Pedagang Kaki Lima

Suara Hati Pedagang di Ternate yang Semakin Dicekik Retribusi

Mulyati, pedagang di Pasar Inpres Bastiong Ternate, saat membuka lapaknya, Minggu 5 Oktober 2025 || Foto: Risman/Halmaherapost

Mulyati duduk di bangku kecil di depan lapaknya yang penuh tumpukan sandal dan sepatu. Tangannya sibuk menepuk-nepuk debu di atas rak kayu, sementara pandangannya kosong menatap lorong pasar Bastiong yang sepi. Hanya sesekali terdengar suara motor melintas, atau langkah pembeli yang tak lebih dari hitungan jari.

“Dapat Rp200-300 ribu sehari saja sudah susah sekarang,” ucapnya lirih, sambil menarik napas panjang. “Padahal pajak lapak ini tiap bulan Rp800 ribu lebih, belum lagi restribusi sampah Rp50 ribu, jasa usaha Rp2 ribu per hari. Tapi kalau jualan begini terus, mau bayar dari mana?”

Pertanyaanya itu tidak mampu dijawab dan menambah kerisauan tersendiri, setelah ada perbedaan nilai pajak bulanan, antara penjual didalam dan diluar,"Omset menurun, sementara pajak bulanan yang tinggi," harapnya, agar ada perubahan cara penagihan.

Sudah hampir 12 tahun Mulyati berjualan di pasar Bastiong. Ia tahu betul kapan pasar ramai dan kapan lesu. Tapi kali ini, katanya, “beda sekali.” Pasar yang dulu riuh kini kian redup.

Lorong-lorong sempit di antara lapak yang berhimpitan kini terasa longgar. Beberapa meja penjual kosong tanpa barang dagangan. Hanya suara ojek yang berkumpul di pinggir jalan, pedagang gerobak, penjual asongan, dan aroma ikan dari arah pasar basah yang masih memberi tanda kehidupan.

Sementara itu, di pasar Gamalama, hiruk-pikuk masih sedikit terasa. Para penjual buah berjajar rapi, sibuk mengupas jeruk dan nenas, mencampurnya dalam wadah plastik untuk dijual kembali. “Sudah 10 tahun saya jualan di sini,” kata Mardia, sambil tersenyum kecil. “Bayar iuran Rp350 ribu per bulan, restribusi sampah Rp50 ribu, jasa pasar Rp2 ribu. Mau ramai, mau sepi, tetap harus bayar.”

Suasana lapak Mulayati yang dihampiri calon pembeli || Foto: Risman/Halmaherapost

Di tengah lesunya daya beli masyarakat, petugas retribusi dari Dinas Perhubungan tetap setia berjaga di gerbang pasar Bastiong. Dengan wajah tertutup kain menahan panas, mereka menagih retribusi kendaraan secara manual—dari motor hingga mobil yang keluar masuk pasar.

Asri, penjual tahu isi, menunjukkan kartu retribusi sampahnya. “Ini tiap bulan Rp50 ribu, dari Perda Nomor 14 Tahun 2023. Petugas datang tagih manual,” jelasnya sambil mengelap keringat di dahi.

Ironinya, di saat para pedagang kecil harus berjuang menutupi biaya retribusi dan sewa lapak, kinerja retribusi daerah justru seret. Data menunjukkan, capaian retribusi pelayanan kebersihan baru 66,2 persen dari proyeksi Rp7 miliar—baru sekitar Rp4,6 miliar. Dari 10 jenis retribusi daerah, sebagian besar bahkan masih di bawah 60 persen.

Ketua Badan Kehormatan DPRD Kota Ternate, Mohtar Bian, menilai lemahnya inovasi OPD yang mengelola retribusi menjadi penyebab utama stagnasi PAD.

“Harusnya target PAD kita Rp200 miliar, karena penduduk Ternate bertambah tiap tahun. Tapi yang direncanakan hanya Rp144,188 miliar, dan sampai September 2025 baru 40,37 persen tercapai,” ujarnya geram.

Suasana lapak pasar buah di kawasan pasar Gamalama Ternate, pada Sabtu 4 Oktober 2025 || Foto: Risman/Halmaherapost

Nada serupa juga datang dari Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kota Ternate, Zulfikri Andili. Ia menyebut OPD retribusi perlu dievaluasi menyeluruh.

“Kalau tahun 2026 nanti dana transfer dari pusat dikurangi 21 persen dari Rp155 miliar, pelayanan masyarakat pasti terganggu,” tegasnya. “Dan setiap kali kami minta data di Komisi II, tidak pernah diberikan. Ini masalah serius.”

Ia bahkan mendesak Wali Kota dan Wakil Wali Kota Ternate untuk mengganti pimpinan Disperindag. “Kalau tidak, nanti kesannya OPD bisa ‘olah’ DPRD,” sindirnya.

Kondisi keuangan Kota Ternate yang melemah membuat penyesuaian anggaran tak terelakkan di tahun depan. Namun di tengah kebingungan dan lemahnya pengawasan legislatif, rakyat kecil seperti Mulyati, Asri, dan Mardia tetap harus membayar kewajiban mereka—meski pasar sepi dan penghasilan menurun drastis.

Di pasar Bastiong, sore itu matahari mulai condong ke barat. Mulyati kembali menatap lapaknya yang sunyi. Tak ada pembeli yang datang. Hanya harapan yang tersisa—bahwa suatu hari, pemerintah benar-benar peduli, dan pendapatan daerah bisa tumbuh bukan dari pungutan yang mencekik, melainkan dari kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

Penulis: Ris
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga