Inspirasi

Ketika Jalan Jadi Rumah: Kisah Mito, Tukang Ojek dari Fitu, Ternate

Abdul Hamid Kharie, Tukang Ojek dari Fitu, Ternate. Foto: Ris

Jaket sweater hitam yang mulai pudar, celana jeans lusuh, dan sandal jepit menjadi pakaian sehari-hari Abdul Hamid Kharie. Lelaki 39 tahun itu duduk di emperan toko kawasan Gamalama, Ternate, dengan tatapan awas menatap jalan yang tak pernah sepi.

Sesekali suaranya terdengar lantang namun ramah, “Ojek... ojek!” Panggilan sederhana yang telah menjadi napas perjuangannya selama bertahun-tahun di jalanan Kota Ternate.

Mito—begitu ia disapa—tinggal di Kelurahan Fitu, Kecamatan Ternate Selatan. Di kalangan ojek pangkalan Gamalama dan Falajawa, namanya cukup dikenal.

Sejak tahun 2007, ojek menjadi tumpuan hidup Mito. “Awalnya cuma iseng narik ojek, tapi dari sinilah saya bisa bertahan,” ujarnya sambil menyalakan rokok. Asapnya mengepul di antara lalu lintas yang ramai, seolah menandai kelelahan yang tak pernah benar-benar pergi.

Namun, hidup Mito tak selalu bergulir di atas motor. Tahun 2011, ia mencoba peruntungan di dunia kerja formal. Ia diterima sebagai sales di PT Djarum, dengan gaji lebih dari lima juta rupiah per bulan.

“Waktu itu saya pikir hidup bakal berubah,” kenangnya.

Tapi harapan itu pupus dua tahun kemudian. Ia diberhentikan karena kelalaian setelah terjadi kehilangan uang perusahaan sebesar Rp25 juta.

“Tanpa kompromi, saya langsung diberhentikan,” ucapnya lirih.

Tak menyerah, Mito kemudian bekerja di PT Coca-Cola selama tiga tahun. Namun, nasib buruk kembali menimpanya. Seorang konsumen langganan mengelabuinya dan tidak membayar ke perusahaan, menimbulkan kerugian hingga Rp250 juta.

“Lagi-lagi saya kena imbas. Akhirnya diberhentikan juga,” katanya pelan.

Tahun 2019, Mito melamar ke PT IWIP Industrial Park di Halmahera Tengah. Selama empat tahun bekerja, ia berharap kehidupannya lebih stabil. Tapi, nasib berkata lain—ia kembali diberhentikan karena alasan kelalaian. Hingga kini, pesangon empat tahun kerjanya di IWIP belum juga diterima.

Februari 2024 menjadi titik balik. Mito kembali ke jalanan Kota Ternate, kembali menjadi ojek pangkalan—pekerjaan yang dulu dianggap sampingan, namun kini menjadi penyelamat hidupnya. Persaingan kini semakin ketat. Ojek online menjamur di Ternate, membuat penghasilan ojek pangkalan seperti Mito menurun drastis.

“Dulu saya bisa dapat Rp300 sampai Rp500 ribu sehari. Sekarang paling Rp150 ribu,” ujarnya dengan senyum pasrah.

Pemerintah sempat memberikan insentif Rp300 ribu melalui program Ojek Andalan Kota Ternate pada tahun 2024. Namun bantuan itu hanya datang sekali.

“Saya cuma dapat satu kali, lewat rekening Bank BPRS. Setelah itu sudah tidak lagi,” katanya sambil menggeleng pelan.

Motor yang menjadi alat utama mencari nafkah kini masih menunggak di PT Adira Finance selama satu tahun tiga bulan. Setiap bulan, Mito harus menyisihkan Rp2.637.000 untuk cicilan.

“Kalau saya narik Rp200 ribu, separuhnya langsung saya simpan buat bayar motor,” tuturnya sambil menepuk kantong jaketnya yang tipis.

Soal tarif, Mito hafal di luar kepala. Dalam kota, ia biasanya menarik ongkos sekitar sepuluh ribu rupiah. Ke arah utara, menuju Dufa-Dufa, bisa mencapai lima belas hingga dua puluh ribu rupiah. Sementara ke selatan, ke daerah Kalumata, tarifnya tak jauh beda. Perjalanan ke bandara biasanya dihargai lima puluh ribu rupiah, dan ke daerah Gambesi bisa mencapai tiga puluh ribu rupiah.

“Tarif itu cuma patokan saja, belum ada aturan resmi dari pemerintah,” jelasnya.

Mito juga mengaku belum pernah menerima manfaat dari BPJS Ketenagakerjaan. “Katanya ada program Ojek Andalan yang bagi BPJS, tapi saya tidak pernah dapat. Cuma insentif itu saja,” ujarnya.

Setiap hari, dari pagi hingga senja, Mito memacu motornya menyusuri jalanan Ternate. Kadang hujan, kadang terik, tapi roda motornya tak pernah berhenti.

“Kalau rezeki memang sudah diatur. Kadang dapat, kadang tidak. Tapi saya selalu optimis,” katanya sambil tersenyum kecil, menyembunyikan lelah yang menahun.

Di tengah kerasnya hidup, tunggakan cicilan, dan penghasilan yang kian menipis, Mito tetap memilih bertahan. Baginya, selama motor masih bisa dikendarai dan jalan masih terbentang, hidup tetap harus dijalani. Jalanan bukan sekadar tempat mencari uang—di sanalah rumahnya berada.

Penulis: Ris
Editor: Ramlan Harun

Baca Juga