Investasi
Pemprov Maluku Utara Dorong Pergeseran Investasi ke Wisata Bahari Berbasis Konservasi
Pemerintah Provinsi Maluku Utara mulai mendorong pergeseran arah investasi daerah dari sektor pertambangan menuju pariwisata bahari berkelanjutan. Langkah strategis ini ditegaskan melalui Diskusi Investasi Pengembangan Pariwisata di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang digelar Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Maluku Utara di Bela Hotel Ternate, Kamis 11 Desember 2025
Kepala DPMPTSP Maluku Utara, Nirwan M.T Ali, menegaskan forum tersebut bukan sekadar pertemuan teknis, melainkan titik awal perubahan paradigma investasi daerah yang selama ini terlalu bergantung pada industri tambang, khususnya nikel.
“Sebagian besar kekayaan wisata Maluku Utara berada di kawasan konservasi dengan nilai ekologis tinggi. Karena itu, pengembangannya tidak bisa dengan pendekatan konvensional, tetapi harus berbasis keberlanjutan, pelestarian ekosistem, dan pengelolaan yang melibatkan masyarakat lokal,” ujar Nirwan.
Konservasi Jadi Arah Baru Investasi
Maluku Utara dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kekayaan bahari terbaik di Indonesia—mulai dari terumbu karang, biota laut, hingga budaya maritim. Namun, sebagian besar potensi tersebut berada di kawasan konservasi, sehingga menuntut pendekatan investasi yang lebih hati-hati dan bertanggung jawab.
Mantan Kepala Inspektorat Maluku Utara itu menekankan, pariwisata berbasis kawasan konservasi justru dapat menjadi model investasi masa depan yang memberikan manfaat ganda: mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menjamin kelestarian ekosistem laut.
“Forum ini menjadi ruang untuk merumuskan model investasi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan perairan bagi generasi mendatang,” katanya.
IPRO Jadi Instrumen Kunci
Salah satu target utama forum diskusi ini adalah menghasilkan Investment Project Ready to Offer (IPRO)—dokumen peluang investasi yang telah disiapkan secara matang dan siap ditawarkan kepada investor.
IPRO yang disusun diharapkan memuat antara lain:
- potensi wisata bahari,
- kelayakan ekonomi,
- analisis dampak lingkungan,
- model bisnis,
- skema kemitraan dengan masyarakat lokal,
- serta perlindungan ekologis kawasan konservasi.
Dokumen ini akan menjadi rujukan utama dalam promosi investasi, baik kepada investor nasional maupun internasional.
Ketergantungan Tambang Dinilai Tak Sehat
Kebutuhan diversifikasi investasi dinilai semakin mendesak. Hingga Triwulan III 2025, realisasi investasi Maluku Utara tercatat mencapai Rp61,99 triliun atau 74,37 persen dari target Rp83,63 triliun. Namun, sekitar 90 persen investasi tersebut masih didominasi Penanaman Modal Asing (PMA) sektor pertambangan nikel.
Sebaliknya, sektor pariwisata menunjukkan kontribusi yang sangat kecil. Pada 2024, realisasi investasi pariwisata hanya mencapai Rp3,14 miliar, hampir seluruhnya berasal dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Morotai.
“Ketimpangan ini tidak sehat untuk keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Karena itu, wisata bahari harus mulai didorong menjadi sektor alternatif yang kuat,” tegas Nirwan.
Forum diskusi ini melibatkan unsur pemerintah, pelaku usaha, akademisi, komunitas lokal, dan media—mewujudkan kolaborasi Pentahelix yang dinilai krusial dalam pembangunan pariwisata modern.
“Kami yakin sinergi ini akan melahirkan IPRO yang bukan hanya menggambarkan peluang investasi, tetapi juga memberikan kepastian dan kepercayaan bagi calon investor,” ujarnya.
Di akhir sambutannya, Nirwan menegaskan bahwa diskusi ini menjadi langkah awal transformasi Maluku Utara menuju destinasi wisata bahari berdaya saing, tanpa meninggalkan komitmen terhadap konservasi laut.
“Mari bersama membangun Maluku Utara sebagai destinasi wisata bahari yang unggul, berkelanjutan, dan tetap menjaga identitas kita sebagai daerah kepulauan,” pungkasnya.








Komentar