerah direduksi, mematikan ruh desentralisasi dan sekaligus menghidupkan resentralisasi. Ini menjadi bentuk “domestikasi” pusat terhadap daerah melalui ragam regulasi.
Hal ini terlihat dari hadirnya sejumlah regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Pemerintah Daerah, hingga Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Bahkan mungkin terdapat undang-undang lain yang masih perlu dicermati agar tidak menjadi “jebakan” yang melemahkan daerah.
Desentralisasi administrasi kini bergerak secara sentripetal—semuanya mengerucut kembali ke pusat. Kondisi ini memperkuat gambaran betapa mirisnya posisi kewenangan daerah, sekaligus menjadi bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan cita-cita otonomi daerah.
Masalah kewenangan ini kemudian diperkuat dengan persoalan fiskal. Pemerintah daerah banyak mengeluhkan ancaman pemangkasan alokasi Transfer ke Daerah (TKD). Pemerintah pusat dan DPR RI, misalnya, menyepakati TKD sebesar Rp 693 triliun dalam RAPBN 2026, jauh turun dari APBN 2025 yang mencapai Rp 848 triliun.
Padahal evaluasi Kemendagri menunjukkan bahwa 70 persen daerah belum mandiri secara fiskal. Dengan keterbatasan alokasi TKD, instabilitas sosial-ekonomi jelas akan mengancam daerah. Jika kewenangan daerah minimalis dan fiskalnya terbatas, ruang gerak daerah semakin sempit. Ini mempertegas bahwa pengurangan kewenangan dan fiskal bertentangan dengan semangat desentralisasi.
Kewenangan dan “Gesekan” Daerah
Untuk memahami gesekan di daerah, penting melihat akar persoalannya. Banyak yang menganggap konflik di daerah sebagai masalah internal semata. Padahal, berbagai gesekan seperti maraknya usulan Daerah Otonomi Baru (DOB), keterbatasan infrastruktur di wilayah kepulauan, perjuangan masyarakat adat atas hak ulayat, hingga “kepungan” industri ekstraktif di Halmahera, semuanya terkait langsung dengan kebijakan dan regulasi pusat.
Contohnya, pemerintah selama hampir sepuluh tahun menutup pintu pemekaran daerah, sehingga terjadi penumpukan usulan DOB. Belum adanya Undang-Undang Daerah Kepulauan membuat aksesibilitas wilayah kepulauan tetap minim, padahal Indonesia adalah negara kepulauan.
Mandeknya pembahasan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat—yang sudah diusulkan lebih dari 16 tahun—membuat masyarakat adat terus berada dalam ketidakpastian. Selain itu, seluruh perizinan tambang berada di pusat, sementara dampaknya sepenuhnya dirasakan oleh daerah. Semua ini menunjukkan bahwa daerah tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Gesekan di daerah muncul karena dampaknya benar-benar nyata di lapangan. Namun konflik semacam itu bukanlah masalah utama, melainkan konsekuensi dari ketidakseimbangan relasi kuasa antara pusat dan daerah.
Pertentangan di daerah hanyalah pertentangan turunan, bukan pertentangan pokok. Sementara akar persoalannya adalah belum adanya “keikhlasan” politik pusat untuk memberikan desentralisasi seluas-luasnya.
Karena itu, tuntutan dan gesekan di daerah seharusnya diarahkan kepada sumber persoalannya, yaitu pusat. Pemerintah daerah pun sering menyatakan bahwa banyak tuntutan masyarakat bukan berada dalam kewenangan mereka, tetapi wewenang pusat, seperti halnya perizinan tambang atau alokasi infrastruktur. Artinya, energi sosial di daerah tidak seharusnya habis untuk konflik horizontal, sementara akar masalahnya berada di tingkat pusat.
Penutup
Pada akhirnya, daerahlah yang sejatinya menghidupkan pusat karena sumber fiskal negara sebagian besar berasal dari daerah. Maka langkah yang harus ditempuh adalah mengembalikan ruh desentralisasi dan otonomi daerah dengan cara mengembalikan kewenangan daerah secara penuh.
Selain itu, peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi rakyat dan wilayah harus diperkuat, tidak hanya dalam fungsi pengawasan dan pengusulan, tetapi juga dalam pengambilan keputusan strategis yang menyangkut kepentingan daerah.
Sekali lagi, persoalan ini bukan tentang menciptakan dikotomi pusat dan daerah, tetapi tentang menegaskan keadilan bagi daerah dalam membangun bangsa.








Komentar