1. Beranda
  2. Headline
  3. Kabar

Dari Yatim Piatu hingga Rimba Falabisahaya: Perjalanan Penuh Luka dan Kerja Keras Ade Saman

Oleh ,

Hidup tak pernah memberi ruang jeda bagi Ade Saman. Sejak usia belia, ia telah dipaksa berdamai dengan kehilangan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan menata hidupnya sendiri di tengah kerasnya alam serta dunia kerja industri kehutanan.

Ade Saman lahir pada 15 Maret 1965 di Desa Sumae, Kecamatan Bacan, Halmahera Selatan. Usianya baru menginjak tujuh tahun ketika ibunya wafat. Sejak saat itu, ia hidup hanya bersama sang ayah. Namun duka kembali menimpanya. Saat Ade masih duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar (SD), ayahnya menyusul sang ibu berpulang.

Menjadi yatim piatu di usia sangat muda, Ade memutuskan mencari keluarga dari garis ayahnya. Ia berlayar menuju Pulau Makian dan tinggal bersama paman—kakak dari ayahnya. Di sanalah Ade melanjutkan sekolah, belajar mengaji, dan mencoba kembali menata hidup. Namun takdir kembali menguji. Paman yang menjadi tempatnya bergantung pun meninggal dunia.

Ade Saman (kiri) dan Jurnalis Halmaherapost.com, Amco (kanan). Foto : Amco/Halmaherapost

Meniti Hidup dari Dunia Kerja

Pada 1985, Ade mulai menimba pengalaman kerja di PT Barito Putera cabang Sidangoli. Selama kurang lebih lima tahun, ia bekerja dengan tekun hingga akhirnya pada 1990, sebuah kesempatan besar datang menghampiri.

Ia dipertemukan dengan pimpinan sebuah perusahaan yang kemudian menawarinya bekerja di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) Falabisahaya, di bawah naungan PT Vista (Persero). Tak hanya ditawari pekerjaan, Ade juga dipercaya mengemban tanggung jawab penting: merekrut tenaga kerja.

Sekitar 150 calon karyawan berhasil ia kumpulkan dari Halmahera. Ditambah 100 karyawan lain yang direkrut langsung oleh perusahaan, total 250 orang diberangkatkan ke Falabisahaya pada tahun 1990, termasuk Ade sendiri.

Setelah menyepakati akad atau perjanjian kerja, Ade ditempatkan di bagian penyemaian bibit pohon HTI PT Vista (Persero). Selama kurang lebih lima tahun, ia bekerja dengan penuh ketekunan di sektor tersebut.

Pernikahan, Gempa, dan Konflik

Di tengah kerasnya dunia kerja, Ade menemukan sandaran hidup. Pada 1992, ia bertemu seorang perempuan yang kemudian dipersuntingnya menjadi istri. Namun di tahun yang sama, perusahaan HTI tempatnya bekerja sempat mengalami penutupan.

Ade lalu dipindahkan ke bagian logging dan terus bekerja hingga 1998. Tahun itu menjadi titik balik lain dalam hidupnya ketika gempa dahsyat mengguncang Falabisahaya. Para pekerja, termasuk Ade, sempat diistirahatkan pasca-bencana.

Belum pulih sepenuhnya, tahun 1999 Maluku dan Maluku Utara dilanda konflik sosial. Meski Falabisahaya tidak terdampak langsung, ketakutan membuat banyak karyawan memilih pulang ke kampung halaman.

Tinggal Pengalaman dan Sepenggal Kertas

Memasuki 2004, perusahaan kembali memanggil para pekerja. Namun tak lama berselang, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran dan pemutihan karyawan pun terjadi.

Kini, Ade Saman hanya menggenggam pengalaman panjang, bahagia di Falabisahaya bersama sang istri serta empat orang putra dan satu orang putri.

Waktu berlalu, ditangan Ade hanya tersisah selembar kertas sebagai bukti bahwa ia pernah mengabdikan tenaga dan hidupnya di industri pengelolaan sumber daya alam kayu di Falabisahaya.

Nasib serupa juga dialami Abdurrahman Tidore, mantan karyawan PT Barito Putera lainnya. Keduanya menjadi potret nyata para pekerja yang menghabiskan usia produktif di rimba, namun menutup perjalanan dengan kenangan, bukan kepastian.

Berita Lainnya