Jurnalisme
Pentingnya Peran Jurnalisme Damai di Maluku Utara

Ternate, Hpost – Isu konflik kerap memicu seseorang atau kelompok tertentu untuk bertindak. Dengan demikian, kehadiran media arus utama punya berperan penting dalam meredam itu.
Hal itu disampaikan salah satu wartawan senior, Ismit Alkatiri, dalam dialog bertemakan; ‘Coffe Night Awak Media dalam Jurnalisme Damai’ yang digelar Kantor Wilayah Kementerian Agama Maluku Utara di Kafe Lebah, Kota Ternate, Sabtu 17 April 2021.
“Jadi dalam suatu konflik misalnya, media arus utama bisa bertindak sebagai pemadam kebakaran, tapi bisa juga menjadi pemicu,” ungkap Ketua Dewan Redaksi Harian Malut Post ini.
Apalagi saat ini banyak informasi yang dengan mudah tersalurkan lewat media sosial, dan secara langsung mendapat berbagai tanggapan dari warganet.
Ironisnya, di media sosial tak sedikit isu-isu yang sudah dipoles dan berpotensi mengarah pada konflik, kerap diabaikan oleh media arus utama.
Jadi pembaca harus lebih jelih memilah informasi. Baik dari media sosial maupun media arus utama itu sendiri," ucapnya.
Sebagaimana peristiwa berdarah di belantara hutan Halmahera beberapa waktu lalu. Di mana, tak sedikit media menulis nama suku tertentu sebagai dalang di balik tragedi tersebut.
“Jadi minimal ketika menulis satu peristiwa atau tentang suku tertentu, wartawan harus pelajari lebih dulu. Harus lebih teliti lagi,” ujarnya.
Bagi dia, kunci jurnalisme damai bukan sekadar memberitakan hal-hal damai semata. “Tapi juga menjaga kedamaian di balik konflik,” pungkas Ismit.
Salah satu wartawan senior, Mahmud Ici, yang juga hadir dalam dialog tersebut menuturkan, jurnalisme damai wajib melekat pada sebuah perusahaan media maupun wartawan itu sendiri.
Jurnalisme damai, menurut dia, harus berangkat dari wartawan yang memiliki jiwa dan pikiran yang damai.
“Sehingga dalam tulisannya bisa membawa kedamaian,” ucap wartawan Mongabay-Indonesia dengan wilayah liputan Maluku Utara ini.
Ia bilang, media punya dua peran. Pertama, bisa menjadi penerang. Tapi bisa juga menciptakan ketegangan. “Jangan sampai media justru menjadi sumber konflik yang berakibat ketegangan di tengah masyarakat,” tuturnya.
Sebab ketika konten atau informasi yang disajikan ke publik tidak didasarkan pada kaidah-kaidah jurnalistik atau Undang-Undang Pers dan Kode Etik, maka akan menimbulkan masalah.
Mici – sapaan akrab – Mahmud Ici, memaparkan, survei yang pernah dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), bahwa banyak wartawan yang masih minim memahami kode etik jurnalistik.
"Padahal, dalam menulis peristiwa yang berkaitan dengan isu SARA misalnya, itu sudah diatur dalam kode etik dan Undang-Undang Pers. Jadi apapun alasannya, wartawan dilarang menulis narasi yang langsung mengarah ke isu SARA," tegas Mici.
Mantan redaktur Harian Malut Post ini mengakui, bahwa terkadang ada yang beranggapan; menulis tanpa dibumbui konflik tidak akan menarik. Sebab dengan konflik, sebuah berita akan menjadi menarik.
“Tapi wartawan atau media dalam mengola informasi atau konflik, harus melahirkan satu solusi. Bukan justru menimbulkan masalah baru,” tuturnya.
Mici mengambil contoh kasus berdarah di hutan Halmahera beberapa waktu lalu. Di mana, banyaknya pemberitaan terkait peristiwa itu, tanpa disadari akan menjadi konflik baru.
“Karena ada unsur melakukan penghakiman sebelum pengadilan memutuskan. Di sini saya melihat yang paling berat adalah orang belum divonis bersalah, tapi media sudah memvonis,” tuturnya.
Di akhir pemaparannya, Mici justru lebih khawatir dengan dinamika informasi yang bertebaran bebas di media sosial. Karena di media sosial hanya menyajikan tanpa ada verifikasi.
Sementara, media arus utama lebih dulu memverifikasi sebelum publikasi. “Sedangkan tujuan verifikasi itu untuk menghentikan disinformasi," pungkasnya.
Komentar