Cendekia

Minyak Cengkeh Hiri: Mengembalikan yang Hilang

Wawan Ilyas. Foto: Ist

Oleh: Wawan Ilyas (Pemuda Hiri)

=====================================

CENGKEH, atau dikenal sebagai Syzygium aromaticum, tanaman endemik hutan tropis kepulauan Maluku, telah lama dikenal sebagai bumbu dapur, pengawet makanan, bahan pengobatan, kosmetik, aromaterapi, hingga komoditas mewah yang diperebutkan bangsa-bangsa di dunia. Demi mendapatkan cengkeh, mereka menaklukkan samudra dengan ragam armada dan pasukan, serta menjalankan diplomasi yang sering berujung pada penjajahan atas bumi dan masyarakat Nusantara.

Cengkeh, dalam arti itu, membentuk cerita tentang kekuasaan, keserakahan, status sosial, agama, budaya, ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan yang mengalir melalui perdagangan internasional dan kota-kota pelabuhan seperti Ternate. Antony Reid menyebut dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680 bahwa hingga abad ke-17, kota-kota di Asia lebih besar dari segi aktivitas dagang dan pertumbuhan dibandingkan di Eropa, termasuk Ternate.

Seperti tebu dan kopi, cengkeh memperkuat status sosial, membagi masyarakat Nusantara ke dalam kelas, dan menempatkan orang pribumi sebagai kelas sosial paling rendah di bawah orang Arab, Gujarat, dan Cina. Orang pribumi dianggap pekerja kasar, pemalas, dan tidak produktif. Cengkeh diatur mulai dari penanaman, penjualan, siapa yang berhak menikmati masakan bergengsi dari bumbu ini, hingga ruang yang bisa dihidangkan. Bahkan, cengkeh menjadi bukti bagi Raja Eropa bagi mereka yang ingin membuktikan telah menjelajahi samudra dan mengelilingi dunia, “Dunia Maluku”.

Sidney Mintz dalam Sweetness and Power menunjukkan bagaimana kolonialisme dan kapitalisme bersinergi melalui tebu, yang mengubah selera, mengklasifikasikan masyarakat, dan memengaruhi relasi sosial. Pemakaian gula tidak lagi terbatas di kalangan elit, tetapi merambah ruang domestik hingga tempat-tempat ngopi lintas kelas. Lewat rasa, identitas kelas melebur, dan orang-orang dari latar berbeda dapat berinteraksi tanpa merasa superior, menjadi kekuatan perkembangan budaya.

Pertanyaan muncul: mengapa orang Jawa Tengah suka makanan manis, sementara orang Timur Indonesia lebih familiar dengan pedas? Jawabannya terkait sejarah, politik pangan, geografi, topografi, kekuasaan, hingga kosmologi masyarakat. Selera manis di Jawa muncul karena penanaman tebu pada masa kolonial, sedangkan pedas di Timur berasal dari cengkeh yang tumbuh di sana.

Permintaan gula meningkat seiring tebu dan ekonomi Jawa berkembang, sementara rasa pedas dari cengkeh perlahan hilang akibat pembabatan hutan dan pengambilalihan perkebunan. Hilangnya selera ini melemahkan produktivitas masyarakat dari hulu hingga hilir.

Sebagai pembelajar, saya melihat praktik pengolahan Minyak Cengkeh Pulau Hiri oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Buku Manyeku, Dorari Isa, Pulau Hiri, sebagai gebrakan besar di tengah memudarnya nilai cengkeh—ekonomis, sosial, maupun budaya. KTH ini menjadi inspirasi karena tetap menjaga identitas rempah dan pengetahuan tradisional, meski berada di pulau kecil dan bukan penghasil utama cengkeh di Maluku Utara.

Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara mencatat 282 kelompok tani hutan, dengan 26 kelompok memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, yaitu cengkeh. Di Kota Ternate, ada enam kelompok yang memproduksi minyak cengkeh, namun hanya KTH Buku Manyeku yang konsisten bertahan hingga kini, diketuai Bapak Dahlan Toniku. Kelompok ini mulai menyuling rempah sejak 2019 dengan peralatan sederhana, namun mampu merawat identitas rempah Maluku.

Yang Hilang

Persoalan selera dan aroma bumbu rempah alami lebih membentuk jiwa nasionalisme dan kesadaran sejarah dibandingkan mata pelajaran PPKN di sekolah. Pertanyaan penting: dalam setahun terakhir, pernahkah kita menikmati makanan dengan bumbu dan aroma cengkeh asli? Jika ditanya anak muda Maluku Utara, hampir semuanya mengaku tidak pernah.

Cengkeh dan aroma khasnya semakin jarang dijamah lidah masyarakat lokal, bukan karena tidak suka, tetapi karena secara sistematis tak diperhatikan sebagai keistimewaan kuliner. Hal ini merupakan hasil proses sejarah panjang dan struktur ekonomi-politik yang menempatkan cengkeh di level bawah. Narasi modernitas melalui makanan instan dan gaya hidup mall juga membuat masyarakat melupakan keistimewaan kuliner lokal.

Sejak monopoli VOC dan praktik Hongi Tochten, cengkeh hidup terbatas di Maluku. Masyarakat perlahan kehilangan selera terhadap aroma cengkeh, termasuk rantai nilai perdagangan yang mendukung peradaban lokal. Di Eropa, penemuan mesin pendingin pada masa Revolusi Industri menggantikan fungsi pengawet makanan sebelumnya. Berabad-abad lamanya, cengkeh kurang diperhatikan karena nilai ekonomisnya menurun.

