Catatan Menyambut Pilkada

Lonceng 2020

‏Penulis :

HENDRA KASIM

Direktur Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokrasi Konstitusional)/Advokat & Legal Consultant

Ditengah Konsolidasi Nasional KPU se Indonesia, tepat 23 September 2019, lonceng Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dibunyikan. Petanda tahapan demokrasi lokal pada tahun 2020 di mulai.

Wajah Pemilhan Umum (Pemilu) atau Pilkada yang professional dan bermartabat tergantung 4 (empat) hal mendasar yaitu kualitas pemilih, peserta, regulasi (electoral laws and electoral process) dan penyelenggara.

Pemilih Sadar Hak

Pemilih yang baik adalah pemilih yang sadar hak. Bahwa dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu orientasi ‘policy-problem-solving’ dan orientasi ‘ideology’. Bagi pemilih dengan orientasi ‘policy-problem-solving’, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Sementara, bagi pemilihan dengan orientasi ‘ideology’, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis.(Firman Hamzah:2006)

Menggunakan hak pilih tidak semata menyalurkan hak konstitusional. Menggunakan hak pilih secara filosofis adalah mandate submission kepada setiap calon yang dipilih. Lebih dari itu, menggunakan hak pilih adalah decision-making yang menentukan nasib suatu bangsa/negara/daerah. Karena itu, pemilih wajib sadar hak, agar dapat menentukan pilihannya berdasarkan orientasi ‘policy-problem-solving’.

Peserta Penurut

Peserta yang baik adalah peserta yang taat peraturan perundang-undangan. Tidak ada calon dalam kontestasi demokrasi yang sejak awal mencalonkan diri dengan niat untuk kalah. Sebab itu, peserta Pemilu atau Pilkada melancarkan berbagai macam strategi “politic marketing” untuk mendapatkan simpati pemilih.

Untuk memasarkan produk politik kepada calon pemilih, institusi politik harus mampu menyampaikan pesan-pesan dengan jelas melalui signal-signal atau clues (simbol-simbol) yang dengan mudah dapat dipahami oleh calon pemilih. (Marzuki Alie:2013)

Layaknya transaksi jual beli, penjual akan menggunakan cara apapun untuk memasarkan produk yang dijual, bahkan tak tanggung-tanggung menggunakan 1001 jurus merayu pembeli untuk membeli produknya. Persis di situ, setiap calon akan melancarkan berbagai cara bahkan merayu pemilih untuk menjatuhkan pilihan terhadapnya. Cara yang digunakan tidak selalu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara-cara yang nyata dan tegas dilarang dilanggar. Seperti money politic misalnya.

Persaingan dagang dalam politic marketing berbeda dengan perdagangan lainnya. Dalam politik, seperti ada persekongkolan antar calon. Pelanggaran dilakukan antar calon, diketahui oleh masing-masing. Setiap calon sengaja tidak membuka pelanggaran tersebut, sembari menunggu hasil akhir. Jika, hasilnya tidak memihak maka pelanggaran yang dilakukan akan dibuka. Begitulah persekongkolan mereka, ramai-ramai melanggar hukum, dengan dalih political interests.

Peserta yang baik adalah anak penurut. Taat terhadap aturan main yang berlaku. Peserta yang melancarkan segala cara untuk meraih simpati pemilih tanpa batas etika dan norma, adalah peserta yang merusak penyelenggaraan Pilkada.

‎Norma Sempurna

Regulasi dilihat dari perspektif yakni electoral laws yang berarti sistem pemilihan dan perangkat peraturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu itu; electoral process berarti mekanisme pelimu yang dijalankan dalam pemilu seperti pencalonan, kampanye, cara penghitungan, penentuan hasil dan sebagainya. Baik electoral laws maupun electoral process harus mencerminkan asas demokrasi. (Mahfud MD:2009)

Norma yang mengatur jalannya Pilkada baik materil maupun formil harus tanpa cacat – sempurna. Apakah norma yang mengatur telah demikian, tentu tidak. Masih banyak yang perlu tambal sulam untuk memperbaiki kekurangan norma tersebut. Salah satunya adalah persoalan konstitusionalitas lembaga pengawas, yang hingga saat ini belum ada jalan keluarnya. Khusus mengenai konstitusionalitas lembaga pengawas penulis telah menulis dan di terbitkan media dengan judul “Konstitusionalitas Bawaslu Kabupaten/Kota (Problematika Yuridis Lembaga Pengawas)”. Sebab itu, pada kesempatan ini penulis tidak mengulang mengurai persoalan kelembagan pengawas tersebut. Meskipun begitu, hal itu adalah salah satu contoh norma Pilkada masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Penyelenggara Berintegritas

Pemilu berkualitas dan berintegritas dimulai dari penyelenggaranya yang berkualitas dan berintegritas pula. Kalimat ini telah menjadi semacam tagline yang meniscayakan adanya penyelenggara pemilu berintegritas kalau ingin mewujudkan hasil yang berintegritas. (Majalah Dialektika:2018)

Integritas terletak pada diri setiap orang. Integritas berkaitan dengan etic value yang dipegang teguh oleh setiap orang. Sebab itu, pelanggaran terhadap integritas sudah pasti pelanggaran terhadap etik. Maka, penyelenggara yang menggadaikan integritasnya adalah penyelenggara yang tidak beretika.

Berdasarkan rekap Bawaslu Provinsi Maluku Utara mengenai pelanggaran yang terjadi di Provnisi Maluku Utara pada pelaksanaan Pemilu 2019 lalu tercatat paling tidak ada 37 (tiga puluh tujuh) pelanggaran Pemilu yang melibatkan penyelenggara Pemilu dan berakhir pada saknsi baik etik, pidana maupun administrasi. Dari 37 (tiga puluh tujuh) tersebut, terdiri 1 (satu) kasus melibatkan penyelenggara tingkat KPU Kabupaten, 22 (dua puluh dua) kasus melibatkan penyelenggara tingkat kecamatan yakni PPK, 9 (sembilan) kasus melibatkan penyelenggara tingkat Kelurahan/Desa, dan 5 (lima) kasus melibatkan penyelenggara pengawas. (Bawaslu Malut:2019)

Jika dihitung dengan pelanggaran yang melibatkan penyelenggara Pemilu namun tidak berakhir dengan sanksi karena tidak memenuhi unsur melebihi dari total 37 (tiga puluh tujuh) kasus tersebut. Sebab itu, penulis melihat jumlah demikian merupakan warning bagi penyelenggara Pilkada untuk berikhtiar dalam menyelenggaran Pilkada 2020.

Closing Statement

Lonceng Pilkada 2020 telah dibunyikan. Petanda itu harus dimaknai tidak hanya titik star penyelenggaraan Pilkada bagi Penyelenggara, namun juga harus dibmaknai sebagai pengingat terhadpa semua stakeholder untuk terlibat memnatau dan mengawasi penyelenggara Pilkada menyelenggarakan Pilkada. Karena urusan Pilkada, bukan saja milik penyelenggara tetapi milik semua.[]

Penulis:
Editor: Red

Baca Juga