Reklamasi Pantai
Terblokade Reklamasi, Nelayan di Kalumata Terancam Alih Profesi

Ternate, Hpost – Nelayan tradisional Kalumata terancam alih profesi karena jalur untuk melaut terblokade kawasan reklamasi. Untuk itu, mereka mengancam balik memblokade proyek multiyears reklamasi kawasan pantai Kalumata jika Pemerintah kota tidak membuat jembatan sebagai sirkulasi masuk keluarnya perahu mereka.
Permintaan itu dinilai mustahil karena menabrak nomenklatur rancangan kawasan.
“Perahu keluar masuk jauh kalau lewat sisi selatan. Maka tong (kami) minta ke Pemerintah Kota untuk bangun jebatan keluar masuk bagi nelayan. Kalau tidak dibangun kami akan blokade,” kata salah satu Nelayan di Kalumata yang enggan disebut namanya saat ditemui Halmaherapost.com, Selasa 14 Januari 2020.
Seperti yang diberitakan Halmaherapost.com 6 Januari 2020, kemarin, sejumlah nelayan malah meminta kepada pemerintah menyediakan ruang bagi Usaha Kecil Menengah. Permintaan itu menguak karena mereka menyadari bahwa reklamasi memakasa mereka berahli profesi.
Menanggapi hal itu, Kepala Dians PUPR Kota Ternate Risval Tribudiyanto kepada Halmaherapost.com Rabu 15 Januari 2020, menilai, tuntutan nelayan mustahil dilakukan karena reklamasi sepanjang 150 meter itu dirancang dengan nomenkaltur skala kawasan.
“Kenapa bagitu, PPUR sejak rancangan awal kawasan ini menghindari jembatan, karena menyadari akan membutuhkan anggaran yang lebih besar,” kata Risval.
Menurut Risval, pembuatan jembatan dengan panjang enam meter sudah menelan anggaran Rp2 Miliar. Artinya, jika nelayan meminta jembatan di kawasan reklamasi ini, misalnya 50 meter maka akan membutuhkan anggaran puluhan miliar.
Risval memaparkan, untuk membuat jabatan di kawasan tersebut membutuhkan anggaran puluhan miliar. Meski begitu, PUPR tak mengabaikan keberlanjutan nelayan dengan memberi space tambatan perahu di sisi utara sepanjang 3 meter dan sisi selatan sepanjang 40 meter.
Terkait jembatan, Risval mengaku telah disampaikan kepada Nelayan pada saat sosialisasi. “Area perahu nelayan tetap dibuka sama seperti sisi utara,” jelasnya
Menurutnya, jika yang dihawatirlan nanti terjadi genengan air dan pendangkatan di jalur keluar masuk nelayan di sisi selatan, maka Dinas PUPR siap mengeruknya secara berkala.
“PPUR punya alat berat yang tersedia untuk menangani itu,” ucapnya.
Menanggapi tuntutan nelayan tradisional tersebut, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Ternate, Kader Bian meminta Pemerintah dan kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut agar bernegosiasi dengan nelayan tersebut.
“Ini menyangkut dengan pencaharian mereka. Jadi kalau tiba-tiba usaha mereka tidak jalan kan mereka harus berteriak. Pemkot dan Kontraktor negosiasi dengan mereka supaya jalan terbaiknya seperti apa,” harapnya.
Terpisah, Anggota Komisi III DPRD Kota Ternate, Junaidi Bachrudin menegaskan, seperti apapun model perencanaan reklamasi wajib mengakomodasi kepentingan nelayan. Jika di lapangan terdapat nelayan tradisional yang mengeluh, maka Pemerintah wajib memenuhinya.
“Kalau alasan Pemerintah terkait anggaran dan sebagainya yang tidak dialokasikan pada APBD 2020, ya dianggarkan di perubahan atau di 2021, kalau pengerukan itu tidak perlu dialokasikan ke APBD, kalau jangka pendek ini dalam rangka memastikan aktivitas nelayan itu tidak terganggu maka harus dibijaki oleh Pemerintah, harus dikeruk, disediakan space untuk sirkulasi keluar masuk kapal nelayan,” tegas Junaidi.
Ia menegaskan, Pemerintah berkewajiban merespon keluhan nelayan tradisional di Kalumata karena sebelum proyek reklamasi berjalan, nelayan sudah lebih dulu beraktivitas. Jangan sampai program reklamasi merubah atau menggantu pola aktivitas nelayan di lokasi tersebut.
“Kalau pengerukan tidak perlu menunggu anggaran Pemerintah, itu bisa dibijaki oleh Pemerintah, pengerukan kan tinggal mobilisasi alat berat kemudian diangkat materialnya disitu, kemudian dibuat semacam pembatas sehingga tidak terjadi material yang jatuh menutup akses jalan yang disediakan itu,” jelasnya
Politisi Demokrat ini juga mengaku, Komisi III sebelumnya pernah turun mengecek lokasi tersebut dalam rangka memboboti revisi Perda RTRW, memang harus disediakan satu space khusus sebagai jalur keluar masuk perahu nelayan.
“Tapi spacenya kecil, tidak bisa itu dia (perahu) berputar, jadi dia masuk lurus, dia keluar juga lurus. Harus disiasati oleh Pemerintah, apapun yang terjadi,” tegas Junaidi.
Komentar