Cengkeh kembali mendapat tempat saat industri kretek ditemukan di Kudus, Jawa Timur, pada akhir 1880. Industri ini memanfaatkan cengkeh sebagai bahan baku utama, selain tembakau, dan berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara melalui cukai.

Namun, konservasi tanaman cengkeh dan pengembangan produk olahan berkelanjutan di Maluku Utara menghadapi tantangan besar. Tutupan hutan dan perkebunan berkurang karena struktur ekonomi menempatkan pertambangan sebagai prioritas. Sementara itu, ekspor utama Maluku Utara tetap berupa nikel, besi, dan baja, bukan rempah.

Anak-anak muda lebih memilih bekerja di industri eksploitasi lingkungan daripada menjadi pengolah hasil hutan. Etos kerja, pengetahuan budaya, dan aroma rempah pun terancam hilang dari perilaku sehari-hari.

Konservasi dan Penguatan Institusi

Aktivitas pengolahan rempah dianggap “terbelakang” atau “tidak menjanjikan”. Label ini menempel di generasi muda karena kebijakan negara jarang menempatkan pertanian, perkebunan, perhutanan, atau perikanan sebagai basis pertumbuhan. Regenerasi pengolah hasil hutan pun menurun.

Negara belum konsisten dengan langkah konservasi rempah, padahal Maluku Utara kaya gastronomi dan menyediakan bahan utama seperti cengkeh, sagu, pala, kelapa, cokelat, dan kayu manis. Program konservasi yang menggabungkan pemberdayaan komunitas sebagai kesatuan utuh masih minim. Penelitian perguruan tinggi sering lebih fokus pada AMDAL perusahaan daripada konservasi dan pemberdayaan masyarakat.

Saat ini, cengkeh juga menghadapi tantangan global. FDA menemukan pencemaran radioaktif Cesium-137 pada cengkeh Indonesia dari PT Natural Java Spice, Surabaya, sehingga sebanyak 21,6 ton dikembalikan ke Indonesia. Temuan ini menciptakan stigma dan mengancam petani lokal.

Mengembalikan Nilai Cengkeh

Industri pertambangan mengubah selera dan perilaku sosial, melemahkan semangat bertani, dan menurunkan perhatian terhadap rempah. Di sinilah KTH Buku Manyeku di Pulau Hiri menjadi inspirasi. Kelompok ini tetap menyuling minyak cengkeh meski terbatas, dengan izin produksi hutan sosial bukan kayu seluas 85 hektar.

Bapak Dahlan Toniku menekankan bahwa yang penting adalah kesadaran sejarah cengkeh dan perawatan identitas rempah melalui pengetahuan tradisional. Pengetahuan ini diregenerasikan ke anak laki-lakinya, Junaidi Dahlan, dan kemanakan Taufik Ayub.

Proses destilasi dilakukan dengan metode uap dan air selama delapan jam per batch, dengan bahan utama gagang dan bunga cengkeh. Daun kering coklat kekuningan dipilih karena lebih tebal dan menghasilkan minyak lebih banyak. Produksi rata-rata 50 botol ukuran 10 ml per batch. Satu botol dijual Rp35.000, cukup untuk keberlanjutan produksi sekaligus edukasi dan konservasi ekosistem rempah. Minyak cengkeh bermanfaat antara lain: meredakan sakit gigi, mengurangi nyeri, meningkatkan sirkulasi darah, libido, serta mengatasi gangguan pernapasan dan masalah kulit.

Mereka memanfaatkan media sosial sebagai strategi pemasaran. Produk ini dapat dinikmati semua kalangan, tanpa pelabelan sosial, menghidupkan kesadaran kolektif tentang identitas dan rempah Maluku Utara.

Secara ekonomi, minyak cengkeh adalah bagian utama minyak atsiri Indonesia. Pada 2022, ekspor minyak atsiri mencapai USD 172,9 juta, dengan tujuan Amerika Serikat, India, Prancis, Tiongkok, dan Spanyol. Namun, produk minyak cengkeh Maluku Utara belum menjadi kontributor signifikan di pasar global.

Rekomendasi Kebijakan

Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengembalikan nilai cengkeh antara lain:

1. Menetapkan program konservasi rempah dan melindungi lahan perkebunan dari konsesi pertambangan.

2. Meninjau ulang dan mendukung kelompok UMKM pengelola hasil hutan bukan kayu agar produksi konsisten dan fasilitas memadai.

3. Memiliki produk unggulan dari cengkeh di tiap kabupaten/kota.

4. Membangun kerja sama riset dengan perguruan tinggi untuk inovasi berbasis pengetahuan lokal.

5. Mengurus Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk produk khas daerah, termasuk Minyak Cengkeh Hiri.

6. Menjamin ketersediaan bahan baku minyak cengkeh bagi pengelola lokal.

7. Memfasilitasi pemasaran minyak cengkeh secara berkelanjutan, memperhatikan rantai nilai perdagangan.

8 Menempatkan produk minyak cengkeh di instansi pemerintah, OPD, dan sekolah sebagai pengingat identitas, selera, dan rempah Maluku Utara.

*Gagasan tulisan ini pernah disampaikan dalam Workshop dan Diskusi “Minyak Cengkeh: Pemajuan Kebudayaan Berbasis Pengetahuan dan Teknologi Tradisional Pulau Hiri,” 23 November 2025, kerja sama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXI Maluku Utara dan KTH Buku Manyeku Pulau Hiri.

Penulis:

Baca Juga