Pemerintah

Kondisi Fiskal Memburuk, Pemkot Ternate Diminta Tinggalkan Cara Lama!

Dr. Julfi Jamil. Foto: Ist

Kondisi fiskal Kota Ternate kian memburuk menyusul pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang belum mencapai target memperparah situasi, memaksa pemerintah kota berpikir ulang soal strategi pengelolaan keuangan.

Data Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) per 30 September 2025 mencatat realisasi PAD baru mencapai 65,22 persen dari target Rp144,818 miliar. Penerimaan dari pajak daerah sebesar Rp73 miliar atau 83,12 persen dari target Rp88,818 miliar. Sementara itu, retribusi daerah baru terealisasi 40,93 persen dari target Rp38,8 miliar.

Sektor pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan tercatat sudah mencapai 100 persen dari target Rp3,5 miliar. Namun, masih terdapat piutang sebesar hampir Rp20 miliar yang belum tertagih, khususnya dari pajak dan retribusi. Beberapa sektor dengan capaian terendah adalah penyewaan tempat usaha, pasar grosir, pertokoan, dan layanan publik lainnya.

Pengamat kebijakan publik, Dr. Julfi Jamil, menyebut kondisi fiskal Ternate sebagai "lampu merah" yang tak bisa lagi diabaikan. Menurutnya, pendekatan pengelolaan PAD yang masih konvensional menjadi salah satu penyebab lemahnya pendapatan daerah.

“Selama ini sektor-sektor potensial seperti parkir masih dikelola secara tradisional. Kalau kita pakai sistem digital seperti palang parkir elektronik, kebocoran bisa ditekan, pendapatan bisa naik signifikan. Lihat saja Terminal, Pasar Gamalama, Pasar Bastiong, semuanya masih manual,” tegas Julfi.

Ia menekankan bahwa pemotongan TKD secara nasional telah mengurangi Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama ini menjadi tulang punggung fiskal daerah. Dalam situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain bagi Pemkot Ternate kecuali meninggalkan pola lama dan beralih ke pendekatan baru yang inovatif dan efisien.

Julfi juga menyoroti minimnya langkah digitalisasi dalam tata kelola pemerintahan Kota Ternate. Padahal, infrastruktur digital di kota ini menurutnya sudah cukup tersedia.

“Kenapa surat-menyurat, rapat, dan tanda tangan masih dilakukan manual? Digitalisasi itu bukan soal gaya hidup. Ini soal efisiensi dan penyelamatan fiskal. Sayangnya, banyak pejabat masih belum punya kesadaran ini,” ujarnya.

Tak hanya dari sisi pendapatan, beban belanja juga menjadi sorotan. Julfi menyarankan Pemkot melakukan efisiensi serius pada pos belanja tidak produktif, termasuk perjalanan dinas dan anggaran operasional rutin yang terus membengkak dari tahun ke tahun.

“Postur anggaran kita sangat berat di belanja pegawai. Harus ada evaluasi menyeluruh agar ruang fiskal tidak semakin sempit. Jangan sampai semua habis untuk belanja rutin, tapi tidak ada yang tersisa untuk layanan publik,” katanya.

Julfi menegaskan bahwa semangat otonomi daerah seharusnya melahirkan kemandirian fiskal. Namun faktanya, masih banyak daerah, termasuk Ternate, yang terlalu bergantung pada dana pusat.

“Otonomi bukan cuma soal kewenangan, tapi soal kemampuan membiayai dirinya sendiri. Kalau PAD-nya terus lemah dan cara-cara lama tetap dipertahankan, maka otonomi hanya tinggal jargon,” ungkapnya.

Julfi juga menyampaikan dua hal mendesak yang harus dilakukan Pemkot Ternate untuk menyelamatkan fiskalnya: yakni meningkatkan optimalisasi PAD dari semua sektor yang selama ini bocor atau belum tergarap serius, serta melakukan efisiensi belanja, terutama belanja pegawai dan operasional rutin yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik.

“Kalau pemerintah kota masih berpikir dan bertindak dengan cara lama, jangan salahkan siapa-siapa kalau fiskal makin rapuh dan pelayanan publik ikut tergerus,” pungkasnya.

Penulis: Ris
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga