Opini

Tambang dan Kemiskinan

Masri Anwar Pengurus PW AMAN MALUT

“JIKA TAK SETUJU DENGAN PERTAMBANGAN, kembali saja ke zaman batu. Juga tak usah lagi menggunakan alat-alat yang menggunakan bahan dasar dari mineral”

Pernyataan tersebut adalah olok-olok yang sering dilontarkan pihak-pihak pro pertambangan ketika menanggapi sikap kritis masyarakat terhadap kegiatan pertambangan. Cara pandang yang bisa dikatakan sebagai “bunuh diri filsafat”, atas ketidakmampuannya menjelaskan hubungan antara pertambangan dan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak pernah memiliki korelasi positif itu.

Sejauh ini kehadiran para pelaku pertambangan selalu memberikan ilusi-ilusi tentang “kemakmuran” dan “Kesejahteraan” dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Halmahera. Hal yang sama juga dilakukan oleh para kejahatan korporasi disektor minyak dan gas (migas). Aliran Pendapatan Asli Daerah (PAD), Penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mempercepat pertumbuhan daerah tertinggal, atau mengurangi kemiskinan adalah mantera yang mereka gulirkan terus-menerus untuk menghegemoni masyarakat adat bahwa kehadiran industrialiasi mutlak diperlukan.

Rezim Orde Baru memang sudah lama berlalu, namun rezim-rezim penggantinya masih terus melanggengkan warisan kebijakan sebelumnnya, obral murah dan keruk habis sumber daya alam. Inilah kesesatan berpikir pemerintah yang memaknai era globaliasi dan pasar bebas hanya dari sudut pandang ekonomi semata. Sementara bayang-bayang keterancaman ekologi dan lingkungan hidup yang sudah menghantui kehidupan masyarakat adat di kawasan hutan Halmahera saat ini tidak dipandang penting dan serius. Tidak heran jika pemerintah hari ini pun lebih mengurusi soal bagaimana investor asing menanamkan modalnya di belantara Halmahera, tetapi melupakan nasib masyarakat adat kebanyakan yang tidak pernah memperoleh tetesan dollar karena diangkut para pemodal ke negaranya masing-masing.

Pemerintah seolah tak mau belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga bisa “ dipaksa” oleh korporasi bisnis pertambangan agar mengabulkan semua keinginannya untuk bisa menggeruk cadangan kekayaan alam yang tersisa. Korporasi juga menebar “terror” menggugat pemerintah ke albitrase, internasional jika keinginannya tidak dikabulkan. Momok albiltrase, intervensi kedubes asing inilah yang membuat pemerintah benar-benar tak berdaya.

Pemerintah pun lalu mengeluarkan kebijakan yang membolehkan kegiatan pertambangan di hutan lindung. Meski Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan jelas-jelas melarang kegiatan tambang terbuka di hutan lindung, pemerintah tak peduli. Dengan dalih untuk kepastian hukum dan menciptakan keamanan iklim investasi pemerintah melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.
Untuk melincinkan jalan para korporasi pertambangan itu, pemerintah pun menyiapkan peraturan berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang kemudian disahkan menjadi undang-undang. Inilah jalan pintas yang dipilih pemerintah untuk menyelesaikan polemik penambangan di hutan lindung. Bukan solusi namanya jika kebijakan ini justru malah menghardik,  keberadaan masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hutan-alam.

Seolah tak pernah puas untuk menggeruk cadangan sumber daya alam yang tersisa, pemerintah juga terus memfasilitas korporasi-korporasi tambang untuk menebang di pulau-pulau kecil. Mungkin pemerintah terlalu remeh hilangnya pulau-pulau kecil selama ini yang sebagian besar akibat eksploitasi manusia, sehingga dengan gegabah tetap mengizinkan korporasi melakukan kegiatan penebangan. Korporasi tambang rupanya juga memanfaatkan keuntungan dari situasi yang ada. Pertama, penebangan di pulau kecil relatif terisolasi dari pengematan publik sehingga korporasi bisa melakukan apa saja yang mereka mau. Kedua, memungkinkan korporasi untuk menggunakan teknologi pembuangan limbah tailing ke laut-karena ongkosnya lebih murah. Itu pula sebabnya perusahaan-perusahaan tambang juga tak peduli kalau daerah lokasi penabangannya bakal mengancam Kawasan warisan kearifan lokal yang ada di masyarakat adat.

Kabupaten Halmahera Tengah, salah satu kabupaten di Maluku Utara, kaya akan potensi sumber daya alamnya (SDA) baik daratan, maupun pesisir laut. Di wilayah darat, potensi sumber daya alam seperti hutan, tanaman Pala dan Cengkeh, serta sumber daya mineral seperti nikel dan emas masih merupakan sektor andalan bagi pendapatan daerah. Sementara pesisir laut Halmahera Tengah yang lebih luas arealnya dibanding daratan, merupakan daerah ruayan untuk jenis ikan pelagis seperti Tuna (Thunnus) dan cakalang (katsunwonus pelamis), masih jadi anak tiri pembangunan yang tidak dikelola dengan maksimal oleh pemerintah daerah.

