Proyek

Praktisi Hukum Desak Tindak Lanjut Dugaan Korupsi Proyek Jalan di Sula

Ilustrasi

Praktisi hukum Maluku Utara, Muhammad Tabrani, mendesak Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula untuk segera menindaklanjuti dugaan korupsi dalam proyek peningkatan ruas jalan Waitina–Kou tahun 2022.

Proyek yang dilaksanakan oleh CV NUM tersebut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp2,4 miliar, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Maluku Utara.

Temuan itu tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor: 10.B/LHP/XIX.TER/05/2022, yang menyebut adanya kelebihan pembayaran dari pemerintah daerah kepada penyedia jasa yang tidak sesuai dengan progres fisik pekerjaan di lapangan.

“Ini bukan masalah teknis biasa. Ketika dana dicairkan sebesar 71,25 persen, tapi progres fisik baru 48,71 persen, maka jelas ada potensi kejahatan keuangan negara,” tegas Tabrani, Senin, 14 Juli 2025.

Menurut Tabrani, dari sudut hukum administrasi, tanggung jawab ada pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PPK wajib mengawasi pelaksanaan kontrak agar sesuai ketentuan.

“Pemutusan kontrak memang sudah dilakukan, tapi pencairan dana tetap berjalan melebihi progres riil. Ini bentuk kelalaian administratif yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh pejabat administrasi,” jelasnya.

BPK pun merekomendasikan agar Pemerintah Daerah menagih kembali kelebihan pembayaran sebesar Rp2,4 miliar dari CV NUM dan mengenakan sanksi administratif, termasuk memasukkan nama penyedia ke dalam daftar hitam (blacklist).

Tabrani juga menyoroti aspek hukum perdata, mengingat hubungan antara Dinas PUPR dan CV NUM berlandaskan kontrak kerja.

“CV NUM telah gagal menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Maka, pemutusan kontrak sah, dan jika penyedia tidak mengembalikan kelebihan pembayaran secara sukarela, maka gugatan wanprestasi bisa diajukan ke pengadilan,” ujar Tabrani.

Ia menambahkan, Pasal 1313, 1320, dan 1239 KUH Perdata mengatur tentang wanprestasi dalam perjanjian. Bahkan, jika ditemukan unsur kelalaian atau kesengajaan, maka Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum juga dapat diterapkan.

Jika upaya administratif dan perdata tidak dijalankan oleh Pemda Sula maupun CV NUM, maka menurut Tabrani, jalur hukum pidana harus ditempuh sebagai ultimum remedium atau langkah terakhir.

“Bupati harus segera menindaklanjuti rekomendasi BPK secara tertulis kepada PPK dan Inspektorat. Bila dalam 60 hari tidak ada pengembalian ke kas daerah, maka temuan ini harus ditingkatkan menjadi laporan dugaan tindak pidana korupsi,” tegasnya.

Tabrani juga menekankan perlunya penyelidikan untuk mengetahui apakah terdapat unsur kesengajaan atau kolusi antara PPK dan penyedia jasa.

“Kalau terbukti ada rekayasa atau pencairan disengaja melebihi progres riil, maka pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula tidak boleh mengabaikan temuan ini. Ia menilai, publik menunggu ketegasan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran keuangan negara.

“Jangan sampai kasus ini berakhir tanpa kepastian hukum. Rekomendasi BPK itu wajib ditindaklanjuti, bukan hanya jadi dokumen yang menumpuk di meja,” tandasnya.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas PUPR Kepulauan Sula, Jainudin Umaternate, membenarkan bahwa pihaknya telah menyampaikan rekomendasi BPK kepada CV NUM.

“Kami sudah sampaikan ke penyedia untuk segera menindaklanjuti temuan BPK, tapi hingga saat ini belum ada tanggapan resmi dari mereka,” kata Jainudin saat dikonfirmasi.

Ia menambahkan, pihaknya masih menunggu inisiatif dari CV NUM untuk menyelesaikan kewajibannya, baik melalui pengembalian dana atau klarifikasi resmi.

Penulis: Amco
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga