Opini

Kebenaran dan Hoaks Jurnalisme Daring

Ghalim Umabaihi, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Peminat Kajian Media dan Jurnalisme.

Dalam satu dekade terakhir, media daring (online) berkembang pesat di Indonesia. Hingga ini sesuai data Dewan Pers, telah tercatat 40 ribuan media daring, baik yang berlabel nasional maupun lokal. Media baru ini, mulai eksis di Maluku Utara, sekira awal 2017, dan tumbuh kembang di daerah-daerah kabupaten kota.

Perkembangan media daring pun menjadi tantangan bagi media mainstream, terutama koran dan radio. Itu sebabnya, di samping tetap memproduksi versi cetak, media cetak di Maluku Utara juga diterbitkan dalam bentuk daring. Sebagai koran terbesar, Malut Post, misalnya, punya situs Malutpost.id. Begitu pun dengan radio, juga memiliki media daring, seperti Diahinews.com.

Perkembangan itu, karena membuat website berita tidak butuh banyak biaya. Berbeda dengan mendirikan media cetak, membutuhkan biaya besar, terutama biaya kertas, tinta, dan membeli mesin cetak. Mendirikan media daring hanya menyiapkan tiga sampai lima juta untuk membikin website.

Karena itu, tak jarang media daring dibikin dan dikelola oleh orang yang tidak punya pengalaman dalam dunia jurnalisme. Bahkan, untuk menjadi jurnalis, tak lagi perlu melewati seleksi dan pelatihan. Jurnalis hanya bermodalkan id card, tanpa wawasan jurnalisme. Itu mengapa, saat kehadiran media daring di era ini, Heru Margianto dan Asep Syaefullah (2012) mengatakan, “Kita tengah berada pada sebuah zaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun.”

Dulu, untuk menjadi jurnalis, harus melewati seleksi panjang, berkompetisi dengan puluhan hingga ratusan orang. Jika lulus, harus pula melewati proses magang berbulan-bulan, bahkan hingga tahun untuk diakui sebagai jurnalis tetap pada media itu.

Kini, proses tersebut tak lagi demikian. Jika ada yang ingin jadi jurnalis, dia tak lagi perlu mencari media, tapi sebaliknya,  media yang mencarinya. Menjadi jurnalis hanya cukup dengan modal kemauan, banyak media yang siap menerima. Tak jarang pula profesi jurnalis menjadi tempat pelarian bagi pengangguran yang sekadar mengisi waktu senggang sebagai jurnalis di media daring. Profesi jurnalis bukan lagi panggilan nurani.

Karena itu, terlebih di daerah, kualitas produk jurnalisme daring sangat memprihatinkan. Kelalaian: verifikasi, penggunaan ejaan bahasa Indonesia, typo, cover both side, struktur berita  (piramida terbalik) adalah kesalahan yang kerap kita jumpai dalam berita.

Kesalahan-kesalahan tersebut, seperti dilakukan i-malut.com, saat menurunkan berita pada 26 Maret 2020. Jurnalis i-malut.com menulis berita dengan judul “Tiba di Pelabuhan Sanana, Wabup Sula Abaikan ‘Protab’ Pemeriksaan Suhu Tubuh”.

Entah apa yang dimaksud “Protab” dalam judul berita itu, karena diksi yang benar sesuai bahasa Indonesia adalah protap (prosedur tetap). Kesalahan ini terjadi karena mengabaikan verifikasi; jurnalis tidak mengkonfirmasi ke kamus bahasa Indonesia, tentang diksi yang ditulis, minimal di laman pencarian Google.

Sebagaimana kata Wendratama (2017), pemakaian bahasa menjadi keunggulan utama jurnalis. Sebab, bahasa Indonesia senjata utama jurnalisme. Jurnalis seharusnya lebih hebat dalam menggunakan bahasa tulis dibandingkan dengan profesional lainnya. Dan, sudah lama diketahui secara luas di banyak negara. Namun, kemampuan berbahasa tulis di media daring masih dipandang remeh.