Kekayaan alam di Halmahera Tengah, khususnya tambang, mengundang kehadiran beberapa perusahaan pertambangan, misalnya PT. Industri Weda Bay Industrial Park (IWIP), dan PT. Bakti Pertiwi Nusantara, PT. Trakindo, PT. ZHonghai, PT. Pasifick Mining, PT. Karunia Sagea Mineral, dan PT. Gamping untuk melakukan ekspansi modal ke wilayah ini. Hal ini sangat berimplikasi signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat setempat. Selain aspek yang katanya positif dalam bentuk devisa bagi Pendapatan Daerah (PAD), kehadiran investasi pertambangan ini justru lebih menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat lokal, yang banyak menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian dan perikanan.

Kehadiran perusahaan, jelas akan mengakibatkan luasan tutupan hutan semakin menurun. Laju degradasi hutan seiring dengan laju emisi karbon yang terlepas ke udara dan berimplikasi nyata pada pemanasan global. Di tengah gencarnya dunia melakukan kampanye perubahan iklim, di Halmahera Tengah justru akan kehilangang tutupan hutan 54.874 Ha, akibat masuknya korporasi.

Kabupaten Halmahera Tengah sebagian besar Dearah Aliaran Sungai (DAS) dan pulau kecil, jelas sedang berada di mulut bencana, perusahaan telah melanjutkan tahapan eksploitasi pertambangan nikel di bumi Halmahera Tengah. Selain keberadaan spesies endemic yang ada di hutan Halmahera, juga mengancam masyarakat yang hidup di pedalaman (Suku Non Maden), juga situs budaya, dan ekonomi sosial masyarakat adat setempat.

Kondisi Halmahera Tengah saat membenarkan empat kelas struktur sosial masyarakat agraria yang disebut Lenin dalam bukunya Sosialisme, Petani dan Kaum Miskin Desa, bahwa mesyarakat mempolarisasi ke dalam struktur dualistik tipe baru. Petani kaya menjadi borjuasi pedesaan, mempekerjakan pekerja upahan yang terdiri dari kelas petani menegah, petani kecil dan buruh tani. Yang terakhir disebut menjadi kaum proletar pedesaan, petani menengah memang memiliki lahan lebih besar dari pada petani kecil dan rata-rata memiliki dua kuda, akan tetapi hasilnya masih tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka sepanjang tahun. Sehingga mereka harus menjadi buruh upahan ke petani kaya. Petani kecil dan buruh tani tidak bisa tidak harus menjual tenaga kerjanya untuk dapat bertahan hidup. Sementara masyarakat kita saat ini di kabupaten Kalmahera Tengah, telah menjadi masyarakat proletar yang awalnya memiliki tanah dengan sekejab mata berubah menjadi masyarakat yang tidak memiliki tanah sungguh sangat ironis.

Sebagian orang mungkin tak pernah percaya bahwa aktivitas pertambangan bisa mengancam keberlangsungan antar generasi. Ketika lahan-lahan perkebunan diambil paksa oleh perusahaan atas klaim wilayah konsesi, maka sejak saat itu masyarakat adat telah kehilangan hak kelola dan hak akses atas sumber daya alamnya. Situasi ini tidak hanya berlangsung ketika perusahaan beroprasi, tetapi terus berlanjut ketika perusahaan telah menyatakan tutup oprasi.

Sementara lahan-lahan yang selama ini menghidupinya telah berubah menjadi lubang-lubang raksasa atau tergenang aliran limbah beracun dari perusahaan tambang. Dan Kawasan konservasi dan hutan lindung merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai penyangga dan penyeimbang kehidupan yang harus dilindungi, dilestarikan agar bisa dimanfaatkan secara lestari. Kawasan ini meliputi kawasan suaka alam dan pelestarian alam. Fungsi ini menjadi sangat penting karena peranan kawasan ini baik secara hidrologi, ekologis, keanekaragaman hayati, juga pendukung perekonomian masyarakat adat sekitar. Pertambangan akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi fungsi kawasan ini.

Kerusakan ekologi tampak terus berlanjut, dan sulit untuk dihindari. Situasi ini semakin memperparah kerusakan yang sudah ada. Bagaimana tidak, kerusakan-kerusakan lingkungan oleh kehadiran PT. IWIP, PT. Trakindo telah terjadi dan tak pernah terselesaikan. Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di halmahera tengah dipastikan bakal memperburuk kerusakan ekologi dan lingkungan hidup, di seantero Kabupaten Halmahera Tengah.

Baca Juga