Kesalahan yang lebih fatal, jurnalis i-malut.com menulis berita tanpa verifikasi lapangan, tidak konfirmasi orang bersangkutan yang menjadi objek berita. Sudah begitu, jurnalis menggunakan dua sumber anonim.

Dalam isi berita disebut: “Salah satu Petugas dalam Tim Satgas Posko Pelabuhan Kota Sanana yang tergabung dalam Satuan Gugus Tugas Penanganan Virus Corona membenarkan bahwa Wakil Bupati Zulfahri Abdullah mengabaikan pemeriksaan saat tiba di Kota Sanana dengan menggunakan Kapal Aksar yang diduga dari Kota Ternate.”

Satu paragraf  berita itu mengalir tanpa titik, sumber tanpa disebut nama, bahkan wakil bupati dari Kota Ternate, masih dalam dugaan. Dan, sumber kedua yang disebut masih saja “gaib”.

Seperti pengakuan ini: “... hal senada juga disampaikan petugas lainnya dari Dinas Kesehatan dan BPBD Kepsul, mereka yang enggan disebutkan namanya saat dikonfirmasi di sekretariat Gugus Tugas Penanganan Corona Desa Mangon-Sanana (Selasa malam, 24/03/2020) membenarkan keterangan Petugas (M) tadi.”

Idealnya, berita tersebut harus lahir dari hasil reportase lapangan. Jika tidak, dan harus memaksakan berita itu dipublish di media, mestinya ada konfirmasi ke pihak yang bersangkutan. Sebab keberimbangan, terutama verifikasi  fakta atau kebenaran berita adalah kewajiban yang harus ditunaikan (Kovach dan Rosenstiel, 2001).

Karena tidak melakukan verifikasi, i-malut.com akhirnya menayangkan berita tidak benar (hoaks). Terkonfirmasi Zulfahri Abdullah masih di Ternate dan belum balik ke Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula. Akibat kesalahan itu, pembaca banyak yang protes lewat Facebook; berita itu discreenshot dan jurnalis bersangkutan dibully.

Merasa dirugikan dari berita hoaks tersebut, Wakil Bupati Zulfahri Abdullah memprotes menggunakan hak jawab dan koreksi sesuai Pedoman Media Siber. Melalui kuasa hukum Wakil Bupati Sula, Fahruddin Maloko menjelaskan berita itu tidak benar, karena wakil bupati masih di Ternate.

Seperti ini tanggapannya: Klien kami sejak hari Sabtu, 21 Maret 2020 berada di Ternate dan belum melakukan perjalanan ke Kabupaten Kepulauan Sula menggunakan Transportasi Laut maupun Udara.”

Mendapat protes tersebut, i-malut.com mengoreksi beritanya dan menurunkan kembali pada 27 Maret 2020, dengan judul “Ralat : Cegah Corona, Wabup Sula Memilih Isolasi Mandiri di Kediamanya di Ternate”. Sesuai aturan, di akhir berita pun dijelaskan berita itu adalah hasil koreksi dari berita sebelumnya.

Namun demikian, kesalahan itu telah mengkonfirmasi kualitas produk jurnalisme media daring di daerah. Pun adalah bukti jurnalis i-malut.com tidak mengikuti proses dengan baik: mengasah wawasan jurnalisme dan latihan menulis sebagaimana pengkaderan yang lazim bagi jurnalis.

Padahal, dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 ini, masyarakat membutuhkan peran jurnalis menyajikan informasi yang benar. Apalagi peredaran berita hoaks begitu masif lewat media sosial, jurnalis mesti tampil memberi edukasi dan kontrol sosial. Bukan justru memperpanjang deretan informasi hoaks.

Memang, menjadi jurnalis tidak mudah, tak cukup bermodal keinginan, harus dibarengi usaha. Seperti keterampilan yang lain, jurnalis juga perlu banyak latihan. Tentu disertai banyak membaca. Karena dengan cara itu, jurnalis terbiasa menulis dengan detail, maksud yang jelas, dan berintegritas. []

Baca Juga